Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Sosok Imam
Lama.
Satu kata diiringi desisan menyerang Aza, dan gadis itu cuma bisa nyengir saja, "maaf banget, barusan lama..." ia sudah menunduk tak enak hati.
Apalagi Yuan yang sudah mengomel-ngomel meskipun ujung-ujungnya mereka ber-oh ria ketika tau kejadian absurd yang menimpa Aza tadi adalah sebuah ke-apesan tak terduga.
Setelah technical meeting selesai, para nakes ini bubar jalan. Ada yang langsung bersiap bertugas mengabsen persediaan obat di faskes camp, ada juga yang mempersiapkan peralatan dan mengatur alur persiapan cek kesehatan yang akan diadakan nantinya. Pokoknya mereka tak menyia-nyiakan waktunya berada disini.
"Za, kamu ikut saya dan dokter lain..." lirih dokter Alteja, merujuk pada Maya dan Dimas. Ucapannya menghentikan langkah Aza diantara para perawat. Awalnya Aza sudah bergabung diantara perawat yang akan menyiapkan alat kesehatan.
Bukan hanya Aza, perawat lain ikut menoleh karenanya, sedikit aneh mengingat Aza sama dengan mereka.
"Oh, siap...dok." Aza mengangguk sedikit ragu, namun tak urung melambaikan tangannya singkat pada Laras yang tadi sudah berjalan bersama dengannya.
Hera menatap kepergian Aza yang mengekori para dokter senior itu.
"Itu dokter Teja manggil Aza mau diapain tuh anak?" Nisa bertanya random ketika langkah mereka sudah berbondong-bondong satu arah ke arah faskes camp.
"Dikasih peringatan kali, gara-gara masalah telat tadi." tebak Laras mengira-ngira, namun Hera menyunggingkan senyumnya, "aku rasa engga deh. Dia emang masuk tim dokter."
Yuan mengangkat alisnya, "ngga mungkin lah. Kalo mau juga mbak Nitia nih, yang udah jadi perawat senior diantara yang lain, pengalaman tugasnya ngga diragukan lagi, ya mbak?" ucapan itu diangguki perempuan paruh baya yang namanya disebutkan Yuan.
Hera kembali terpancing ucapan Yuan, hingga tak sadar ia memberitahukan rahasia kecil antara dirinya dan Aza, "mungkin lah. Si Aza kan calon dokter, dia kan mahasiswa kedokteran semester akhir, dia kesini ibaratnya jadi dokter magang...titipan dosen universitas kuning."
"Seriusan?" Hera mengangguk cepat.
Yuan refleks menelan salivanya sendiri, begitupun yang lain ikut terkejut mendengarnya, "si Aza?!" tanyanya dengan nada tak percaya.
"Bukannya dia perawat RSCM ya, sama kaya kamu, Ra?" akhirnya Nitia juga ikut bersuara.
Hera menutup mulutnya dengan mata membeliak, ia sendiri terkejut jika mulutnya itu tak memiliki rem, "mungkin," cicitnya berjalan duluan dari yang lain.
"Ra! Wey!"
**
Aza keluar dari ruangan seorang diri, dimana tim dokter sudah membubarkan dirinya sementara dokter Alteja sudah berbincang hangat dengan komandan pasukan garuda di kantornya sana.
Selagi dokter Maya dan dokter Dimas kembali ke kamar, ia menggusur kakinya ke lain arah demi mengeksplore camp disini, mengintip kegiatan para tentara dibawah bendera perserikatan bangsa-bangsa yang terekam mata telan jankk, atau sekedar merasakan suasana negri orang di kala senja menjelang.
Sinar mentari yang sudah tak terlalu menyengat seperti siang tadi itu liar menyapu kulit Aza. Langkah kaki yang tak tau kemana arahnya tertiup angin sore tanah Afrika ke arah belakang camp.
Si vellus (anak rambut) melambai lembut membelai dahi Aza saat ia tertembak angin, meski tak sampai membawa rasa dingin di kulit Aza.
Sejauh mata memandang, suguhan lukisan Tuhan terbentang memberikan arti berbeda untuknya di setiap kedipan mata, Aza merogoh ponsel dari saku celana jeansnya lalu dengan tanpa sungkan mengambil beberapa potret alam yang menurutnya bagus.
