NovelToon NovelToon
Malapetaka Batu Luar Angkasa

Malapetaka Batu Luar Angkasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Hari Kiamat
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Esa

Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.

Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.

Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kekuatan dalam Kebersamaan

Setelah pria itu bertanya dan mendapatkan jawaban yang menenangkan dari Ustadz Abdullah, suasana di masjid menjadi lebih hangat. Jamaah yang awalnya terpecah dalam tawa kini beranjak mendekat satu sama lain, merasakan solidaritas sebagai umat yang sama, berbagi beban dan harapan di tengah kesulitan hidup.

Ustadz Abdullah memanfaatkan momen tersebut untuk melanjutkan ceramahnya. Ia melihat wajah-wajah yang penuh harapan dan kekhawatiran. “Saudaraku,” ia memulai, “di tengah kesulitan yang kita hadapi, Allah selalu memberikan kita peluang untuk bersatu, untuk saling mendukung satu sama lain. Di dunia ini, kita tidak sendiri. Kita memiliki satu sama lain, dan kita memiliki Allah yang selalu mendengar doa kita.”

Di antara jamaah, seorang wanita tua yang duduk di barisan depan mulai menangis. Ia teringat akan kehilangan yang dialaminya, bagaimana kesulitan hidup terkadang membuatnya merasa terasing dan sendirian. Melihatnya, Ustadz Abdullah melanjutkan, “Jangan pernah merasa sendirian dalam menghadapi kesedihan. Setiap dari kita memiliki tantangan masing-masing. Apa yang tampak di luar tidak selalu mencerminkan kenyataan di dalam. Mari kita berbagi beban, mari kita saling membantu, dan mari kita ingat bahwa di surga, kita akan berkumpul kembali.”

Salah satu jamaah, seorang pemuda bernama Rizal, merasa tergerak untuk berbicara. “Ustadz, kami merasa terinspirasi oleh ceramah ini. Kami ingin berkontribusi, kami ingin membantu mereka yang membutuhkan di sekitar kita. Apa yang bisa kami lakukan?”

Ustadz Abdullah tersenyum bangga. “Itulah semangat yang benar! Kita bisa mulai dengan hal-hal kecil. Mungkin membantu tetangga kita yang membutuhkan, membagikan makanan kepada mereka yang kelaparan, atau bahkan sekadar mengunjungi orang-orang yang sedang sakit. Kita harus menjadi cahaya bagi satu sama lain.”

Rizal mengangguk, dan seiring dengan kata-kata Ustadz, ide-ide mulai muncul di benak para jamaah. Mereka mulai berdiskusi, berbagi pemikiran tentang bagaimana mereka dapat membantu sesama. “Bagaimana jika kita mengumpulkan donasi untuk membeli bahan makanan?” seorang wanita berbicara. “Atau kita bisa memasak bersama dan membagikannya kepada mereka yang kurang beruntung,” usul yang lain.

Suasana menjadi semakin hidup dengan berbagai ide yang muncul. Ustadz Abdullah merasa bangga melihat semangat kebersamaan di antara jamaahnya. “Inilah yang Allah inginkan dari kita, saudaraku. Ketika kita bersatu, kita bisa menghadapi tantangan apapun. Ingatlah, kebaikan itu tidak akan pernah sia-sia. Setiap tindakan kecil yang kita lakukan akan memiliki dampak besar, tidak hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi diri kita sendiri.”

Malam itu, jamaah semakin bersemangat. Mereka mulai merencanakan aksi sosial yang akan dilakukan bersama. Rasa kebersamaan dan keinginan untuk membantu orang lain menguatkan hati mereka, mengalihkan perhatian dari kesedihan dan kesulitan yang tengah melanda.

Setelah selesai, mereka memutuskan untuk melakukan pertemuan di akhir pekan untuk merencanakan kegiatan lebih lanjut. Saat mereka beranjak dari masjid, Ustadz Abdullah menghampiri pria yang tadi bertanya. “Saudaraku, kamu juga harus terlibat. Mari kita buktikan bahwa kita bisa saling membantu dan mendukung.”

Pria itu mengangguk, wajahnya kini dipenuhi semangat baru. Meski perjalanan hidupnya masih panjang, ia merasakan bahwa ia tidak lagi sendirian. Ada banyak orang di sekelilingnya yang bersedia membantu, dan ini memberinya harapan.

Di malam yang sama, Ustadz Abdullah pulang ke rumah dengan perasaan lega. Ia merasa tugasnya untuk memberi semangat kepada umat telah berhasil. Ia berdoa, meminta agar Allah memberikan keberkahan kepada setiap langkah yang diambil oleh jamaahnya. Ustadz berharap semangat ini akan terus berkembang dan memberi dampak positif bagi masyarakat sekitar.

