Di balik suami yang sibuk mencari nafkah, ada istri tak tahu diri yang justru asyik selingkuh dengan alasan kesepian—kurang perhatian.
Sementara di balik istri patuh, ada suami tak tahu diri yang asyik selingkuh, dan mendapat dukungan penuh keluarganya, hanya karena selingkuhannya kaya raya!
Berawal dari Akbar mengaku diPHK hingga tak bisa memberi uang sepeser pun. Namun, Akbar justru jadi makin rapi, necis, bahkan wangi. Alih-alih mencari kerja seperti pamitnya, Arini justru menemukan Akbar ngamar bareng Killa—wanita seksi, dan tak lain istri Ardhan, bos Arini!
“Enggak usah bingung apalagi buang-buang energi, Rin. Kalau mereka saja bisa selingkuh, kenapa kita enggak? Ayo, kamu selingkuh sama saya. Saya bersumpah akan memperlakukan kamu seperti ratu, biar suami kamu nangis darah!” ucap Ardhan kepada Arini. Mereka sama-sama menyaksikan perselingkuhan pasangan mereka.
“Kenapa hanya selingkuh? Kenapa Pak Ardhan enggak langsung nikahin saya saja?” balas Arini sangat serius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Mesra yang Berbeda
Bingung. Itulah yang Arini rasakan di setiap dirinya akan memanggil Ardhan, terlebih detik itu juga Ardhan langsung menatapnya. Tatapan yang lebih mirip tengah menakut-nakutinya.
“Padahal, kamu enggak dipaksa mikir karena beras habis atau malah, kamu mau berangkat kerja, eh belum sarapan dan bahkan enggak punya uang buat sekadar ongkos!” ucap Ardhan sengaja menyindir Arini yang membuatnya menenteng wajan dan taflon.
“Paham banget kehidupanku sebelum ini, ih!” tanggap Arini yang jadi sungkan kepada Ardhan. Apalagi setelah memberi banyak persyaratan mengenai panggilan, Ardhan juga dengan tegas tak mau dipanggil SAYANG. Sebab sebelumnya, Killa sudah terbiasa memanggil itu ke Ardhan. Ardhan berdalih, pria berusia di awal tiga puluhan itu langsung merasa gedek, emosi, dan ingin muntah, di setiap dirinya mendapatkan panggilan tersebut.
“Aku ini keturunan genetik cerdas, Rin. Istriku selingkuh pun, aku tahu sejak lama. Aku sengaja biarin dan hanya kasih kode. Jadi, jika dari kode saja tetap belum bisa bikin dia jera, ... ya sudah, ... hubungan kami hanya tinggal b a n g k a i.”
“Aku menghargai orang-orang terlebih pria seperti—”
“Seperti Pak Ardhan? Kamu disuruh kasih panggilan khusus saja, seperti dipaksa gendong beban negara yang setiap kita bernapas, bunganya makin nambah! Bisa-bisanya wajah jadi pucat berkeringat gitu!”
Ucapan Ardhan kali ini, tidak bisa membuat Arini untuk tidak tertawa. Apalagi ketika wajan dan taflon di tangan Ardhan silih berganti m e n a b o k gemas p a n t a t Arini. Arini refleks histeris ketakutan dan berusaha sampai ke dalam mobil dulu, tapi tetap saja masih bisa cekikikan.
Wajan, taflon, panci, piring, dan keperluan dapur maupun rumah lainnya. Tanpa terkecuali, kompor k e s et aneka pernak pernik rumah yang membuat Arini semangat jadi IRT lebih baik lagi melebihi ketika menjadi istri Akbar. Semua itu tengah Arini maupun Ardhan absen. Keduanya masih berdiri bersebelahan di depan bagasi mobil yang mereka biarkan buka.
“Kita, belum beli LPG, ya?” tanya Arini yang kemudian menatap Ardhan.
Di sebelahnya, Ardhan yang sudah kembali sibuk dengan ponsel, berkata, “Nanti ambil saja di rumah mama. Mbah Septi kan jualan LPG. Punya banyak dia. Lagian dekat orang tua, kalau kurang apa-apa, tinggal ambil saja di rumah orang tua.”
“Kalau kurang-kurang, serba ambil di rumah orang tua, itu namanya orang kurang. Kurang a j a r, maksudnya. Omong-omong, ... aku takut banget ke mbah Septi. Apalagi di setiap vlog-nya kak Ojan, mbah Septi garang gitu!” lirih Arini yang memang ketakutan. Ia jadi menatap takut Ardhan sebagai wujud dari rasa takutnya kepada salah satu nenek pria itu. Alih-alih meresponnya serius, Ardhan malah tertawa dan sulit berhenti.
“Aku aduin loh nanti kamu ke mbah Septi!” ucap Ardhan sengaja menakut-nakuti Arini.
“Ihhhh, jangan gitu dong!” heboh Arini berangsur minggir dari depan bagasi lantaran Ardhan hendak menutupnya. Bagasi yang jadi penuh belanjaan itu sudah sepenuhnya Ardhan tutup dalam waktu singkat.
“Ini kita belanjanya kol banyak banget, ya? Bagasi sampai penuh. Niatnya beli apa, lihat k e s e t lucu saja, kamu langsung buru-buru ngoleksi.” Ardhan bergegas masuk ke dalam mobil.
