Misca Veronica merupakan seorang pembantu yang harus terjebak di dalam perseteruan anak dan ayah. Hidup yang awalnya tenang, berubah menjadi panas.
"Berapa kali kali Daddy bilang, jangan pernah jodohkan Daddy!" [Devanno Aldebaran]
"Pura-pura nolak, pas ketemu rasanya mau loucing dedek baru. Dasar duda meresahkan!" [Sancia Aldebaran]
Beginilah kucing yang sudah lama tidak bi-rahi, sekalinya menemukan lawan yang tepat pasti tidak mungkin menolak.
Akan tetapi, Misca yang berasal dari kalangan bawah harus menghadapi hujatan yang cukup membuatnya ragu untuk menjadi Nyonya Devano.
Lantas, bagaimana keseruan mereka selanjutnya? Bisakah Cia mempersatukan Misca dan Devano? Saksikan kisahnya hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mphoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-bayang Masa Lalu
Misca terjatuh dari beberapa anak tangga membuatnya pingsan. Nina dan Cia yang melihat kejadian tersebut bergegas turun ke lantai bawah dalam keadaan panik.
Devano sendiri langsung mencoba menolong Misca sambil menepuk pipi berulang kali. Wajahnya terlihat bersalah karena tak sengaja mendorong tubuh mungil tersebut di saat emosinya menggebu-gebu.
"Ma-maaf, saya tidak sengaja. Saya tidak bermaksud untuk mencelakakanmu. Bangunlah, bangun!"
"Bi Misca, bangun hiks ... Bi Misca jangan tinggalin Nina. Nina sayang Bi Misca hiks ...."
Nina menangis memeluk erat tubuh Misca di lantai, sedangkan Devano berjongkok melihat ketulusan dua gadis cantik yang begitu menyayangi wanita itu seperti ibunya sendiri.
"Ini semua gara-gara, Daddy! Cia marah sama Daddy! Cia benci aaaa ... hiks ...."
Cia menangis sambil menyerang Devano, walaupun tangannya terbilang kecil dan imut tetap saja tenaganya begitu kuat untuk memukuli dada sang ayah hingga terduduk di lantai.
"Ci-cia ... ma-maafkan, Daddy. Daddy tidak bermaksud untuk menyakiti wanita itu. Daddy tidak sengaja. Maafkan, Daddy. Please, jangan benci Daddy, Sayang! Daddy sayang Cia. Daddy tidak mau Cia marah. Maafkan Daddy!"
"Kalau Daddy marah sama Cia, sakiti saja Cia jangan Mommy Misca. Dia orang baik, Dad. Kalau sampai Mommy kenapa-kenapa Cia tidak akan mau lahi tinggal sama Daddy! Daddy jahat!"
Cia mendorong keras Devano sampai terjengkang ke belakang. Kemarahan di mata gadis itu benar-benar menyakitkan hatinya.
Selama ini ketika mereka bertengkar, tidak pernah Cia mengatakan kalimat yang menghancurkan hati Devano seperti ini.
Gadis kecil itu rela membenci ayahnya sendiri hanya demi membela wanita yang sama sekali bukan ibu kandungnya.
"Mommy, bangunlah, Cia di sini. Mommy tidak boleh pergi. Cia nggak mau kehilangan Mommy lagi. Cia pengen Mommy bangun. Cia sayang Mommy Misca. Cia sayang hiks ...."
Dua gadis kecil tersebut terlihat begitu sedih dan panik, sehingga Devani bergegas untuk menggendongnya, "Kita bawa wanita ini ke rumah sakit sebelum terlambat!"
Kekhawatiran di wajah mereka terlihat begitu cemas, padahal Misca hanya terjatuh dari lima anak tangga di bawah akibat keseimbangan tubuh yang tidak kuat saat menghalangi jalan Devano.
Baru juga mau keluar rumah, tiba-tiba Misca tersadar sambil memegang kepalanya yang terasa pusing.