Dalam hening malam, saat bintang-bintang berkelap-kelip di langit, Ustadz Abdullah teringat akan firman Allah, “Dan kami jadikan di antara mereka itu permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat.” (QS. Al-Maidah: 14). Ia tahu, jika mereka terus bersatu dan saling mendukung, mereka akan mampu melawan segala bentuk permusuhan yang ada.

Beberapa hari kemudian, saat pertemuan dilakukan, para jamaah terlihat penuh antusias. Mereka merencanakan untuk mengunjungi panti asuhan dan rumah sakit, membagikan makanan dan memberikan bantuan kepada mereka yang terdampak kemarau panjang. Mereka menyusun rencana dan menetapkan tanggal untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

Ustadz Abdullah merasa bangga melihat perkembangan ini. Kebangkitan semangat ini adalah tanda bahwa umatnya benar-benar peduli satu sama lain. Ia merasa, meskipun dunia di luar sana mungkin sedang mengalami kesulitan, di dalam komunitasnya, mereka sedang menciptakan perubahan positif.

Dengan tekad dan semangat baru, jamaah itu siap untuk menghadapi tantangan apa pun, bersatu dalam ikatan ukhuwah yang kuat. Mereka akan menunjukkan bahwa meskipun kesengsaraan sedang melanda, hati yang penuh kasih dan saling peduli akan selalu mampu mengatasi kegelapan.

Pertemuan dengan Realita

Sesampainya di rumah sakit, UstadZ Abdullah dan rombongan jamaah terkejut melihat kondisi bangunan yang seharusnya menjadi tempat harapan bagi banyak orang. Papan nama yang dulunya berkilau kini terlihat kusam, dinding-dindingnya dipenuhi retakan, dan suasana sepi meliputi area itu.

Salah satu jamaah, Budi, berseru dengan nada skeptis, "Gila, ini rumah sakit gimana cara menangani pasiennya? Kan teknologi sudah musnah sejak kejadian dukhon!" Ia melirik sekitar, mencoba memahami situasi yang tidak biasa itu.

Ustadz Abdullah merasakan ketidakpuasan di antara jamaahnya. "Saudara-saudara, mari kita bersikap sabar. Mungkin situasi di sini memang sulit, tapi kehadiran kita dapat memberikan semangat baru bagi mereka yang sedang berjuang. Meskipun teknologi terbatas, perhatian dan kasih sayang kita bisa menjadi obat yang sangat berharga."

Mereka melangkah lebih dalam ke dalam rumah sakit. Aroma antiseptik yang samar terasa di udara, tetapi tidak mampu menghilangkan kesan kumuh dari tempat itu. Beberapa pasien tergeletak di ranjang, tampak lemah dan tidak terawat. Keterbatasan sumber daya membuat rumah sakit ini tidak mampu memberikan pelayanan yang layak.

Seorang perawat tua mendekati mereka, terlihat kelelahan. "Maaf, kami sangat kekurangan tenaga dan peralatan di sini. Kami hanya bisa melakukan yang terbaik dengan apa yang kami miliki." Suaranya penuh rasa sedih, mencerminkan kepedihan yang dirasakannya.

Ustadz Abdullah menghampiri perawat itu. “Saudari, kami datang untuk memberikan sedikit bantuan dan menyemangati para pasien. Kami akan mencoba membantu apa yang kami bisa.”

Budi, yang masih skeptis, berbisik kepada teman-temannya, “Apa yang bisa kita lakukan di sini? Mereka membutuhkan peralatan, bukan sekadar bantuan moral.”

Ustadz Abdullah mendengar bisikan itu dan menatapnya tajam. “Budi, jangan meremehkan kekuatan dari perhatian dan kehadiran kita. Satu senyuman, satu sentuhan kasih sayang, bisa membuat perbedaan yang besar dalam hidup seseorang.”

Mereka melanjutkan perjalanan ke ruang pasien. Saat mereka masuk, seorang pasien paruh baya dengan wajah pucat menyambut mereka. “Siapa kalian?” tanyanya lemah.

“Kami datang untuk menjenguk dan memberikan sedikit bantuan,” jawab Ustadz Abdullah dengan lembut. “Kami berharap bisa memberikan semangat kepada para pasien di sini.”

Pasien itu menggeleng, “Saya rasa tidak ada yang bisa membantu kami di sini. Ini adalah tempat terakhir bagi kami.”

Ustadz Abdullah mendekat, menepuk bahunya. “Setiap hidup berharga, dan harapan tidak pernah mati. Kami ada di sini untuk mengingatkan bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya. Mari kita berdoa bersama agar Allah memberikan kesembuhan dan kekuatan.”

