Hampir separuh dari hidupnya Gisell habiskan hanya untuk mengejar cinta Rega. Namun, pria itu tak pernah membalas perasaan cintanya tersebut.
Gisell tak peduli dengan penolakan Rega, ia kekeh untuk terus dan terus mengejar pria itu.
Hingga sampai pada titik dimana Rega benar-benar membuatnya patah hati dan kecewa.
Sejak saat itu, Gisel menyerah pada cintanya dan memilih untuk membencinya.
Setelah rasa benci itu tercipta, takdir justru berkata lain, mereka di pertemukan kembali dalam sebuah ikatan suci.
"Jangan sok jadi pahlawan dengan menawarkan diri menjadi suamiku, karena aku nggak butuh!" ucap Gisel sengit
"Kalau kamu nggak suka, anggap aku melakukan ini untuk orang tua kita,"
Dugh! Gisel menendang tulang kering Rega hingga pria itu mengaduh, "Jangan harap dapat ucapan terima kasih dariku!" sentak Gisel.
"Sebegitu bencinya kamu sama abang?"
"Sangat!"
"Oke, sekarang giliran abang yang buat kamu cinta abang,"
"Dih, siang-siang mimpi!" Gisel mencebik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
Rega harus mengantre cukup panjang demi bisa mendapat sate langgannnya dan isel dulu tersebut.
"Satu porsi ya, Kang!" ucap Rega.
Tukang sate itu menoleh, "Siap pak dokter. Kemana aja, pak? Kok nggak pernah kelihatan, udah bosan ya makan sate?" tanya kang sate yang ternyata masih ingat dengan Rega.
Rega hanya tersenyum lalu memilih duduk di bangku kosong untuk menunggu pesanannya.
"Sebentar ya pak dokter, saya dahulukan yang pesan lebih dulu," ucap kang sate.
Rega menganggukkan kepalanya. Ia mengamati warung sate berupa tenda tersebut. Dulu ia dan Gisel sering makan sate di sana. Meski terlahir dari keluarga kaya, Gisel tak pernah risih makan di pinggir jalan. Gadis itu justru lebih suka makan di pinnggir jalan daripada di restauran mewah. Atau mungkin karena waktu itu mengikuti gaya hidup Rega yang sederhana? entahlah.
"Satu tusuk harus berisi delapan potongan daging kan, pak dokter?" tanya Kang sate.
Rega menoleh ke mobilnya, dulu Gisel yang selalu minta setiap tuusknya delapan potong daging ayam, tidak boleh kurang atau lebih. Sebelum makan gadis itu selalu menghitungnya terlenih dahulu. Jika punyanya lebih, ia akan memberikan kelebihannya pada Rega. Jika hitungannya kurang, Gisel akan meminta tambahan pada Rega. Rega tersenyum mengingat tingkah konyol Gisel kala itu.
Rega kembali menatap kang sate, "Iya, kang. Sambal kacangnya di pisah aja!" ujarnya kemudian. Seingatnyna Gisel tidak bisa makan sate dengan sambal kacang karena alergi.
"Siap, pak dokter!" sahut kang sate.
Gisel merasa jenuh menunggu di dalam mobil. Ia melihat ke arah warung tenda di seberang sana, antreannya masih lumayan banyak, udah macam antre BLT aja, pikirnya.
Karena bosan menunggu di dalam mobil, Gisel memutuskan untuk turun dan ikut menunggu. Naas, saat menyebrang jalan, ia di serempet oleh pengendara sepeda motor yang melaju cukup kencang hingga badannya berputar. Beruntung ia tak sampai jatuh. Hanya saja, ia merasa nyeri pada sikunya karena tersenggol stang sepeda motor itu.
Rega yang melihatnya langsung berlari menghampiri Gisel, "Kamu nggak apa-apa, dek? ada yang luka? Apanya yang sakit?" tanyanya khawatir. Ia mengamati sang istri dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Nggak apa-apa!" sahut Gisel.
Rega ingin mengejar pengendara motor tersebut, tapi sudah tidak terlihat.
"Abang kan udah bilang, tunggu aja di mobil, kenapa malah turun?" ucap Rega.
"Lama, makanya aku turun. Nggak usah lihatin aku kayak gitu!" ucap Gisel. Ia tak suka ditatap iba oleh suaminya.
"Aku hanya khawatir," ungkap Rega.
Gisel berjalan menuju warung tenda tersebut, tak lupa ia menyenggol lengan Rega dengan kasar. Rega menarik napasnya dalam lalu menyusul sang istri.
"Masih lama, ya kang?" tanya Gisel sembari duduk.
"Eh neng, pesanan pak dokter tadi kan? sebentar ya, neng. Lagi di siapin ini satenya. Kan harus di hitung delapan delapan, kan? sabar ya?" ucap kang sate tersenyum.
Gisel melihat Rega yang berjalan santai mendekatinya, dalam hati ia bertanya, apa suaminya yang meminta kang sate menghitung jumlah potongan daging pada setiap tusuknya?
"Nggak usah pakai sambal kacang ya, kang," ucap Gisel.
"Iya neng, tahu. Pak dokternya sudah bilang tadi," sahut kang sate.
Rega duduk di samping Gisel. Wanita itu langsung menggeser duduknya.
"Kamu nggak hanya alergi kacang? Alergi abang juga?" tanya Rega.
"Udah tahu nanya! Makanya jangan dekat-dekat!" sahut Gisel.
Alih-alih menjauh, Rega malah menggeser duduknya mendekati Gisel. Yang mana membuat wanita itu semakin menepi duduknya.
"Jangan geser terus nanti jat..."
Brugh!