Cewek emang ngga jauh-jauh dari take a picture, dimanapun, kapanpun, sedang apapun.
"Ada yang lebih bagus, kalau kamu keluar dari camp. Sekitar 5 kilo dari sini ada daerah perbukitan, dulunya benteng untuk mengintai. Tapi sudah hancur di perang dunia ke II, sempat dimanfaatkan oleh para militan di konflik bersenjata waktu lalu, sekarang hanya jadi tempat terbengkalai. Dari sana juga cukup terlihat daerah lepas pantainya, berikut gundukan gunung Stainley."
Aza tak bisa untuk tak menoleh ke arah belakangnya, dimana seorang tour guide singkatnya itu berbicara dengan ciri khas suara berat sedalam lautan.
Jagat berhasil berdiri di samping Aza, padahal sejak tadi ia kebingungan mencari padanan kata untuk mengawali pembicaraan dengan Aza, tatapan Aza tak lepas mengikuti hingga Jagat berdiri tepat di sampingnya, sementara tangannya sudah turun sedari tadi saat Jagat memergokinya mencuri potret alam camp di sore hari ini, "oh ya? Waw...pasti bagus." Jawab Aza.
"Maaf yo, kalau tadi siang saya sudah lancang terkesan tak sopan." Ia menunduk tak enak hati.
Aza mengehkeh geli, bahkan ia sendiri merasa konyol, "ngga apa-apa bang. Justru saya harusnya bilang makasih sama abang, karena udah bantuin saya ngambilin air...thanks ya, bang...."lirik Aza ke arah name tag Jagat, "J." Lanjut Aza, alisnya naik sekali dan tertawa kecil.
Jagat mendengus geli sekaligus menggeleng mendengar panggilan Aza padanya, "nama saya Ja--"
"Aku Aza.." tukas Aza tak mau mendengar ucapan Jagat, membuat Jagat gemas dan mengeraskan rahangnya, ia hanya bisa berdehem.
"Cuaca disini ekstrem bang, banyakin minum...biar ngga batuk dan flu." Tunjuk Aza pada Jagat so tau, yang ia kira Jagat tengah mengusir dahak di tenggorokan akibat virus.
"Harus banyak asupan vitamin C." Ocehnya lagi.
"Oh, iya." angguk Jagat mengu lum bibirnya, rupanya dehemannya diterima lain oleh Aza. Bahkan mungkin Jagat ingin menggaruk kepalanya ketika maksudnya diterima lain oleh Aza itu, nih perempuan emang ngga peka.
"Ah iya. Aku tuh mau nanya sesuatu deh bang...disini emang susah sinyal ya? Provider ponselku udah kuaktifin roamingnya, tapi tetep aja jelek jaringannya. Tadinya sih aku mau kasih kabar buat keluarga di rumah."
Jagat mengangguk, "iya. Biasanya yang lumayan kenceng di dekat gerbang camp. Tapi nanti biasanya akan ada waktunya kita kasih akses buat nakes pake jaringan kita biar bisa kasih kabar keluarga."
"Oh gitu. Oke deh...nanti aku coba ke depan gerbang."
Jagat kembali menelan saliva hingga jakunnya terlihat naik turun, "memangnya dek Aza---" ia menelan saliva untuk ke sekian kalinya ketika panggilan itu terasa menggelitik telinga.
Bukan hanya Jagat, Aza pun menyemburkan tawanya, "aduh, berasa bocil bang dipanggil adek. Adek ketemu gede gituh?" gadis itu kembali tertawa, "segede gini udah ngga pantes disebut adek. Aza, panggil aja Aza...sayang juga boleh, hahahaha!" tawanya begitu renyah seperti wafer.
Aza lantas menepis udara, "canda deng bang, akunya jangan di tembak ya...." tawanya hanya dibalas kekehan tanpa suara Jagat seraya memandang lekat padanya.
"Oh ya, berhubung tadi abang bilang sama aku ada tempat bagus disini. Jadi nanti kapan-kapan sebelum masa tugas aku abis disini, boleh dong ya...aku minta anter." Alisnya kembali naik turun seperti jungkat jungkit.
Kini Jagat yang mendengus seraya menyunggingkan garis bibirnya, "boleh. Berani bayar berapa?"
