Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14: "Are You a Monster or a Cat?"
Wira duduk di pinggir sungai dengan tatapan kosong, sesekali menggigit batang alang-alang di mulutnya sambil merenungkan aliran air yang tenang di hadapannya. Ia menarik napas dalam dan bergumam pelan, “Air mengalir ke bawah karena gravitasi… benda jatuh ke bawah karena gravitasi… Tapi hanya ada satu hal yang bisa mengalir dari bawah ke atas, dan itu adalah energi.” Wira terkekeh pelan, menikmati momennya dalam kesunyian.
Tak lama kemudian, terdengar langkah ringan dari arah belakangnya. Kakek mendekatinya dengan ekspresi datar, namun melihat Wira tertawa sendiri membuat kakek bergumam, “Yah, tidak mengherankan otak bocah ini rusak setelah ujian kemarin. Kupukul kepalanya cukup keras.”
Wira menoleh dengan seringai kecil. “Ah, kenapa kau selalu merusak panggung indahku, Kek?”
Kakek mengangkat alis, menatapnya dengan pandangan menyelidik. “Oh, apakah kali ini kau sedang mengkhayal lagi, bocah?”
“Ya, aku sedang mengkhayal... membayangkan cara mengalahkan iblis dengan efektif,” jawab Wira santai, menggigit batang alang-alangnya lagi.
“Bagus. Kebetulan aku juga sedang memikirkan cara mengalahkan bocah licik sepertimu dengan sportif,” balas kakek, memasang senyum samar yang terlihat setengah mengejek.
Wira tertawa kecil, masih tak mau kalah. “Ayolah, Kek! Aku sudah menang kemarin. Kenapa kau seperti tidak bisa menerimanya?”
Kakek menyipitkan mata. “Karena kau curang.”
Wira mendengus, lalu menegakkan tubuh. “Curang itu kalau melanggar aturan, Kek. Dan setahuku, tidak ada aturan kalau aku tidak boleh mengutak-atik jam, bukan?” Wira menyeringai, matanya berbinar dengan kebanggaan licik.
Kakek hanya mendesah, menerima pendapat Wira dengan enggan. Lalu, tanpa basa-basi, dia melemparkan pisang lagi ke arah Wira. “Nah, ambil ini.”
Wira menatap pisang itu dengan pandangan datar. “Bisakah kau tidak melemparnya? Kau membuatku merasa seperti makhluk bukan manusia.”
Kakek menahan senyum tipis dan menatapnya dengan tajam. “Bukankah kau memang bukan manusia, bocah?”
Wira mengangkat bahu, berpura-pura berpikir. “Ah, benar juga. Bukankah kau sudah menjadikanku seorang iblis?”
Kakek mendengus. “Tidak! Maksudku, kau itu lebih mirip trenggiling curang yang hanya bisa bersembunyi, atau tikus licik yang cuma bisa berlari.”
Wira tertawa geli, merasa puas bisa membuat kakek terusik. “Hei, hei, sebesar itukah kebencianmu, Kek? Yasudahlah, tinggalkan aku sendiri saja. Biarkan aku menikmati surga, ngomong-ngomong iblis tidak boleh ada di surga.”
Kakek hanya menggelengkan kepala dan berbalik meninggalkan Wira dengan senyum tipis. “Surga? Jangan bermimpi, bocah. Kau hanya akan tinggal di bawah sayap iblis.”
Dan dengan itu, kakek berjalan menjauh, meninggalkan Wira sendirian di tepi sungai yang tenang.
Lampu di gubuk itu berpendar lembut, menerangi keheningan yang menyelimuti Wira dan si kakek. Malam yang sunyi membuat suara mereka terdengar lebih jelas di antara desiran angin yang datang dari celah jendela kayu.
Di tengah keheningan, tiba-tiba si kakek memecah suasana, “Bocah, kapan kau akan pulang?”
Wira yang berbaring santai menjawab sambil memandang ke langit-langit gubuk, “Aku pasti akan dijemput, cepat atau lambat.”
Kakek menatap Wira, alisnya terangkat sedikit penasaran. “Oleh siapa?”
