NovelToon NovelToon
Melukis Cinta Bukan Mengukir Benci

Melukis Cinta Bukan Mengukir Benci

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:708
Nilai: 5
Nama Author: Rieyukha

Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BERHENTI MEMBERI HARAPAN

"Masuk," Alan membuka pintu ruangannya, lalu menutupnya dengan rapat.

Marsha memperhatikan dengan seksama yang menjadi ruangan Alan─guru Matematika di sekolahnya. Seorang guru punya ruangan sendiri? Ruangan 5 × 3 meter persegi yang tak lebih besar dari ruangan kepala sekolah itu membuat Marsha terheran-heran.

Setahu Marsha guru-guru di sekolahnya hanya menggunakan meja cubicle di ruang kerja dengan partisi, kecuali kepala sekolah, bahkan ruangan wakil kepala sekolahnya tidak sebesar ruangan Alan. Sebenarnya dia guru atau apa? batin Marsha heran.

"Duduk," perintah Alan yang sudah duduk dibalik meja kerjanya─di kursi kebesarannya.

Marsha meletakkan buku serta pemberian Davi dan Bima di atas meja Alan, lalu menarik kursi didepannya dan duduk dihadapan Alan. Alan melirik sesaat paper bag yang penuh menyembulkan cokelat dari Bima, karena Marsha menyatukan semuanya di paper bag cookies dari Davi.

"Jadi apa yang terjadi? Kamu pacaran dengan salah satunya?" tuduh Alan, ia masih terlihat datar menginterogasi Marsha.

"Ya enggak lah!" wajah Marsha seketika kesal karena tuduhan Alan, dengan Reno saja ia terpaksa melepaskan apalagi dengan Davi dan Bima yang ia tidak memliki perasaan apapun.

"Lalu kenapa ini semua kamu terima?" Alan menunjuk dan memutar-mutar telunjuknya pada paper bag didepannya.

"Nggak enak aja Om, eh Pak, kalau menolaknya, khawatir mereka tersinggung." jawab Marsha jujur, memang selama ini, itulah yang menjadi alasannya.

Alan hanya menghela napas berat mendengar sebutan Marsha Om ke Pak.

"Itu namanya kamu memberi harapan."

"Nggak." jawab Marsha cepat dan yakin.

"Tapi bagi pria masih mau menerima pemberiannya adalah sebuah harapan, kamu tahu nggak sih?"

Marsha sedikit syok, pantesan mereka pantang menyerah selama ini, ternyata ia sudah salah dalam bertindak. "Nggak tahu, kan cuma biar mereka nggak tersinggung itu aja." lirih Marsha menyesal.

"Udah berapa lama?"

"Apanya?" Marsha yang bingung pun berbalik tanya.

"Pemberian seperti ini dan kamu terima," Alan menunjuk paper bag putih didepannya kini dengan dagunya.

"Hmmm..." Marsha ragu, mengarang atau jujur menjawabnya, khawatir berpengaruh dengan interogasi selanjutnya. "Hampir dua tahun." akhirnya Marsha menjawab jujur saja dengan suara rendah tanpa melihat Alan.

Alan menghela napas berat lagi, ia memijat pangkal hidungnya. Kenapa ia harus menjalani sebuah hubungan pernikahan dengan Marsha, bocah sekolah bahkan hal begini saja ia tidak pahami.

"Stop ya, saya tidak mau kamu terima apa pun itu, dari siapa pun itu dengan alasan tidak jelas. Apalagi karena suka, cinta, whatever." tegas Alan. Ia menatap tajam kearah Marsha penuh intimidasi.

"Kenapa? Om cemburu?" tanya Marsha dengan ragu-ragu, tidak mungkin Alan cemburu kan.

"Hah? saya cemburu? Perlu kamu tahu, kamu itu bukan tipe saya. Nggak usah kepedean."

"Dih!" Marsha mencebik, ia menatap Alan sinis. "Siapa juga yang kepedean, orang cuma tanya doang. Nggak ada bagusnya juga disukai Om-om."

Alan hanya mendengkus kesal mendengarnya, "Ingat! Pokoknya nggak boleh." ancam Alan.

"Nggak janji,"

"Ngeyel banget sih kamu jadi orang."

"Iya harus jelas dulu lah, kenapa? Saya kan nggak ngapa-ngapain, cuma menerima aja kebaikan dari mereka."

"Serius kamu masih tanya kenapa?" Alan tidak percaya Marsha tidak mengerti, namun Marsha mengangguk memang tidak mengerti.

"Karena kamu sudah menikah, Marsha Aulia Zlatan."

Glek! Marsha bergeming, bukan karena pernyataan Alan, tapi karena ini kali pertamanya Alan menyebut nama lengkapnya selain saat akad nikah. Ia merasakan sesuatu sensasi yang aneh saat mendengarnya.

"Walau diantara kita nggak ada perasaan, minimal saya dan kamu wajib menghargai status pernikahan kita. Kita bukan sedang bermain nikah-nikahan, sehingga kamu bisa bebas bergaul atau menjalin hubungan dengan siapa saja."

Marsha masih bergeming, apa yang dikatakan Alan benar apa adanya, mereka bukan sedang bermain nikah-nikahan, tapi nikah sungguhan. Dia dan Alan terikat pernikahan yang sah, baik secara agama maupun negara. Marsha menghela napas pelan, ia merasa bersalah dan menyesal telah meluangkan waktunya untuk Davi dan Bima. Pasti mereka kecewa mengetahui kenyataannya.