Aza menoleh dengan wajah yang cukup syok, tentara kalo becanda bikin jantungan. Namun sejurus kemudian Jagat meledakan tawanya melihat wajah syok Aza dan menutup mulutnya dengan kepalan tangan, "saya bercanda, Aza."
"Ih, kirain beneran! Sampe kaget aku!" omel Aza yang kemudian ikut tertawa kecil juga. Namun tawa keduanya terpaksa terhenti saat walkie talkie Jagat berbisik.
"Jaguar come in,"
"Ya, Jaguar disini..."
"Hey, anak kucing....jadwal adzan e...dimana koe, Gat?"
"Ya, saya kesana sekarang." Jagat mematikan walkie talkienya dan melirik jam tangan, sementara Aza masih melihatnya, "muslim?" tanya Jagat diangguki Aza.
"Solat?" kembali Aza mengangguk, "ngga sekalian nanya siapa Tuhan dan nabimu?" lanjut Aza ditertawai Jagat.
"Sebentar lagi masuk waktu magrib, alangkah baiknya kita bersiap-siap buat ibadah..."
Aza mengangguk, "iya. Lagian anak gadis ngga boleh keluar waktu magrib juga, takut digondol se tan irengnya Kongo." Aza sudah berbalik dengan kekehannya meninggalkan Jagat di belakangnya yang ikut meninggalkan tempat mereka tadi mengobrol sepaket gelengan gelinya.
***
Bukan surau berspeaker besar, mengingat di negara ini muslim bukanlah mayoritas. Suara adzan tanpa microphone di sebuah ruangan yang sepertinya dibuat menjadi mushola dadakan itu cukup merdu.
"Kemana aja, kamu Za?" ketika Aza berlari kecil dan mengejutkan Hera dari belakang sambil membawa tas mukena di tangan.
"Dari belakang. Abis nyari yang aneh-aneh..." Hera mengernyitkan dahinya dan mendorong kening Aza pelan, "yang ada, kamu yang aneh! Ngaco...."
"Dapet?" tanya Nisa ikut nimbrung, ia pun berjalan menyusul Hera dan Aza yang sudah duluan bersama yang lain ketika mendengar seruan beribadah kaum muslim itu.
Aza mengulas senyuman lebar, "engga. Cuma dapet pemandangan sama info tempat bagus dari om tentara."
"Tempat bagus dimana?" seru Yuan menaikan alisnya excited, membuat ketiga gadis itu kompak menoleh.
"Ck. Main nyambung aja....huuuu!" Yuan manyun saat ketiganya justru menyorakinya.
"Tepatnya sih aku belum tau. Tapi aku minta dianterin nanti kalo kita udah beres tugas disini...biar sekalian kenang kenangan..."
"Ikutttt!" kini suara-suara sumbang itu semakin bertambah ketika Laras ikut pula bergabung.
"Kemana, ke wesseee?" goda Yuan membuatnya manyun.
"Udah. Mikirin eksisnya nanti aja, sekarang tuh solat dulu, kerja dulu..."
"Eh ngomong-ngomong itu siapa yang adzan, syahdu banget suaranya, mau dong diimamin dunia akhirat..." kekeh Nisa.
Ea...ea...ea....seru yang lain.
"Aslinya sistah, dalemmmm, sumur bor aja kalah dalem!"
"Kirain mau diadzanin..." sela Aza sukses membuat Nisa membeliak, "amit-amit. Jangan sekarang...belum kawin guenya."
"Iya. Menenangkan tauuu...bak primidone!" tambah Laras ditertawai yang lain termasuk Aza, "maksudnya obat penenang yang aman sesuai anjuran dokter gitu?"
"Itu tauuuu!" tembak Laras memantik keriuhan dari para perawat muda yang tengah bergerombol berjalan ke ruangan dimana mereka akan berjamaah.
Dan ketika mereka menemui gawang pintu, dimana para tentara sudah berseliweran wara-wiri demi melaksanakan ibadah berjamaah dapat Aza lihat sosok yang beberapa belas menit yang lalu mengobrol dengannya tengah berdiri membelakangi seraya memegang telinganya mengumandangkan seruan untuk beribadah itu.
.
.
.
.
.
lanjut