“Teman… atau rekan. Yah, intinya seseorang yang dekat denganku,” jawab Wira dengan suara yang terdengar agak misterius, pikirannya melayang pada sosok Bima.
“Pacarmu?” kakek bertanya, nada suaranya terkesan menggoda.
Wira tersenyum sinis. “Ah, yang benar saja. Kalau aku pacarnya, mungkin aku sudah mati karena sikapnya yang terlalu dingin.”
“Jadi, apakah dia kuat?” kakek bertanya dengan serius, kini tertarik pada sosok yang dibayangkan Wira.
“Cukup kuat. Tubuhnya besar dan berotot, rambutnya pendek, sikapnya dingin, dan pukulannya benar-benar bisa membuat siapa pun babak belur. Kurasa, jika ia terus seperti itu, mungkin suatu hari ia bisa menjadi iblis sepertimu. Semoga saja sikapnya tak mengerikan seperti milikmu,” balas Wira, masih dengan nada bercanda.
Kakek tertawa kecil, “Hoh, sepertinya dia pria yang menarik. Melatihnya mungkin lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu dengan bocah tengik sepertimu.”
Setelah beberapa saat terdiam, kakek kembali bertanya, “Jadi… apa kau mempercayainya, bocah?”
Wira terdiam sejenak, tatapannya kosong menatap langit-langit gubuk, dan dengan cepat ia mengalihkan pembicaraan. “Oh, ya, kek. Kau ingat waktu kita pertama bertemu? Saat itu aku bilang kalau aku tahu cara mengalahkan Ruo.”
“Hentikan, bocah. Aku tahu itu hanya bualanmu,” kakek menjawab sambil menggelengkan kepala, meski sedikit penasaran.
“Ahaha, tidak, tuan iblis! Aku benar-benar punya caranya!” jawab Wira dengan nada penuh keyakinan.
Kakek menatapnya skeptis. “Ruo adalah makhluk tanpa emosi, kekuatannya di luar batas nalar. Dia bahkan bisa mengangkat mobil tanpa kesulitan, kulitnya sekeras logam, peluru dan ledakan tak berpengaruh, dan jika terluka sedikit saja, dia pulih dalam hitungan detik. Dengan kekuatan seperti itu, kau masih yakin bisa menghancurkannya?”
Wira menatap kakek dengan tatapan penuh tekad, “Hei, kek, besok ketika temanku menjemputku, aku akan menunjukkan caranya. Alam semesta selalu seimbang, kau tahu? Ada kekuatan, pasti ada kelemahan. Semua makhluk memiliki titik lemah, kecuali dewa.” Wira mengatakannya dengan keyakinan yang hampir membuat kakek termakan oleh semangatnya.
Kakek mendesah panjang. Wira kemudian bertanya dengan nada penasaran, “Ngomong-ngomong, kek… aku tak tahu apa-apa tentangmu. Aku cuma tahu kau mantan tentara yang kini jadi ‘iblis.’ Apakah kau akan tetap menutupi semuanya?”
Kakek menatap Wira dengan dingin. “Bocah, kau akan tahu tanpa aku perlu memberitahumu. Aku juga tidak tahu namamu, dan itu tidak penting.”
Wira mengernyit, tampak merenungi ideologi kakek yang mungkin lebih dalam daripada sekadar kata-kata. Ia akhirnya tersenyum, seolah memahami maksud kakek. “Baiklah, kalau begitu, selamat tidur, Tuan Iblis,” katanya sembari menarik selimut dan memejamkan mata.
Kakek menatap Wira yang perlahan tertidur, sesaat lamanya sebelum akhirnya ia pun beranjak ke tempat tidurnya sendiri, membiarkan keheningan malam menutup percakapan mereka
Wira berusaha keras memejamkan mata, tapi kantuk tetap tak datang. Hening malam hanya ditemani suara detik jam dinding yang monoton, membuat pikirannya semakin berkelana. Setelah beberapa jam mencoba tanpa hasil, ia mendesah panjang. "Hah, pasti, kadang saat-saat seperti ini selalu menyerangku," gumamnya pelan.