"Maaf." ucap Marsha lirih seraya tertunduk, matanya tertuju pada pigura kayu didepannya. Marsha penasaran, ingin rasanya ia mengintip foto apa yang dipajang Alan di meja kerjanya.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu ruangan Alan membuat niat Marsha terhenti, ia langsung memposisikan duduk tegak. Layaknya seorang murid sedang menghadap guru.

Tok! Tok! Tok!

Mata Alan tertuju pada pintu yang masih tertutup, ia merapikan posisi duduk yang sebenarnya tidak ada yang berubah.

Alan berdehem, "Masuk." titah Alan dengan suara tegas. Matanya kini tertuju pada layar laptop didepannya.

Kreeek... pintu dibuka perlahan,

"Permisi Pak," suara itu terdengar lembut mendayu, beberapa detik kemudian seorang murid perempuan masuk dengan tumpukan buku di pelukannya,

"Saya─" ucapannya terhenti begitu tersadar ada seseorang didalam ruangan, matanya melirik penuh tanya. "Saya Anggun Pak dari kelas sebelas A mau antar tugas teman-teman yang kemarin." lapornya dengan sopan.

Marsha mengernyit Anggun menyebutkan namanya, buat apa? Biasanya juga jika Marsha mengantarkan tugas hanya cukup mengatakan dari kelas berapa, tapi Anggun terdengar berlebihan, seolah ingin meninggalkan jejak berupa nama dipikiran Alan. Hmmm, Marsha memutar bola matanya mengejek.

Ia berjalan maju, begitu sampai didepan meja Alan, Marsha menoleh sedikit kepada Anggun dan memberikan sapaan melalui senyuman ramahnya. Wajah Anggun tampak kaget dan penasaran atas keberadaan Marsha, namun ia hanya bisa membalas senyuman Marsha.

"Ini ya Pak," Anggun berkata sambil meletakkan buku-buku itu di atas meja Alan, jelas matanya menatap Alan yang sama sekali tidak menoleh padanya.

"Um." hanya itu yang keluar dari mulut Alan. "Saya permisi, Pak." pamit Anggun masih melihat kearah Alan yang tentu dengan keadaan sama, diam mengetik sesuatu dan fokus pada layar laptopnya, beberapa detik Anggun masih disana berharap Alan menoleh namun akhirnya ia pasrah dan berbalik kemudian sekilas menatap Marsha dengan penasaran.

Begitu pintu itu di tutup, Alan langsung mengangkat kepalanya dan berkata, "Ya udah, kamu balik ke kelas. Nanti pulang, langsung masuk aja ke mobil jangan coba-coba pulang dengan taksi." ancam Alan seraya mengeluarkan kunci mobilnya dan memberikannya pada Marsha.

"Enggak ah, keseringan naik mobil guru yang ada orang jadi curiga. Saya tunggu di mini market sebelah sekolah aja." Marsha berdiri lalu berbalik badan hendak meninggalkan ruangan Alan, baru dua langkah Alan sudah memanggilnya lagi.

"Ini hadiahnya dibawa." ucapnya datar,

Marsha mengambilnya dengan perasaan jengah kemudian mempercepat langkahnya keluar dari ruangan.

"Hai kak," Marsha terperanjat saat seseorang menyapanya begitu ia baru saja melangkah keluar dari area gedung guru dan staf.

"Anggun, masih disini?" Marsha kembali melangkah menuju kelasnya, Anggun dengan cepat menyamai langkah disisi Marsha.

Anggun adalah anggota cheerleader yang baru saja di angkat menjadi ketua menggantikan Dina─teman sekelas Marsha yang sudah kelas dua belas dan sudah harus fokus pada pelajaran serta persiapan kelulusan, jadi sedikit Marsha tahu siapa Anggun dari Dina selain sebagai adik kelasnya.

"Dari Pak Alan?" matanya mengarah pada paper bag ditangan Marsha.

"Oh, ini?" Marsha mengangkat jinjingannya, "Bukan." jawabnya singkat, "Lo mau?" tawar Marsha.

"Nggak usah kak, terima kasih." Anggun menggeleng, "Hmm...kalau boleh tau kak, lo ada hubungan apa ya sama Pak Alan?" tanya Anggun langsung tanpa berbasa-basi lagi, itulah yang ingin ia tanyakan sedari tadi.

Marsha sebenarnya kaget dengan pertanyaan Anggun, jantungnya bahkan deg-degan khawatir ketahuan tapi karena pembawaan Marsha yang bisa mengontrol keadaan menjadi santai dengan cepat ia memasang wajah datar seperti tidak ada apa-apa.

"Memang kenapa?" kini Marsha menoleh kearah Anggun, ia juga penasaran─sepenasaran apa Anggun dengan hubungannya bersama Alan.

"Nggak kenapa-kenapa sih kak, cuma setahu gue Pak Alan hanya mengajar di kelas sebelas, sedangkan lo kan kelas dua belas Kak."

Tepat bersamaan dengan pernyataan Anggun suara bel masuk sekolah berbunyi.

"Udah bel masuk, gue duluan ya." Marsha pun melangkah lebih cepat meninggalkan Anggun yang berdiri mematung ditempatnya, ia menatap Marsha yang sudah jauh didepannya penuh selidik.

"Ck." Anggun berdecak kesal, ia merasa tersaingi dengan kehadiran Marsha di ruangan Alan hari ini.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!