Karena sebuah mimpi yang aneh, Yuki memutuskan untuk kembali ke dunia asalnya. Walaupun Dia tahu resikonya adalah tidak akan bisa kembali lagi ke dunianya yang sekarang. Namun, saat Yuki kembali. Dia menemukan kenyataan, adanya seorang wanita cantik yang jauh lebih dewasa dan matang, berada di sisi Pangeran Riana. Perasaan kecewa yang menyelimuti Yuki, membawanya pergi meninggalkan istana Pangeran Riana. Ketika perlariaannya itu, Dia bertemu dengan Para Prajurit kerajaan Argueda yang sedang menjalankan misi rahasia. Yuki akhirnya pergi ke negeri Argueda dan bertemu kembali dengan Pangeran Sera yang masih menantinya. Di Argueda, Yuki menemukan fakta bahwa mimpi buruk yang dialaminya sehingga membawanya kembali adalah nyata. Yuki tidak bisa menutup mata begitu saja. Tapi, ketika Dia ingin membantu, Pangeran Riana justru datang dan memaksa Yuki kembali padanya. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari Yuki dan Pangeran Riana. Semua di sebabkan oleh wanita yang merupakan bagian masa lalu Pangeran Riana. Wanita itu kembali, untuk menikah dengan Pangeran Riana. Ketika Yuki ingin menyerah, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Namun, sesuatu yang seharusnya menggembirakan pada akhirnya berubah menjadi petaka, ketika munculnya kabar yang menyebar dengan cepat. Seperti hantu di malam hari. Ketidakpercayaan Pangeran Riana membuat Yuki terpuruk pada kesedihan yang dalam. Sehingga pada akhirnya, kebahagian berubah menjadi duka. Ketika semua menjadi tidak terkendali. Pangeran Sera kembali muncul dan menyelamatkan Yuki. Namun rupanya satu kesedihan tidak cukup untuk Yuki. Sebuah kesedihan lain datang dan menghancurkan Yuki semakin dalam. Pengkhianatan dari orang yang sangat di percayainya. Akankah kebahagiaan menjadi akhir Yuki Atau semua hanyalah angan semu ?. Ikutilah kisah Yuki selanjutnya dalan Morning Dew Series season 3 "Water Ripple" Untuk memahami alur cerita hendaknya baca dulu Morning Dew Series 1 dan 2 di profilku ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Yuki terdiam sejenak, merenungkan tawaran Pangeran Riana. Dia merasa senang tetapi juga bingung dengan perasaannya sendiri. “Apakah tidak apa-apa jika kita pergi berdua, Pangeran? Bagaimana dengan semua hal di istana?”
Pangeran Riana menggelengkan kepala. “Aku akan mengurus semuanya. Yang penting sekarang adalah kesehatanmu dan kebahagiaanmu. Biarkan aku mengatur semua detailnya. Kita pergi ke pantai, dan kau akan mendapatkan waktu yang kau butuhkan untuk beristirahat.”
Yuki merasakan kelegaan meluap dalam dirinya. “Terima kasih, Pangeran. Aku… aku sangat menghargainya.”
Pangeran Riana tersenyum tipis. “Bagus. Jadi, kita akan berangkat dalam waktu dekat. Sekarang, beri tahu aku apa yang kau inginkan saat berada di sana.”
...****************...
Di bawah langit yang masih menggantungkan sisa-sisa dingin musim dingin, angin pantai terasa sejuk, menyapu lembut wajah Yuki saat ia berdiri di bibir pantai. Laut berwarna kelabu, mencerminkan transisi dari musim dingin menuju musim semi, dengan ombak yang berlari pelan menghampiri kakinya yang telanjang, meninggalkan jejak lembut di pasir yang masih sedikit dingin.
Yuki memejamkan mata, merasakan perbedaan suhu antara pasir yang dingin dan angin sepoi-sepoi yang mulai hangat. Suara deburan ombak berirama, menenangkan, seperti melodi yang membawa pikirannya menjauh dari hiruk-pikuk istana.
Di belakangnya, Pangeran Riana berjalan tenang, mata tajamnya tak pernah lepas dari Yuki. Ia membiarkan jarak terbentang di antara mereka, memberi ruang pada Yuki untuk merasakan kebebasan yang ia dambakan. Namun, kehadirannya tetap menjadi pelindung yang tak terlihat, selalu siap mengulurkan tangan jika Yuki membutuhkan.
Ketika Yuki berbalik untuk melihat Pangeran Riana, ada senyum kecil di wajahnya. “Terima kasih sudah membawaku ke sini,” kata Yuki dengan suara lembut.
Pangeran Riana hanya mengangguk, matanya teduh saat menatapnya. “Kau butuh ini. Kita butuh ini,” ucapnya, seolah memahami bahwa perjalanan ini bukan hanya untuk Yuki, tetapi juga untuk memperbaiki jarak yang telah tumbuh di antara mereka.