Secepat mungkin Devano memutar arah, lalu meletakkan Misca di sofa panjang tepat di ruang tengah.
"Eergghh ... ke-kepalaku kenapa sakit banget," ucap Misca yang masih belum sempurna membuka kedua mata.
Nina dan Cia yang merasa senang langsung mengerubungi Misca, memeluknya sambil menangis.
"Syukurlah Bi Misca baik-baik saja. Nina takut Bi Misca meninggal hiks ...."
"Mommy, maafkan Cia. Ini semua gara-gara Cia. Cia janji, Cia pasti akan menghukum Daddy!"
Perlahan Misca bangun, duduk memeluk Nina dan Misca bersama-sama sambil tersenyum kecil, walaupun dia hanyalah seorang pembantu hatinya begitu lembut penuh kasih sayang terhadap anak-anak.
"Ssstt ... Sudah akhh, jangan nangis lagi. Bibi gapapa, kok. Bibi baik-baik aja, lihatlah. Bibi masih bisa senyum heheh ...,"
"Dan untuk Cia, ini bukan salahmu. Ini juga bukan salah daddymu, tapi ini salah Bibi yang kurang hati-hati. Jadi, jangan marah-marah lagi ya, kasihan daddymu pasti sedih. Apalagi seorang anak itu tidak boleh membenci orang tuanya, nanti Tuhan marah, loh. Memang Cia mau dimarahin Tuhan, hem?"
Cia menggeleng cepat, kembali memeluk Misca. Entah mengapa tutur kata yang lembut, sikapnya yang manis mampu menggetarkan hati Devano.
Pria itu seperti melihat mendiang istrinya berada di dalam tubuh Misca. Mulai dari caranya berbicara, tatapan mata kepada Cia, itu semua benar-benar mirip. Hanya saja wajah mereka berbeda, tidak ada kemiripan sama sekali.
"Ma-manda? A-apakah i-itu benar kamu, Sayang? Ji-jika benar, apakah ini pertanda kamu telah kembali meskipun meminjam raga orang lain?"
Hati Devano bergetar hebat. Bayang-bayang tentang mendiang istrinya mulai bermunculan hingga berpikir Misca adalah Manda - istri yang sudah lama meninggalkannya akibat kecelakaan 5 tahun silam.
Mata Devano tak sedikitpun berpaling, sampai akhirnya Misca menatap manik mata yang sudah berkaca-kaca.
"Tu-tuan gapapa? Tu-tuan baik-baik saja, 'kan?" tanya Misca yang malah membuat Devan jatuh pingsan.
"Daddy!"
"Om Vano!"
"Astaga, Tuan!"
Ketiga wanita cantik bangkit dari duduknya dan bersusah payah meletakkan Devano ke atas sofa panjang.
Tubuh besar, badan tinggi, belum lagi otot-otot yang kekar membuat mereka bertiga cukup kewalahan. Berbeda saat Devano mengangkat Misca yang ringan badaikan kerupuk kulit.
"Cia, ada apa sama daddymu? Kenapa Om Varo pingsan saat Bi Misca menatapnya?" tanya Nina polos.
"Biasa, duda satu ini memang meresahkan. Maklum sudah kelamaan menjomblo, sekalinya liat cewek cantik langsung tersepona hihih ...."
"Yang benar itu terpesona, Cia," timpal Nina, membenarkan ucapan Cia.
"Akhh, ya, itu maksudku. Terpesona akan kecantikan Mommy Misca yang kelewatan, sehingga Daddy terhanyut di dalam gelombang cinta yang menyesatkan. Widihh, keren ya, bahasaku hahah ...."
"Wah, dapat dari mana kata-kata itu, Cia? Pasti dari Mbah Google, 'kan? Ya, sih, keren. Lebih keren lagi kalau Bi Misca mau jadi mommymu beneran. Ya, nggak?"
"Woo, jelas. Sebentar lagi aku pastikan mereka akan terjebak di dalam perangkat anak selucu kita. Upps, keceplosan hihih ...."
