Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penelusuran Sean
Seperti orang linglung, Sean mengemudikan kuda besinya tak tentu arah. Kebenaran tentang Ruby yang dibeberkan oleh Dewa, seakan mengucang kewarasannya.
"Jika kau bertanya kenapa aku tega melakukannya? Maka jawabannya adalah uang. Kau lihat dia," tunjuk Dewa pada seorang perempuan hamil yang duduk menunggunya di luar resto. "Dia istriku. Satu tahun lalu Dokter memvonisnya mengidap tumor di rahim yang menyebabkan kami kesulitan memiliki anak. Hanya oprasi-lah satu-satunya cara agar istriku bisa mengandung seperti perempuan pada umumnya. Dari situlah aku mendapatkan sebuah pekerjaan yang sangat ringan, namun dibayar mahal."
Sean membenturkan kepala di kemudi. Penjelasan dewa kembali berputar diingatan. Dewa mengaku menyesal dan merasa bersalah, hingga lebih baik membongkarnya.
Sean mengepalkan ke dua tangan. Ia tak habis fikir, bagaimana bisa Ibu beserta adiknya membuat drama semenjijikkan ini. Sean tau jika keluarganya tak menyukai Ruby karna perbedaan kasta. Akan tetapi, kenapa harus dengan cara serendahan ini mereka menghancurkan sucinya ikatan pernikahan yang dilandasi dengan cinta.
Sean tak ingin gegabah mengambil langkah. Tak langsung memberondong sang Ibu dengan pertanyaan ini dan itu. Ia harus menyelidikinya lebih dulu. Agar tak salah langkah, hingga berakhir dengan penyesalan.
Meski tubuhnya serasa lunglai tak bertenaga, Sean tetap melanjutkan langkah, menuju Resto miliknya sesuai rencana awal dirinya datang ke kota ini.
"Maaf, aku datang terlambat," ucap Sean pada Wira begitu sampai di Resto. Seperti biasa ia mendapatkan sambutan dari seluruh karyawan Resto seperti kedatangan sebelumnya.
"Tidak masalah, Tuan," jawab Wira seraya setengah membungkukan badan. Memang apa lagi yang bisa pria itu katakan. Toh tempat inikan memang punya dia. Jadi terserah dia akan datang kapan dan jam berapa saja. Akan tetapi, kenapa raut wajah Sean kali ini nampak berbeda?.
Sean mulai memasuki Resto, dengan langkah cepat hingga sampai ruang kerjanya. Moodnya sudah hancur berantakan, bahkan saat Wira masuk dan menunjukan data-data pertumbuhan resto dalam satu bulan ini.
Saat para pelayan menyajikan makan untuk disantap sang Tuan, fikiran Sean masih tertuju pada yang lain.
Seperti biasa, Sean tak begitu tertarik dengan menu yang para karyawannya sajikan terkeculiali dibagian desert.
"Kenapa bukan Manggo regal?."
Wira menelan ludah.
"Koki yang biasa membuat untuk anda sedang dalam pemulihan pasca persalinan Tuan," jawab Wira.
"Melahirkan, maksudmu Ruby yang melahirkan itu, yang selama ini membuat desert manggo itu untukku?." Bukan lupa, Sean bertanya kembali untuk lebih memastikan.
"Benar, Tuan."
Sean menghela nafas dalam. Ia semakin tak berselera untuk makan.
"Aku ingin melihat data diri dari pelayan bernama Ruby alexandra dan bawa berkasnya ke ruanganku," titah Sean sebelum bangkit kemudian meninggalkan meja makan yang masih di penuhi makanan bahkan beberapa darinya sama sekali belum tersentuh.
💗💗💗💗💗
"Dia datang bersama adiknya yang lebih dulu bekerja di resto sebagai kasir. Saya sempat menolak, mengingat prosedur dari Resto yang tak mengizinkan wanita hamil untuk bekerja. Akan tetapi begitu saya melihat semagat dan juga cara kerjanya yang cukup mumpuni, maka saya fikir jika tiada salahnya mencoba. Paling tidak memberikannya waktu, hingga kita bisa memutuskan layak atau tidaknya dia untuk bisa diterima."
Sean mendengarkan dengan khidmat setiap kalimat yang keluar dari mulut Wira. Sean meminta pada Wira untuk menceritakan kejadian beberapa bulan lalu saat pekerjanya itu bisa menerima Ruby bekerja meski dalam keadaan berbadan dua.