Di kejauhan, Bangsawan Voldermon, Bangsawan Asry, dan Bangsawan Xasfir terlihat bersantai, masing-masing menikmati suasana pantai dengan cara mereka sendiri. Bangsawan Voldermon duduk di atas sebuah batu besar, tertawa sambil melemparkan kerikil ke arah ombak, seolah berlomba dengan riak air. Bangsawan Asry, lebih tenang, duduk di bawah bayang-bayang pohon, membaca buku dengan tenang. Bangsawan Xasfir tampak berbaring santai, menikmati angin pantai yang menerpa wajahnya, sambil sesekali mengobrol ringan dengan yang lain.
Yuki berjongkok, jari-jarinya dengan hati-hati menggali pasir, mencari batu-batu kecil berwarna-warni yang tersembunyi di bawah permukaan. Setiap kali dia menemukan batu, senyum kecil muncul di wajahnya, seperti menemukan harta karun kecil. Batu-batu itu bervariasi, dari merah cerah, biru pudar, hingga abu-abu halus, masing-masing mewakili keindahan tersembunyi di bawah kesederhanaan.
Pangeran Riana memperhatikan Yuki dari jarak dekat, senyum tipis di bibirnya. Ia bisa melihat Yuki tenggelam dalam aktivitas sederhana, jauh dari kerumitan dan intrik politik istana. Di momen ini, Yuki tampak damai, seperti gadis yang kembali menemukan dirinya setelah melalui begitu banyak cobaan.
Suara tawa Bangsawan Voldermon menggema dari kejauhan, menambah kesan ringan pada suasana yang tenang, membuat pantai yang sepi terasa lebih hidup. Meski tidak ada pesta besar atau acara resmi, kebersamaan mereka di pantai ini terasa seperti pelarian kecil yang dibutuhkan untuk melupakan semua beban sejenak.
“Pangeran coba lihat ini” Kata Yuki sambil tersenyum lebar.
Pangeran Riana terdiam sejenak, terpaku melihat senyum itu—senyum Yuki yang sangat ia rindukan. Senyum yang begitu mempesona dan membuatnya teringat kembali pada alasan mengapa ia mencintainya dengan begitu mendalam. Senyum Yuki itu penuh kehangatan, tak ada lagi bayangan dingin dan jarak di antara mereka. Kali ini, senyum itu untuknya, dan bagi Riana, itu sudah lebih dari cukup untuk meredakan segala keraguannya.
Ia mendekati Yuki, duduk di sampingnya di atas pasir yang lembut, membiarkan angin laut menyapu mereka berdua. Dalam keheningan pantai, Yuki menoleh padanya, dan senyumnya masih bertahan, seperti sinar matahari yang hangat di pagi hari.
“Aku merindukan senyum itu,” ujar Pangeran Riana dengan lembut, matanya menatap Yuki penuh kelembutan.
Wajah Yuki semakin memerah ketika mendengar kata-kata Pangeran Riana. Hatinya berdegup kencang, belum siap dengan pernyataan yang tiba-tiba, namun tak bisa menutupi perasaan hangat yang mengalir di dadanya.
“Aku ingin kita menikah secepatnya,” kata Pangeran Riana dengan nada penuh keyakinan, tangannya menggenggam tangan Yuki dengan lembut namun penuh ketegasan. “Aku akan melamarmu secara resmi, di hadapan semua orang. Aku ingin kau menjadi ratuku, dan anak kita akan menjadi penerus kerajaan.”
Yuki terdiam, menatap mata Pangeran Riana yang penuh dengan kesungguhan. Sesuatu di dalam dirinya bergetar—kebahagiaan, keraguan, sekaligus harapan. Namun, mendengar kata-kata itu membuatnya merasa dicintai dan dihargai lebih dari sebelumnya.
“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” Yuki berbisik dengan suara sedikit bergetar.
“Katakan saja ‘ya’,” Pangeran Riana tersenyum lembut, mendekatkan wajahnya ke Yuki, “karena aku tidak akan menerima jawaban lain.”
Pangeran Riana merapikan helaian rambut ke telinga Yuki. “Aku bukan orang yang romantis yang akan memberimu bunga, pesta dan melamarmu seperti impian para gadis tapi Aku harap maksudku bisa tersampaikan dengan jelas meski tanpa itu semua” bisik Pangeran Riana lagi. “Aku hanya ingin kau tahu, bahwa apapun yang terjadi, aku di sini untukmu. Mungkin caraku tak seperti yang kau harapkan, tapi aku ingin kau yakin, aku memilihmu bukan karena siapa kau menurut takdir, tapi karena aku memang mencintaimu.”
