Lusiana harus mengorbankan dirinya sendiri, gadis 19 tahun itu harus menjadi penebus hutang bagi kakaknya yang terlilit investasi bodong. Virgo Domanik, seorang CEO yang terobsesi dengan wajah Lusiana yang mirip dengan almarhum istrinya.
Obsesi yang berlebihan, membuat Virgo menciptakan neraka bagi gadis bernama Lusiana. Apa itu benar-benar cinta atau hanya sekedar obsesi gila sang CEO?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami Istri
Jika dibilang pernikahan, ini memang pernikahan. Namun, sama sekali tidak ada baju kebaya, tidak ada roti buaya, tidak ada cincin kawin, tidak ada soundsystem horeg, tidak ada tenda pengantin, tidak ada orang yang berkumpul untuk bantu-bantu memasak, bahkan ruangan terkesan tertutup.
Hanya ada mas kawin, itupun nilainya tidak seberapa karena untuk syarat sah pernikahan mereka. Jika Lusi minta, mungkin banyak sekali mas kawin yang akan diberikan oleh lelaki tersebut. Lelaki itu yang kini sudah sah menjadi istri Lusi. Setelah ijab kabul yang sangat sederhana.
***
Proses akad digelar sangat cepat. Semuanya juga tanpa persiapan yang matang, setelah resmi menikah, walau hanya secara siri. Virgo lantas memboyong Lusi dari sana. Dia tak akan membiarkan Lusi dan putranya tetap di rumah pak Hadi. Dia akan membawa Lusi ke tempat baru. Yang pasti tidak ke rumahnya. Di sana sudah ada Reva, istri pertamanya.
Saat ini, Virgo berdiri di ambang pintu menunggu Lusi yang pamit pada orang tua angkatnya itu. Dilihatnya Lusi begitu sedih saat berpamitan.
Sedangkan Roy, sekretaris Virgo sudah menunggu di dalam mobil. Dia sudah masuk mobil duluan sambil menunggu, Roy menyalakan audio agar tidak sepi dan bosa.
"Ibu Reva pasti marah kalau mengetahui hal ini," gumam Roy menatap lewat jendela. Dilihatnya sang bos masih berdiri menunggu istri barunya.
"Semoga nanti tidak perang dunia ketiga," gumam Roy. Dia tak akan bisa membayangkan bagaimana nanti kehebohan saat pernikahan ini diketahui oleh istri pertama Virgo.
Sedangkan di dalam rumah, Lusi masih berpamitan pada ibu dan bapak angkatnya. Berat memang harus pergi dari sana karena sudah terlanjur nyaman.
"Bapak ... Ibuk. Maafkan Lusi, terima kasih banyak sudah menolong saat Lusi dalam kesulitan, Lusi gak bisa balas kebaikan kalian sama Lusi," ucap Lusi sembari memeluk ibu angkatnya itu.
"Hubungi kami kalau kamu membutuhkan kami, Lus." Bu Hadi mengusap punggung Lusi. Rasanya terlalu cepat mereka berpisah. Baru saja merasa senang ada anggota keluarga baru di rumah yang selalu sepi tersebut. Kini, Lusi harus pergi. Rumah pasti akan kembali sunyi, tanpa ada tangis bayi. Bu Hadi pasti tambah kesepian dan memikirkan Tirta.
"Makasih banyak, Buk." Entah berapa kali Lusi mengucap rasa terima kasihnya, karena bagi Lusi kata terima kasih tak akan pernah cukup.
"Jaga diri baik-baik," gumam Bu Hadi lirih.
Lusi mengangguk, ia menatap sendu pada wajah Bu Hadi, kemudian pamit pada pak Hadi, tidak banyak kata-kata yang Lusi ucapkan, hanya tatapan sendu dan perasaan sedih, ia pun menempelkan punggung tangan pak Hadi di dahinya.
"Maafkan Lusi, Bapak. Terima kasih atas kebaikan kalian selama ini sama Lusi dan Tirta."
Pak Hadi menghela napas berat, ia usap kepala Lusi. Baru saja merasa senang, masa tuanya tidak kesepian lagi. Tapi Lusi punya takdir sendiri. Mungkin hidupnya akan bahagia dah berkecukupan saat ikut dengan lelaki yang kini jadi suaminya.
"Jaga diri baik-baik, Lusi. Bapak akan selalu mendoakan yang terbaik untuk mu, untuk anak kamu," ucap pak Hadi. Kelihatan sekali kalau beliau sedih karena akan ditinggal oleh Lusi dan anaknya.