Dari cerita Wira, tentu Sean bisa menyimpulkan jika Ruby tinggal di kota ini bersama orang lain. Kiran, ya Wira mengatakan jika Ruby memiliki adik bernama Kiran, sedangkan yang Sean tau, mantan istrinya itu tak memiliki sanak saudara kecuali teman atau pun pengurus panti tempatnya dibesarkan dulu.
"Akhir-akhir ini saya pun berfikir jika dengan menerima Ruby bekerja di tempat ini, ternyata bukanlah sebuah kesalahan. Jika dulu saya sempat mengecam dia sebab nekat bekerja saat hamil besar, namun setelah sebuah kenyataan yang saya dapat, justru saya menjadi bersimpati. Rupanya Ruby tak memiliki suami, dia seorang janda dan melahirkan seorang putri tanpa suami. Saya tersadar, mungkin Ruby nekat bekerja untuk mencari uang demi mencari biaya untuk persalinan. Sungguh, saya sangat merasa bersalah karna sempat meremehkannya." Bagai tertikam palu godam. Ke dua pria dengan paras sama-sama tampan itu merasakan sakit dan sesak luar biasa, seolah bisa merasakan apa yang selama ini Ruby rasakan. Terutama Sean, matanya mulai memerah dan berkaca-kaca deru nafasnya beraturan sebab tak kuat lagi menahan sesak di dada.
"Wira, keluarlah," titah Sean seraya memalingkan wajah. Selepas Wira pergi dari ruangnya, barulah Sean menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Pria itu menangis, menyesal saat lebih dulu mendengar penjelasan Ruby sebelum perempuan itu pergi.
💗💗💗💗💗
Di sofa ruang tamu, Sean duduk tegap dengan sepasang mata menatap tajam dua pekerja yang selama ini mengurus rumahnya. Ika dan Aryo.
Keduanya saling lempar pandang, seolah bertanya lewat sorot mata. Akan tetapi begitu melihat netapa tajamnya padangan sang majikan, ke duanya pun serempak menundukan kepala.
Sean terlebih dulu menghela nafas sebelum memulai introgasi. Selepas makan Sean pun memutuskan kembali ke Ibu kota. Ia perlu mencari tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi lewat kedua pekerja dirumahnya, yang sudah pasti tau akan kejadian yang sebenarnya.
Ika dan Ayo. Sepanjang jalan Sean menyebut dua nama tersebut dengan gigi mengertak. Entah apa yang akan Sean lakukan andai apa yang diucapkan Dewa memanglah suatu kebenaran. Dan pada saat ini Sean sudah bisa melihat wajah pias kedua pekerja bahkan sebelum ia mulai bertanya.
"Ika, Aryo," panggil Sean.
"Ya, Tuan," jawab ke duanya hampir bersamaan.
"Sebenarnya sudah begitu terlambat bagiku untuk menanyakan hal ini kepada kalian, namun akan lebih terlambat lagi andai aku sama sekali tidak menanyakan hal ini pada kalian." Sean bersikap seperti biasa. Sejenak ia menetralisir letupan amarah yang memuncak dalam dada, agar tak kalap dan salah langkap.
Keduanya masih tertunduk, namun bisa Sean lihat jika tubuh Ika mulai gemetar.
"Apakah pria yang kudapati tidur di kamar bersama Ruby memang benar-benar kekasih Ruby?."
Tubuh Ika terlihat tersentak. Akan tetapi wajahnya tetap tertunduk. Sejenak hingga beberapa menit, tak ada jawaban yang keluar dari bibir pekerjanya itu.
"Kenapa diam? Aku bertanya dan kalian harus menjawab!."
"Sa-saya, ti-tidak tahu Tuan," jawab Aryo setengah terbata.
Sean memicingkan mata.
"Apa yang membuatmu tidak tau? Kau penjaga keamanan, setiap tamu yang keluar masuk pasti tak luput dari pandanganmu. Lalu dengan cara seperti apa pria itu bisa masuk. Tiba-tiba datang atau Ruby-lah yang membawanya masuk?."
"Datang sendiri, Tuan."
"Nona Ruby yang membawanya masuk, Tuan."
Bukan hanya Aryo, tapi Ika pun ikut menjawab, namun kenapa jawaban keduanya justru berbeda.
"Waw, bahkan jawaban dari kalian saja berbeda. Lalu ucapan dari siapa yang bisa kupercaya?."
"Aryo sedang keluar saat Nona Ruby dan pria itu datang, Tuan. Saya sendiri yang membukakan pintu gerbang." Takut-takut Ika menjawab. Sementara Sean tersenyum miring.
Besar juga nyalimu.
"Aryo." Sean bangkit, maju beberapa langkah.