Bangkit dari tempat tidurnya, Wira mengambil pulpen dan selembar kertas yang sudah lusuh. Ia melakukan ritual yang selalu ia jalani sebelum menulis: memejamkan mata selama beberapa menit, membiarkan pikirannya tenang, dan menunggu kata-kata bermunculan. Ketika akhirnya ia mulai menulis, gerakan pulpennya tampak seperti mengikuti irama batin yang sedang bergejolak.
Jam dinding menunjukkan pukul 02.02. Merasa tak ada gunanya tetap berada di dalam gubuk, Wira memutuskan keluar untuk mencari udara segar. Kakinya membawanya ke pinggir sungai. Angin malam dingin menyapa kulitnya, tapi ia tak peduli. Pandangannya tertuju pada langit malam, di mana bulan bersinar penuh dengan keanggunannya.
“Sungguh indah…” gumamnya lirih, matanya tak lepas dari cahaya bulan. “Manusia memang selalu terpikat pada sesuatu yang indah.”
Ia mendekati sungai, di mana airnya memantulkan bayangan bulan dengan sempurna. Pantulan itu bergerak lembut mengikuti aliran air, tapi tetap mempertahankan bentuk yang utuh. Wira memiringkan kepalanya sedikit, mengamati pantulan itu lebih lama. “Bahkan pantulannya pun sama indahnya… Pantulan pasti sama dengan asalnya, bukan?” gumamnya lagi, setengah bertanya pada dirinya sendiri.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Ingatan tertentu menyeruak di benaknya, mencengkeramnya tanpa ampun. Ia kembali teringat pada momen di rumah sakit, saat dirinya menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin.
Saat itu, perasaan aneh sekali menyelimutinya, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, bahkan tak bisa ia namai. Seperti ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang tidak ia pahami, tetapi begitu menekan. Perasaan itu tidak sepenuhnya takut, tidak sepenuhnya jijik, tapi juga tidak bisa ia sebut lega. Itu adalah kekosongan yang terasa sangat penuh, sebuah rasa yang menantang logika.
Wira mengepalkan tangannya, berusaha mengusir bayangan itu. "Tch..." gumamnya pelan. “Terlalu berbahaya sekarang. Aku harus menunggu Bima.”
Ia menghela napas panjang, memalingkan pandangan dari sungai dan pantulan bulan yang tampak begitu sempurna. Langkahnya perlahan kembali ke gubuk. Malam masih panjang, dan ia tahu, meski tubuhnya lelah, pikirannya mungkin akan terus terjaga hingga pagi.
Keesokan Harinya
Setelah menyelesaikan latihan sore yang melelahkan, Wira duduk di tepi sungai. Di tangannya, ia menggenggam beberapa kerikil yang ia kumpulkan. Dengan perlahan, ia melemparkannya satu per satu ke sungai, menciptakan riak kecil di permukaan air yang tenang. Namun, di dalam dirinya, kegelisahan mengalir seperti arus yang tak bisa ia hentikan.
“Sialan,” gumam Wira, rasa tidak nyaman memenuhi pikirannya. Ia berdiri tiba-tiba, menggenggam sebuah batu yang lebih besar, lalu melemparkannya dengan penuh tenaga ke arah sungai, menciptakan cipratan air yang besar.
Saat Wira menghela napas panjang, matanya menangkap sesosok pria tinggi yang berdiri di seberang sungai, di antara rimbunnya pepohonan. Ia tersenyum kecil, seperti bertemu dengan sesuatu yang sudah ia nantikan. “Aku tahu kau pasti datang, Bima,” katanya dengan nada santai namun penuh arti.
Di sisi lain, Bima berdiri tegap, menatap Wira dengan tatapan penuh keyakinan. Dalam hatinya, ia berkata, “Aku tahu kau pasti hidup, Wira.”
Malam hari di dalam gubuk
Kini, di dalam gubuk sederhana, suasana menjadi lebih hidup. Wira, Bima, dan si kakek duduk melingkar di dekat lampu minyak yang menerangi ruangan dengan lembut. Wira memulai dengan senyumnya yang licik, “Hei, kek, ini temanku. Hei, temanku, ini si kakek iblis.”
Bima dan kakek serentak mengernyitkan alis, membuat ruangan terasa canggung sejenak. Bima mencoba berbicara, “Ah, halo, nama saya Bi-”
Namun, Wira dengan cepat menyela, “Stop! Jangan beritahu namamu, kawan.”