Mendengar kata-kata itu, beberapa pasien lain mulai mengangkat kepala mereka. Satu per satu, mereka mendengarkan, dan suasana mulai berubah. Sinar harapan muncul di mata mereka.

Budi yang awalnya skeptis kini merasakan gelombang emosi. Ia melihat betapa pentingnya kehadiran mereka. “Ustadz, bagaimana jika kita mengadakan sesi doa dan berbagi cerita? Mungkin itu bisa mengangkat semangat mereka,” usulnya.

“Hebat sekali, Budi!” jawab Ustadz Abdullah dengan semangat. “Mari kita lakukan itu.”

Mereka mulai mengumpulkan pasien di satu ruangan. Suasana menjadi lebih hidup saat Ustadz Abdullah memimpin doa, diikuti oleh semua yang hadir. Ia mengajak mereka untuk berbagi cerita, menggali harapan, dan saling mendukung satu sama lain.

Seorang pasien wanita, Rina, mengangkat tangan. “Saya merasa sangat terpuruk, Ustadz. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa bertahan.”

“Rina,” Ustadz Abdullah menjawab, “ketika kita merasa tidak berdaya, ingatlah bahwa Allah selalu bersama kita. Dalam setiap kesedihan, ada hikmah yang tersembunyi. Apa pun yang terjadi, Allah tidak akan pernah meninggalkan kita. Mari kita hadapi bersama.”

Rina mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Terima kasih, Ustadz. Saya tidak pernah merasa ada yang peduli.”

Mendengar kata-kata Rina, para pasien lain mulai berbagi cerita mereka. Setiap kata yang diucapkan seperti menyentuh jantung, membuat setiap orang merasakan kedekatan yang luar biasa.

Ustadz Abdullah mengarahkan diskusi. “Kita semua memiliki beban, tetapi kita juga memiliki kekuatan untuk saling mengangkat. Di surga, tidak ada penderitaan. Mari kita berdoa agar Allah memberikan kita kekuatan untuk menghadapi hari-hari sulit ini.”

Setelah sesi berbagi berakhir, jamaah mulai membagikan makanan dan barang-barang yang mereka bawa. Raut wajah pasien-pasien yang sebelumnya lesu kini mulai tersenyum. Mereka merasakan kasih sayang yang tulus dari para jamaah, yang datang dengan harapan dan semangat.

Ustadz Abdullah melihat sekeliling dengan penuh rasa syukur. “Inilah yang kita butuhkan, saudara-saudara. Mari kita terus berbagi, tidak hanya hari ini, tetapi sepanjang waktu. Kita bisa menjadi harapan bagi satu sama lain.”

Saat hari beranjak senja, para jamaah berpamitan kepada para pasien. Meskipun mereka datang dengan niat untuk membantu, mereka malah pulang dengan hati yang penuh. Mereka menyadari bahwa meskipun dunia di luar penuh tantangan, di dalam kebersamaan dan cinta, mereka bisa menemukan kekuatan.

Menghadapi Kenyataan

Perjalanan pulang dari rumah sakit membawa Ustadz Abdullah dan rombongan jamaah melewati jalan yang pernah ramai dengan kendaraan. Namun, suasana sebaliknya kini mereka temui. Di sepanjang jalan, mobil dan motor terparkir berjejer, terbengkalai seperti hantu di tempat yang dulunya penuh kehidupan.

“Lihatlah, pom bensin itu sudah tidak beroperasi lagi,” Budi menunjuk ke arah pom bensin yang ditumbuhi rumput liar. “Sepertinya, tidak ada lagi yang menggunakan bahan bakar.”

“Ya, sangat menyedihkan,” sahut Siti, seorang jamaah wanita. “Kita benar-benar hidup di masa yang sulit. Semua yang bergantung pada teknologi kini menjadi hancur.”

Ustadz Abdullah merenung mendengar kata-kata mereka. “Kita harus ingat, ini adalah bagian dari takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Dalam situasi seperti ini, justru kita perlu mendekatkan diri kepada-Nya.”

Mereka terus berjalan, melintasi area yang dulunya ramai dengan pedagang dan aktivitas. Kini, kios-kios telah tutup, dan lapak-lapak dagangan tak berpenghuni. Rindangnya pepohonan dan ladang yang dulunya hijau kini tampak kering dan rapuh.

“Aku rindu suasana pasar,” ujar Siti dengan suara serak. “Dulu, kita bisa menemukan makanan enak dan berbincang dengan teman-teman.”

“Semua itu sekarang hanya kenangan,” Budi menambahkan. “Semoga kita bisa kembali ke masa itu. Kita harus berjuang agar generasi berikutnya tidak mengalami hal ini.”