Tawa Nina dan Cia begitu renyah, apalagi ketika menatap wajah Misca yang memerah bagaikan udang rebus yang siap disantap.
Tak ingin memberikan harapan besar pada kedua gadis kecil itu, Misca pun segera menasehatinya dengan lembut.
"Nina, Cia. Kalian tidak boleh dewasa sebelum usianya. Bibi tahu niat kalian baik, tapi sampai kapan pun apa yang kalian inginkan tidak mungkin terjadi. Bi Misca akan tetap menjadi pembantu dan daddynya Cia akan tetap mencintai mendiang mommy Cia. Jadi, tidak boleh memaksakan kehendak yang bukan takdirnya. Paham?"
"Yahh ... bukannya berharap itu boleh, Mom? Daddy, 'kan, duda. Mommy juga tidak punya pacar. Memang salah kalau bersama? Cia setuju, Nina pun setuju. Jadi apa yang membuat semuanya tidak mungkin?"
Misca tersenyum. Dia terkejut anak seusia Cia mampu berbicara sedewasa itu, padahal Nina sendiri saja terlihat bingung sama apa yang dikatakan sahabatnya.
Mungkin ini yang dibilang peran orang tua kepada anak itu sangatlah penting, sehingga tumbuh kembang anak dapat dipantau dengan baik. Tidak seperti Cia yang sudah bersikap dewasa sebelum waktunya.
"Suatu saat Cia akan mengerti, sekarang kalian tunggu di sini. Bi Misca mau ambil air dulu." Misca tersenyum mencubit kecil pipi mereka berdua, lalu berdiri.
Akan tetapi, saat berdiri tiba-tiba saja Devano terbangun dan langsung menarik tangan Misca hingga terjatuh ke dalam pengkuannya.
"Jangan tinggalin aku lagi, Manda. Aku rindu saat-saat kita bersama. Aku mau kita rawat Cia bareng-bareng, bukan sendiri. Please, kembalilah bersamaku. Aku tidak bisa sendiri menjalani semua ini. Aku butuh kamu, Manda. Aku butuh kamu!"
Misca terdiam mematung. Tubuhnya terasa kaku dengan mata terbuka lebar. Dia bingung, Nina pun ikut bingung. Hanya Cia yang mengerti apa maksud ucapan Devano.
"Da-daddy ... Mo-mommy Manda sudah tiada. Mommy Manda juga sudah bahagia di rumah Tuhan. Yang sekarang Daddy peluk itu Mommy Misca, bukan Mommy Manda."
Seketika jantung Devano terhenti dan melepaskan pelukannya terhadap Misca. Pria itu langsung sadar kalau yang ada di pangkuannya bukan mendiang istri tercinta, melainkan seorang pembantu yang tidak pernah dijumpai.
Dengan refleks tangan Devano mendorong Misca hingga tersungkur di lantai. Kedua gadis itu terkejut. Namun, saat Cia ingin menolong tangannya langsung ditarik oleh sang ayah dan membawanya keluar dari rumah tersebut.
"Kita pulang sekarang!"
"Nggak, Cia nggak mau pulang! Mommy ... tolong Cia!"
"Berhentilah melakukan drama, Cia. Daddy ini orang tuamu, bukan penculik!"
"Orang tua macam apa? Daddy tidak pantas menjadi orang tua karena setiap hari hanya sibuk sama tumpukan keras, sampai-sampai Daddy lupa kalau ada anak yang butuh kasih sayang!"
Kaki Devano terhenti. Dunianya seketika runtuh bersamaan dengan tangan yang mengepal kuat, jiwa yang hancur, dan hati yang terpanah busur beracun.
Perlahan tangan Devano melepaskan tangan Cia, membuatnya ikut terdiam menatap wajah sang ayah penuh penyesalan.
"Da-daddy ... ma-maaf, Ci-cia tidak---"
...*...
...*...
...*...
...Bersambung...
" aku membencimu"