Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mantra dan tarian gila!
Keputusan Shin untuk ‘mencoba’ membuka segel sihirnya nggak hanya aneh, tapi juga lebih dari sekadar konyol. Begitu dia mulai mikir kalau sihir itu bisa dipecahkan dengan cara yang... nggak biasa, Shin merasa seperti ahli sihir gila. Gila, bukan sihirnya.
Dia kembali ke gubuknya, melempar buku sihir yang tadi ke meja dan mulai meremas-remas kepalanya. “Oke, gue harus mulai mikir kreatif. Kalau cara biasa gagal, berarti gue harus cari cara yang lebih... absurd.”
Dia jalan kesana-kemari di gubuk kecil itu, nyoba beberapa gerakan tangan aneh, kayak orang yang lagi mencoba nari breakdance tapi nggak tau cara gerakannya. “Ayo, segel! Buka, lo harus buka! Lo pikir lo siapa, sih, segel? Sihir ini cuma masalah waktu!” Shin berbicara pada segel di lengannya yang nggak ada reaksi sama sekali. Segel itu masih teguh di tempatnya, nggak ada perubahan sama sekali.
Shin ngelirik ke buku sihir yang tergeletak di atas meja. Dia ngelus dagunya, berpikir keras. “Oke, gue coba yang lain. Kalau sihir ini nggak buka pake mantra, mungkin buka pake tarian. Lo ngerti, kan, kalau gue nari? Pasti lo pada kagum.”
Dia mulai melompat-lompat, muter-muter kayak orang gila, dan nari sembarangan dengan ekspresi serius. “C’mon, sihir, lo pasti suka liat gue joget begini, kan? Coba liat, ini tarian sihir terbaik! Jangan sampai gue gerakin badan gue kayak orang bodoh, buka, dong!”
Dia muter sekali lagi, melompat ke kanan, lalu ke kiri, mengangkat kedua tangan ke udara sambil bilang, “Sihir brengsek! Lo bisa buka segel lo atau nggak, sih?”
Segel itu tentu saja nggak buka. Malah, Shin mulai ngerasa pusing karena gerakan yang terlalu cepat. “Aduh, pusing banget sih ini... Sihir, lo bener-bener ngeselin!” Shin jatuh ke lantai, lalu tertawa terbahak-bahak karena udah merasa konyol banget.
Setelah beberapa menit berbaring di lantai, Shin sadar kalau dia mungkin harus coba sesuatu yang lebih... ilmiah. Mungkin mantra yang lebih ‘serius’. “Gue kan nggak bodoh. Mungkin gue cuma butuh pendekatan yang lebih... sistematis.”
Shin duduk tegak, menghadap buku sihir itu, dengan ekspresi penuh keyakinan. “Oke, kali ini gue coba lebih tenang. Bukan tarian, bukan joget-joget gila. Gue harus baca mantra ini dengan serius. Ini soal hidup gue, bukan main-main!”
Dia mulai membaca mantra dari buku itu, dengan suara dalam-dalam kayak orang yang lagi coba banget bikin sesuatu berhasil. Tapi tentu saja, seperti yang sudah bisa ditebak, mantra yang dia ucapkan justru bikin dia bersin tanpa henti. “Hah… Hah-chooo! Aaa... haa-chooo! Sialan, apaan ini... Bukan mantra, malah jadi flu!” Shin panik, mengambil sapu tangan dari kantongnya sambil nyoba ngelap hidungnya yang makin berair.
Setelah bersin-bersin hampir 10 kali, Shin melempar buku itu ke meja. “Kenapa sih sihir ini susah banget? Gue udah coba segala cara. Kenapa nggak ada yang bener-bener berhasil?!” Dia langsung ngeliat ke luar jendela gubuknya, ngelihat pemandangan pegunungan yang sepi. “Ya ampun, hidup gue kayak gini banget. Nggak ada sihir, nggak ada apa-apa.”
Tapi justru pada saat itulah, Shin mulai berpikir. Bukan soal sihir yang susah dimengerti, tapi soal apa yang bisa dia lakuin sendiri untuk membuka segel ini. “Tunggu, kenapa gue harus terus-terusan nyalahin sihir? Ini bukan salah sihirnya, ini salah gue karena nggak bisa ngerasain kekuatannya!” Shin nyengir, kayak dapet ide brilian.
Dia berdiri dengan percaya diri, bahkan kalau harus bilang dia merasa kayak ahli sihir di film-film. “Oke, gue coba satu hal terakhir. Kalo yang ini gagal, gue bakal pergi ke Akademi dan ngebuang semua buku ini ke kepala kepala sekolah!”
Shin mulai membaca mantra dengan lantang. “Demi sihir yang terpendam, buka jalanmu, lepaskan kuasa yang terkunci!” Dia ulangin mantra itu dengan suara yang lebih keras, kayak dia beneran mau ngegetok dunia ini biar sihirnya keluar.
Dan… apa yang terjadi?
Nggak ada apa-apa.
Shin langsung ngelus wajahnya, ngerasa kesal dan frustasi. “Sihir brengsek! Gue udah ngomong apa sih? Ngomong-ngomong aja kayak orang bodoh! Kenapa nggak ada yang bener-bener buka?”
Dia terdiam beberapa saat, ngeliatin segel itu dengan tatapan kosong. “Tapi… gue nggak nyerah. Gue nggak bisa nyerah sekarang. Gue pasti bisa nemuin cara lain, cara yang lebih gila dari semua ini.”
Meskipun gagal, Shin nggak ngerasa putus asa. Malah, dia merasa lebih semangat. Tapi entah kenapa, dia juga tahu kalau cara-cara konyolnya itu nggak bisa terus-menerus dilakukan. Ada saatnya dia bakal punya jawaban yang lebih tepat.
“Tapi yaudahlah. Kalau segel ini nggak mau buka, berarti gue yang bakal bikin sihirnya yang buka sendiri,” katanya sambil melirik ke buku yang tergeletak di meja.
Shin melangkah keluar, siap menghadapi dunia yang penuh dengan petualangan—dan sihir brengsek yang harus dia hadapi.