Yuki terdiam sejenak, menatap Riana dalam-dalam. Dia merasakan ketulusan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, sesuatu yang melebihi romantisme formal. Sebuah komitmen yang lahir dari hubungan yang mereka lalui bersama.
“Aku tahu, Pangeran. Dan itu sudah lebih dari cukup,” jawab Yuki akhirnya, suaranya lembut namun penuh keyakinan.
Saat Pangeran Riana mendekati Yuki, waktu seakan berhenti. Tatapan mata mereka bertaut, dan Yuki merasakan jantungnya berdebar kencang. Perlahan, Pangeran Riana menyentuh pipinya, jarinya yang hangat meluncur lembut di sepanjang kulitnya, membuatnya memejamkan mata. Bibirnya mendekat, hingga akhirnya menyentuh bibir Yuki dengan lembut.
Ciuman mereka dimulai perlahan, hampir seperti sentuhan samar, namun dengan setiap detik yang berlalu, ciuman itu semakin dalam. Pangeran Riana menarik Yuki lebih dekat ke dadanya, lengan kokohnya melingkari pinggangnya dengan kuat, seolah tak ingin membiarkannya pergi. Napas mereka berbaur, dan Yuki merasakan kehangatan serta ketulusan di balik setiap gerakan bibirnya.
Ada keheningan yang memeluk keduanya di tepi pantai, hanya disertai dengan suara ombak yang bergulung lembut dan desir angin musim semi. Ciuman itu membawa Yuki ke dalam pusaran perasaan yang hangat, membuatnya lupa akan segala hal di sekitarnya—hanya ada mereka berdua, berbagi momen yang begitu intim dan penuh perasaan.
Namun, sebelum ciuman itu bisa benar-benar membawa mereka lebih jauh, suara panggilan yang familiar memecah keintiman tersebut, menarik Yuki kembali ke kenyataan.
Yuki dan Pangeran Riana sama-sama menoleh, dan di sana, Putri Marsha tampak berjalan ke arah mereka, tanpa peduli bahwa dia telah mengganggu momen pribadi keduanya.
Putri Marsha tersenyum tipis, tetapi ada sorot tajam di matanya. “Maaf jika aku mengganggu,” katanya dengan nada yang terdengar terlalu santai untuk sebuah permintaan maaf. “Aku hanya ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja di sini.”
Pangeran Riana menghela napas pelan, tampak kesal. Dia berdiri tegak di samping Yuki, tanpa melepas tangan dari pinggang Yuki. “Kau memang mengganggu, Marsha. Apa yang kau inginkan kali ini?”
Putri Marsha tampak tak terpengaruh oleh kekesalan Pangeran Riana, dan malah tersenyum lebih lebar. “Aku hanya ingin berlibur bersamamu apakah itu salah ?.”
“Siapa yang memberitahumu ke sini?” tanya Pangeran Riana dengan nada dingin, masih berdiri di samping Yuki, jelas tidak menyembunyikan ketidaknyamanannya.
Putri Marsha mengangkat alis, tersenyum tipis, dan berkata, “Apa salahnya Aku ingin dekat denganmu. Putri Yuki juga tidak keberatan Aku berada disini.”
Pangeran Riana menatapnya lebih lama, namun tidak menjawab, menunjukkan bahwa kedatangannya tidak diinginkan.
Bangsawan Xasfir berlari mendekat. “Maafkan Aku riana, Aku pikir Dia bisa ikut kemari”
Pangeran Riana menatap Bangsawan Xasfir tajam, bibirnya menipis. “Xasfir, aku tidak memintamu membawa siapa pun kecuali teman-temanku,” katanya dengan nada rendah tapi penuh peringatan.
Bangsawan Xasfir terlihat gugup, menyadari kesalahannya. “Maafkan aku, Riana. Aku benar-benar tidak menyangka kehadirannya akan mengganggu.”
Putri Marsha hanya tersenyum kecil, tidak terlihat terganggu. “Aku hanya ingin mendukungmu, Pangeran. Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh seseorang yang peduli padamu?”
Pangeran Riana menegaskan ucapannya, “Xasfir, kalau kau memutuskan untuk membawanya, pastikan dia tidak mengganggu aku dan istriku.” Suaranya dingin, tatapan matanya menantang.
Xasfir mengangguk cepat, jelas merasa bersalah. “Aku akan memastikan itu, Pangeran.”
Putri Marsha memaksakan senyum, tapi Yuki bisa merasakan ketegangan yang muncul. Yuki tetap tenang, meskipun suasana mulai memanas. Pangeran Riana kemudian berbalik, mengabaikan Marsha, dan mengarahkan perhatian sepenuhnya pada Yuki. “Ayo, kita lanjutkan hari kita. Jangan biarkan hal ini merusak momen kita.”