"Bapak, Ibuk, terima kasih. Lusi tidak bisa membalas kebaikan kalian." Lusi tidak tahan kalau terus di sana, dia bisa menangis nantinya. Makanya Lusi langsung bergegas keluar. Sambil keluar dan melewati Virgo, Lusi mengusap pipi.
Virgo melihat hal itu, dia terdiam sambil mengamati Lusi dari belakang.
"Kami pergi dulu. Terima kasih," ucap Virgo kaku pada pak Hadi beserta istrinya.
Virgo kemudian masuk mobil, dia duduk di depan dengan Roy, sementara Lusi duduk di tengah sambil mengendong anaknya. Lusi juga membawa satu tas. Hanya tas ransel itu saja. Sebab Virgo meminta dia meninggalkan barang-barang lamanya. Barang buluk seperti orang miskin saja.
Sementara istri pak Hadi, beliau masuk rumah setelah mengantar sampai teras. Pasti akan rindu dengan Tirta, baru saja anak itu pamit, Bu Hadi merasa sangat kehilangan.
Wanita paruh baya itu pun masuk kamar Lusi. Dia peluk guling dengan sarung bantal yang warnanya pudar tersebut. Ia usap bantal bayi yang Lusi tinggalkan. Padahal bantal masih bagus, tapi dilarang oleh Virgo. Tidak boleh membawa barang yang sekiranya tak penting. Mereka bisa beli lagi.
Puas memeluk barang-barang Tirta, Bu Hadi lalu beranjak. Karena dipanggil sang suami.
"Bu! Ibuk!" suara pak Hadi yang duduk di ruang tamu.
"Ya, Pak." Bu Hadi mengusap wajahnya. Tidak mau suaminya melihat kalau Bu Hadi habis nangis. Saat akan keluar, mata Bu Hadi tertuju pada sebuah kerta di atas meja. Ia langsung membukanya.
[Untuk Bapak dan Ibu, yang sudah seperti ayah ibu Lusi sendiri. Terima kasih, semua kebaikan kalian tidak akan Lusi lupakan. Lusi akan mengingat kalian terus. Jika ada kesempatan, Lusi akan menemui kalian. Bapak ... Ibu ... di dalam kantong kresek itu ada uang. Kalian pakai untuk modal usaha. Kasian bapak harus masuk malam terus. Itu mungkin tidak banyak, tapi Lusi pikir akan cukup. Walaupun tak akan bisa membalas kebaikan kalian selama ini para Lusi. Ibu bapak, terima kasih. Semoga kita bisa bertemu di lain waktu. Lusi ...]
Bu Hadi tak jadi keluar kamar, dia malah duduk lagi sambil memeluk kertas itu. Suara tangis Bu Hadi pun terdengar dari luar. Sang suami langsung menghampiri.
"Sudah, jangan tangisi. Dia ikut suaminya. Anggap saja anakmu ikut suaminya. Dia tidak akan kesusahan lagi. Ibu harusnya bahagia."
Bu Hadi lalu memberikan kantong plastik hitam pada suaminya itu.
"Apa ini!" Pak Hadi membukanya. Cukup kaget saat melihat gebokan uang warna merah yang cukup banyak
"Dari mana ini, Bu? Punya siapa? Banyak sekali?"
"Sepertinya dari suaminya Lusi, Pak," jawab Bu Hadi sambil sesenggukan. Karena merasa anak cucu angkatnya ditukar dengan uang. Ada haru, ada sedih, campur aduk.
Pak Hadi menatap langit-langit kamarnya. Harus bersyukur atau sedih? Pak Hadi juga tak bisa menggambarkan rasanya setelah dapat rejeki nomplok tersebut. Pantas tadi mas kawinnya tak seberapa, padahal mobilnya bagus. Kelihatan orang kaya raya, ternyata suami Lusi memang benar orang kaya.
"Ibu simpan saja uang ini," kata pak Hadi lalu keluar dari kamar tersebut. Dia duduk merenung di teras.
Di sisi lain, pengantin baru masih di jalan. Tidak mungkin membawa Lusi ke rumah besar Virgo, bisa ketemu Reva. Tidak mungkin juga membawa ke apartemen Roy, Virgo tidak senang tentunya.
"Kita ke mana, Pak?" tanya Roy yang belum diberitahu mereka akan ke mana.
"Cari hotel!" jawab Virgo singkat dan padat.
terimakasih juga kak sept 😇