Belum juga Rega selesai bicara, Gisel udah melampaui kursi duduknya. Rega sempat ingin menarik tangan Gisel tapi terlambat. Istrinya sudah terduduk di rumput.
"Kamu memilih jatuh daripada duduk dekat abang," Rega mengulurkan tangannya. Dengan wajah kesal nya, Gisel terpaksa menerima uluran tangan sang suami.
"Dekat kamu hanya akan mendapat luka!" cebik Gisel. Ia mengusap-usap pan tatnnya yang kotor. Ia melihat skitar, untung tidak ada yang memperhatikannya saat jatuh tadi.
"Abang pastikan setelah ini akan buat kamu kembali nyaman kalau dekat abang," bisik Rega.
"Coba aja kalau bisa!" tantang Gisel.
Rega tak menyahut. Ia, mendekati kang sate, "Udah belum, kang?" tanyanya.
"Bentar lagi, pak dokter!"
"Udah belum sih, kang? keburu maghrib nih!" Gisel sudah menekuk wajahnya.
"Bentar lagi neng., sabar. Orang sabar di sayang pacar! Iya, kan pak dokter?"
Rega hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan kang sate tersebut, "Dia punyanya suami, bukan pacar," ucapnya.
Kang sate tampak terkejut, "Nggak nyangka saya, kalian bisa awet sampe sekarang. Pak dokter makin gagah dan ganteng. Eh enengnnya makin cantik banget. Kalau dulu enengnnya sedikit pecicilan, ya. Sekarang kayaknya lebih kalem,"
Lebih kalem apanya, sama aja masih bar-bar, pikir Rega. Bedanya, , jika orang lain melihat Gisel yang sekarang pasti akan berpikiran sama seperti kang sate tersebut. Di lihat dari casing nya, emang Gisel kini menjelma menjadi wanita anggun dan elegan.
"Sudah punya anak berapa, ngomong-ngoimong?" tanya kang sate kepo.
Gisel menyambar sate yang barus saja selesai di bungkus dari tangan kang sate, "Jangan terlalu kepo sama hidup orang, kang. Urus aja itu satenya yang hampir gosong!" ujar Gisel sebelum ia pergi menuju mobil.
Rega menggelengkan kepalanya, "Maafkan istri saya, kang," ujarnya sembari mengambil dompet,
"Tidak apa-apa pak dokter, untung diingatkan sama enengnnya, kalau tidak beneran gosong ini," sahut kang sate.
Rega tersenyum, raut wajahnya langsung berubah ketika melihat isi dompetnya tak ada uang cash ternyata.
"ATM jauh nggak kang dari sini?"
"Lumayan pak dokter, kenapa tanya begitu?"
"Em, apa saya bisa pakai debit card atau transfer bayarnya?"
"Saya tidak hapal nomor rekening saya, pak dokter. Tidak ada uang cash?" tanyanya.
Rega mengangguk sungkan.
"Tidak apa-apa, bawa saja dulu, pak dokter. Pak dokter kan udah langganan, saya percaya. Kalaupun tidak di bayar, tidak apa-apa. Belum rejeki saya berarti,"
Rega benar-benar tidak enak kalau harus hutang untuk menafkahi sang istri.
"Sebentar, kang!" Rega berlari menuju mobilnya. Ia mengetuk kaca mobil.
"Apa?" tanya Gisel mode galak.
"Abang pinjam uang cash buat bayar satenya. Abang lupa nggak bawa, dek," ucap Rega.
Gisel mendengus, "Nggak modal amat, sih!" sungutnya. Meski begitu, ia tetap mengambil uang di dalam tasnya.
"Nanti abang ganti!" ucap Rega.
"Hem," sahut Gisel.
Rega segera kembali ke kang sate untuk membayar.
"Sudah saya bilang, di bawa aja dulu nggak apa-apa. Itu istrinya kayaknya nggak ikhlas kasih pinjamannya. Nanti di tagihnya lebih horor loh daripada dept collector. Istri saya begitu soalnya," kang sate malah curhat. Rega hanya tersenyum menanggapinya.
"Mudah-mudahan anaknya tidak ileran ya, pak dokter. Sudah keturutan makan sate saya soalnya. Di lihat dari auranya sepertinya anaknya perempuan,"
Rega mengernyit, bagaimana bisa kang sate mengira Gisel sedang ngidam. Perasaan dari tadi tidak ada pembahasan ke arah sana.
Orang praktek membuat bayi saja belum. Jangankan praktik buat bayi, kesenggol sedikit aja ngamuk macam macan betina istrinya, pikir Rega.
"Doakan saja, ya kang. Saya permisi!" pamit Rega.
"Bayar aja lama!" Protes Gisel.
Rega kembali melajukan mobilnya. Lalu berhenti pada sebuah kedai minuman boba," bobanya sekalian, ya? sini aja, nggak usah turun. Yang permen karet kan?"
Gisel tak menyahut. Ini orang kenapa, sih. Pikirnya. Mau bernostalgia dengan masa laluatau bagaimana? atau sengaja ingin membuka cerita dan luka lama? kok Gisel kesal sendiri kalau harus menduga-duga.
Tak lama setelah itu, Rega kembali ke mobil.
"Mau nyogok aku dengan makanan? Nggak akan mempan!" ucap Gisel.
"Bukankah dari makanan bisa turun ke hati?" sahut Rega.
Gisel memutar bola matanya malas, "Aku nelennya ke usus kali, bukan ke hati!" cebiknya.
Rega mengatupkan bibirnya, apa dia salah membuat perumpamaan. Ah entahlah, ia memang tak pandai berkata romantis apalagi puitis.
...****************...