Bima menatap Wira bingung, “Kenapa?”
“Dia akan memakan kita nanti,” jawab Wira dengan nada serius bercampur bercanda, sambil menunjuk si kakek dengan dagunya.
Si kakek yang menyilangkan tangan di dada hanya mendengus. Dengan suara beratnya, ia berbicara, “Hm, jadi kau bocah tangguh yang selalu dibicarakan bocah tengik ini ya? Memang kau kelihatan lebih kuat, lebih baik... dan lebih jujur sepertinya.”
Wira mendesis pelan, “Nah, mulai lagi. Omong-omong apakah senjatanya sudah siap , kawan?”
Bima, yang berusaha tetap sopan meski bingung dengan interaksi aneh ini, langsung menjawab, “Senjatanya sudah siap. Aku sudah mencobanya dan hampir semuanya berfungsi dengan baik, tapi kau harus tetap hati-hati dengan pin pengamannya karena ini belum sempurna.”
Mendengar itu, Wira tersenyum lebar. Dalam hatinya, ia memuji, “Rizki memang hebat.” Ia lalu menatap kakek dengan ekspresi penuh percaya diri, “Hei, kakek iblis, tengah malam ini akan kutunjukkan caraku menghancurkan bajingan itu. Kau akan menyaksikanku membuat bajingan itu bertekuk lutut di hadapanku.”
Si kakek tetap mempertahankan wajah datarnya, tetapi suaranya terdengar datar sekaligus sinis saat ia menjawab, “Semoga yang besar bukan hanya omonganmu saja, bocah.”
Tengah malam di tepi sungai
Langit gelap diselimuti awan tipis, hanya rembulan yang redup memberikan sedikit cahaya. Wira, Bima, dan si kakek kini bersiap di pinggir sungai. Kakek menggenggam senapannya dengan penuh kewaspadaan, Bima memegang tongkat besi yang terlihat kokoh di tangannya, sementara Wira berdiri dengan santai, hanya memegang sebuah granat kriogenik kecil di tangannya.
Kakek mengarahkan pandangannya ke Wira. “Bocah, kita bahkan tidak tahu di mana Ruo sekarang. Apa sebenarnya rencanamu?”
Wira melirik kakek sambil tersenyum tipis, lalu menjawab, “Kali ini tidak ada rencana, kek. Kita hanya memancingnya ke sini, lalu kita bunuh dia.”
Kakek menyipitkan matanya curiga. “Hm, apa kau akan menjadikanku umpan, bocah?”
Wira tertawa kecil, geleng-geleng kepala. “Oh, itu tidak mungkin, kek. Ruo tidak bisa mendeteksi iblis sepertimu. Hei, kau lebih baik turunkan senapanmu itu, duduk manis, dan tonton pertunjukkanku. Kau juga, kawan tinggi. Kalau mau, duduklah manis.”
Bima mengangkat alis, sedikit ragu dengan sikap santai Wira. “Kau yakin tidak butuh bantuan?” tanyanya.
Wira tidak menjawab, hanya melangkah ke arah sungai. Langkahnya tenang, namun aura keyakinan menyelimutinya.
Di tepi sungai
Wira berdiri di pinggir sungai, menatap permukaan air yang beriak. Ia membungkuk sedikit, melihat pantulan dirinya di sungai yang gelap namun tetap memperlihatkan bayangan wajahnya. Dengan perlahan, Wira menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Beberapa saat kemudian, ia membuka matanya, pandangannya langsung tertuju pada pantulan dirinya yang tak sempurna di permukaan air.
Saat itu juga, perasaan aneh datang lagi. Sama seperti ketika ia menatap cermin di rumah sakit. Detak jantungnya semakin cepat, matanya melebar, tubuhnya mulai gemetar tanpa kendali. Wira bergumam pelan, nyaris seperti bisikan, “Datanglah, bajingan.”
Ia terus memandangi bayangannya, membiarkan perasaan itu menguasainya. Detik demi detik berlalu hingga akhirnya…
“Tap… tap… tap…”
Suara langkah berat terdengar dari balik pepohonan.