"Iya, Tuan."
"Urusan kita sudah selesai. Jangan sedikit pun buka mulut tentang masalah ini pada siapun termasuk Ibu dan selena. Kau faham?."
"Fa-faham, Tuan. Terimakasih." Aryo cepat bergerak. Bahkan ia setengah berlari agar secepat kilat pergi dari hadapan sang Tuan. Di posisinya Ika menelan ludah kasar. Hawa mencekam seakan melingkupi diri.
Sikap Sean tak seperti biasa yang acuh dan tak mau tau akan pekerjaannya sepeninggal Ruby. Tapi saat ini, kenapa jadi seperti ini?.
"Ika."
"Y-ya, Tuan."
"Jika aku memiliki satu pertanyaan lagi untukmu apakah kau akan keberatan menjawabnya?."
"Tidak Tuan." Tapi pertayaan yang seperti apa dulu.
"Dan kau akan menjawab jujur meski menyakitkan."
"Tent- tentu saja, Tuan." Bulu kuduk Ika meremang. Ia bisa merasa ada sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.
"Apa benar kalian menjebak Ruby agar terlihat sedang berselingkuh saat aku pulang pada malam itu?."
Ika tersentak, ia spontan mendongak dan menggelengkan kepala kuat.
"Tidak, Tuan. Tidak. Nona Ruby memang sedang tidur bersama pria itu saat anda da...."
"Berapa banyak uang yang kau dapat, hingga kau tega berbuat hal serendah itu pada Ruby, Ika?."
"Tidak, Tuan. Demi Tu--"
Prank.
Sean melempar vas bunga di samping tubuh Ika, hingga perempuan itu terdiam.
"Jangan pernah bersumpah atas nama Tuhan jika hanya untuk mengelabuhiku. Aku sudah tau semuanya, Ika. Aku sudah mengetahuinya. Kebusukan Ibuku yang pastinya atas bantuan dari kalian." Nafas Sean naik turun. Ia tatap wajah Ika yang kini mulai terisak.
"Tidak ada gunanya menangis, Ika. Yang aku butuhkan sekarang adalah pengakuan serta kejujuranmu." Andai bukan perempuan pasti Sean sudah mengubur Ika hidup-hidup.
"Tu-tuan, saya akan mengatakan yang sebenarnya." Tidak ada pilihan lain, Ika harus jujur dari pada nyawanya terancam.
"Cepat katakan!."
Ika menguatkan diri. Ia mulai menceritakan beberapa hari sebelum peristiwa terjadi. Rupanya hal tersebut sudah disusun secara matang. Sean terduduk di sofa. Ia berusaha untuk menguatkan hati. Mendengar sebuah kebenaran yang membuatnya selalu ingin memaki diri sendiri.
Tak ada satu adegan pun yang terlewat, Ika menceritakannya secara detail. Ika sendiri melakukannya di bawah tekanan dan ancaman dari Margareth yang menguasai rumah Ruby saat ditinggalkan oleh Sean. Margareth juga mengancam akan menghilangkan nyawa putri Ika di kampung andai kata ia sampai berani menolaknya.
"Nyonya Margareth memberikan saya uang sebesar 250 juta selepas nona Ruby pergi. Saya menyesal, Tuan. Saya melakukan semua ini karna tak ingin anak saya celaka. Sampai saat ini pun uang pemberian nyonya masih saya simpan dan sama sekali tidak saya pergunakan. Saya benar-benar minta maaf, Tuan. Saya merasa bersalah."
Brak.
Sean menendang meja hingga kakinya mengeluarkan cairan berwarna merah segar. Ia tak sedikit pun merasakan sakit. Ia mengusap wajahnya frustrasi. Kenapa? Kenapa semua terkuak setelah mereka terlanjur berpisah?.
"Aku kecewa padamu, Ika. Sekarang, menyesal pun percuma. Semua sudah terjadi, begitu pun dengan Ruby yang bukan menjadi milikku lagi." Sean meraup kasar wajah tampannya, pria itu menangis. Menangis di hadapan Ika yang luar biasa bersakah atas tindakannya.
"Hanya 250 juta, Ika. Aku pun bisa memberinya tanpa kau harus memfitnah Ruby."
"Maafkan saya, Tuan."
Sean tak mengubris. Ia terlanjur kecewa. Iuka di kakinya pun dia abaikan.
Rasa sakit ini tentu tidak seberapa jika dibandingan sakit yang kau rasakan, Ruby. Maafkan aku.
Tbc.
la ini malahan JD bencana gr2 percaya Sama mamaknya