“K–kamu kan kalau dari kamar mandi, airnya sampai ke rumah tetangga. Dan itu beneran licin. Kalau yang kepleset kita atau minimal aku, aku masih bisa bangun. Nah kalau yang kepleset itu ibu apalagi mbah Septi, ... bisa ada adegan kloset melayang. Makanya aku perlu k e s e t. Biar rapi juga. Lagian, tinggal di dekat orang tua, pasti setiap saat berasa ada penilaian gladi bersih,” balas Arini yang masuk melalui pintu berbeda.
“Omong-omong, ini kita telat. Semuanya sudah nunggu termasuk penghulu. Namun kita yang mau ijab kabul masih di sini,” ucap Ardhan serius.
“Eh, jam berapa sih ini?” sergah Arini buru-buru memastikan waktu di arloji yang menghiasi pergelangan tangan kiri Ardhan dan sampai ia raih.
“Eh iya, kita telat!” lirih Arini panik, tapi kedua mata Ardhan yang awalnya serius, malah jadi menatap kedua matanya sangat teduh.
“Eh, ... nih orang kenapa?” batin Arini buru-buru melipir sekaligus minggir. Entah kenapa, ditatap dengan tatapan sangat dalam seperti tadi oleh Ardhan, langsung membuatnya gugup sekaligus tegang. “Takut ‘kebablasan’ karena sudah telanjur langsung nyaman. Untungnya, bentar lagi ijab kabul!” batin Arini lagi yang memang makin deg-degan.
Terlepas dari semuanya dan itu mengenai telatnya mereka di acara mereka sendiri, Arini membenarkan lantaran tadi, ia dan Ardhan yang sama-sama tipikal heboh, memang keasyikan memilih belanjaan.
“Walau hanya ijab kabul, semua anggota keluarga yang ada di rumah pasti kumpul. Jadi ya, serame-rame acara di kampung, ... itu bakalan jadi acara keluarga kami yang sepi,” ucap Ardhan sambil sesekali melirik Arini. Ardhan yakin, diamnya Arini yang langsung menjaga jarak darinya karena Arini jadi canggung sekaligus gugup kepadanya. Kecanggungan sekaligus rasa gugup yang langsung kembali terurai tak lama setelah mereka sampai rumah. Sebab keramaian di sana, membuat Arini berlindung kepadanya.
Arini mirip satelit yang terus mengikuti di belakang Ardhan. Karena persis seperti yang Ardhan jelaskan, sesepi-sepinya acara keluarga Ardhan, ialah serame-ramenya acara di kampung mereka tinggal.
“Keluarga pak Ardhan sangat berada. Semua kalangan berada bahkan sungkan ke mereka. Selain itu, mereka juga tipikal rukun guyub. Killa saja yang nekat. Ibaratnya, Killa udah gali kuburannya sendiri. Killa sudah buang berlian seperti pak Ardhan, hanya buat batu kali paling keropos seperti Akbar. Padahal andai suami sibuk dan dia juga sibuk, harusnya tetap ada waktu buat mesra. Soalnya dari kemarin, jalan sambil ngobrol saja, sebenarnya pak Ardhan tipikal mesra. Ya meski mesranya pak Ardhan memang beda. Lagian setiap orang emang beda, kan? Oh iya ... omong-omong aku baru sadar. Bahwa sepertinya selama ini, kepatuhanku yang enggak segan bantu ekonomi keluarga rumah tanggaku dan Akbar, justru sudah dimanfaatkan oleh mereka. Iya, kan, ya ... alasan Akbar baik-baik lagi ke aku karena agar aku urus mama dan adiknya. Itu tadi dia sempat keceplosan. Eh, kok aku mendadak merasa tambah cerdas ya? Padahal kemarin aku sempat pikun akut,” pikir Arini yang seketika menahan napas hanya karena Ardhan akan membawanya menemui keluarga besar di dalam rumah.
Rumah keluarga Ardhan sudah sangat ramai. Jangankan di dalam, di halaman rumah saja, keramaian sudah terasa. Barang belanjaan mereka sengaja Ardhan biarkan dan baru akan diturunkan nanti. Sebab mereka telanjur telat.
Karena Arini kerap tertinggal, Ardhan yang memimpin langkah dan awalnya sibuk dengan ponsel, inisiatif menggandeng Arini. Detik itu juga dunia Arini seolah berhenti.
“Melebihi adegan drama dan film India, yang adegan slow motionnya, bisa sambil masak rendang sampai mateng!” batin Arini yang dalam hatinya juga jadi mengucapkan terima kasih kepada Killa. “Makasih karena sudah menyia-nyiakan berlian seperti pak Ardhan ya, bu Killa. Aku merasa menjadi wanita paling beruntung karena akan menjadi istri sekaligus prioritasnya. Enggak apa-apa jika aku harus berebut perhatiannya dengan sederet kesibukannya. Pasti kami tetap bisa mesra ketimbang berebut perhatian suami seperti Akbar yang tetap menomer satukan mama dan adik perempuannya, apa pun yang terjadi!”
ayo up lagi
batal nikah wweeiii...
orang keq mereka tak perlu d'tangisi... kuy lah kalean menikah.. 🤭🤭🤭🤭🤭🤣🤣🤣