Bima dan kakek menoleh serempak ke arah suara itu. Dari dalam bayangan gelap hutan, sebuah sosok perlahan muncul, berjalan mendekat dengan gerakan lambat namun penuh tekanan.
Sosok itu terlihat seperti seorang kakek tua. Tubuhnya tidak terlalu besar, kurus namun tidak tampak rapuh. Wajahnya penuh dengan kerutan, seperti menggambarkan usia panjang yang melelahkan. Namun, kulitnya memantulkan cahaya redup bulan, seolah-olah terbuat dari logam keras. Setiap langkahnya menghasilkan suara denting halus yang menggetarkan udara.
Aura mencekam menyelimuti area itu. Suhu udara terasa semakin berat, seperti ditarik ke dalam kehampaan.
Kakek mencengkeram senapannya erat, sementara Bima memperkuat genggaman pada tongkat besinya. Keduanya menatap Ruo dengan sorot mata tajam, namun tidak bisa menyembunyikan sedikit rasa gentar yang mulai menyelinap.
Wira, di sisi lain, tersenyum lebar. Tatapannya tajam seperti bilah pisau. “Ah, kau datang juga, Ruo.”
Ruo menoleh perlahan ke arah Wira. Matanya yang redup dan kosong menatap langsung, tak menyiratkan emosi apapun.
Makhluk itu mulai berlari dengan gerakan mendadak, menghentakkan kakinya di tanah, menghasilkan suara yang menggema di sekitar. Namun, Wira tetap berdiri tenang. Dengan cepat, ia menarik pin granat kriogeniknya dan melemparkannya ke arah tubuh Ruo. Granat itu meluncur dengan presisi sempurna dan…
“CRESSSSHHHHH…”
Udara di sekitar mereka tiba-tiba menjadi sangat dingin. Suara es yang membeku terdengar jelas saat tubuh Ruo terhenti, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal.
Kakek terdiam, tak percaya melihat pemandangan itu. “Dingin… jadi ini kelemahannya?” gumamnya dalam hati.
Wira melangkah mendekati Ruo, mengambil tongkat besi Bima yang ia bawa. Suara seret dari tongkat itu menggores tanah kerikil sepanjang langkahnya. Ia berjalan santai, penuh percaya diri, senyumnya melebar seperti orang yang baru saja memenangkan perang.
“Jadi, apa kau ini monster? Atau… hanya seekor kucing? Kenapa kau takut sekali dengan dingin? Hahaha!” tawa Wira menggema di tengah hening, penuh rasa puas.
Dengan satu ayunan keras, ia menghantam kedua kaki Ruo. “BRAK!” Suara itu menggema. Kedua kaki Ruo hancur seketika, dan makhluk itu kini benar-benar berlutut di hadapan Wira.
Namun, yang lebih mencengangkan adalah tubuh Ruo tidak menunjukkan regenerasi. Dingin ekstrim itu sepenuhnya menghentikan kemampuan penyembuhannya.
Wira menatap Ruo dengan tatapan tajam, seolah berbicara kepada sesuatu yang lebih besar di balik makhluk ini. “Hei, Gougorr… aku tahu kau di sana. Dengarkan ini baik-baik. Aku akan menghancurkan dirimu sampai berkeping-keping. Kubuat dirimu merasakan rasa sakit yang tiada akhir. Akan kusiksa kau selamanya, bahkan jika kau sudah mati, aku akan memburumu sampai ke neraka!”
Dengan ayunan terakhir yang penuh tenaga, Wira menghantam tongkat besi itu ke kepala Ruo.
“BRAKKKKK!”
Kepala Ruo hancur berkeping-keping, serpihannya terjatuh ke tanah. Tubuh makhluk itu rubuh, tidak lagi bergerak.
Kakek berdiri di tempatnya, tidak berkata apa-apa. Matanya menatap Wira yang berdiri tegap di tengah tubuh monster yang telah kalah. Dalam hatinya, ia merasa takjub sekaligus gentar.
“Jadi… ini kekuatan bocah ini,” gumam kakek, merasakan bahwa Wira bukan hanya manusia biasa. Sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya, mungkin tersembunyi di balik senyuman bocah itu.