Ustadz Abdullah menatap Budi dengan serius. “Budi, masa depan tidak ditentukan oleh nostalgia kita, tetapi oleh tindakan kita hari ini. Mari kita tunjukkan kepada anak-anak kita bahwa kita bisa menghadapi kesulitan ini dengan keteguhan iman dan persatuan.”

Jalanan sepi dan sunyi, hanya suara langkah kaki mereka yang memecah kesunyian. Mereka melintasi jembatan yang biasanya ramai dilalui kendaraan, tetapi sekarang sepi. Di ujung jalan, sebuah stasiun kereta terlihat terabaikan. Rel-rel kereta ditumbuhi rumput liar, dan gerbong-gerbong kereta berkarat berdiri tak berdaya.

“Dulu, kita sering bepergian dengan kereta. Sangat menyenangkan,” kenang Siti. “Sekarang, semua ini tampak suram.”

Ustadz Abdullah mengangguk. “Memang, kehidupan kita telah banyak berubah. Namun, kita harus tetap bersyukur. Masih ada banyak hal yang bisa kita syukuri, terutama kebersamaan kita saat ini.”

Saat rombongan melanjutkan perjalanan, mereka melihat sekelompok anak-anak yang sedang bermain di pinggir jalan. Mereka tidak memiliki mainan seperti yang biasa mereka miliki, tetapi mereka tampak ceria dengan permainan sederhana yang mereka buat sendiri.

“Lihatlah anak-anak itu,” Ustadz Abdullah berujar. “Mereka menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Kita perlu belajar dari mereka. Kebahagiaan sejati tidak tergantung pada kekayaan atau kemewahan, tetapi pada kebersamaan dan rasa syukur.”

Budi tertegun, menyaksikan keceriaan anak-anak itu. “Kita mungkin bisa membantu mereka dengan memberikan sedikit makanan atau mainan,” usulnya.

Ustadz Abdullah mengangguk setuju. “Itu ide yang bagus. Mari kita lakukan.”

Mereka berhenti dan membagikan makanan yang mereka bawa kepada anak-anak tersebut. Senyum merekah di wajah anak-anak saat mereka menerima makanan dengan rasa syukur. “Terima kasih, Ustadz!” seru seorang anak kecil dengan mata berbinar.

Melihat kebahagiaan anak-anak itu, hati Ustadz Abdullah penuh haru. “Inilah harapan kita,” katanya. “Kita harus berjuang agar mereka bisa hidup di dunia yang lebih baik.”

Dengan semangat baru, rombongan melanjutkan perjalanan pulang. Meskipun mereka menghadapi banyak kesulitan, mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka dapat mengatasi segala rintangan. Harapan masih ada, dan dengan iman yang kuat, mereka yakin bahwa Allah akan memberikan jalan keluar dari setiap kesulitan yang mereka hadapi.

Sesampainya di rumah, Ustadz Abdullah dan jamaah berkumpul untuk berbagi cerita tentang pengalaman mereka di rumah sakit dan perjalanan pulang. Mereka menyadari bahwa meskipun keadaan dunia semakin sulit, ada satu hal yang tetap ada: solidaritas dan semangat untuk saling membantu.

“Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk terus berjuang dan saling mendukung,” Ustadz Abdullah menutup pertemuan malam itu dengan doa. “Dan semoga kita selalu menjadi cahaya bagi mereka yang membutuhkan.”

Bau Kelaparan

Di tengah kebisingan obrolan jamaah setelah ceramah Ustadz Abdullah, ada satu suara yang mencuri perhatian. Suara itu berasal dari seorang pria kurus dengan pakaian yang tampak usang. “Ustadz, kami sudah berhari-hari tidak makan. Apa mungkin kita bisa bertahan lebih lama? Apakah ada makanan di surga?” Dia melontarkan pertanyaan sambil memegangi perutnya yang keroncongan.

Seketika, tawa kecil terdengar dari sudut jamaah. Salah satu dari mereka, Ali, yang dikenal suka meledek, mengangkat tangan. “Ustadz, saya rasa mulutnya sudah bau bacin sekali, jelas karena kelaparan! Mungkin harus makan durian di surga agar lebih wangi!”

Semua orang di ruangan itu tertawa, tetapi tawa itu mengundang kesedihan tersendiri. Ustadz Abdullah hanya tersenyum mendengar lelucon Ali, tetapi dalam hati, ia merasa prihatin. "Ingat, sahabat. Rasa lapar adalah ujian dari Allah. Semoga kita bisa menghadapinya dengan sabar."

Pria yang bertanya itu, yang bernama Rahman, tak bisa menyembunyikan rasa malunya. Dia menyentuh hidungnya dengan ragu. "Mungkin benar, Ustadz. Tentu saja saya ingin makan, tapi kita semua tahu tidak ada makanan yang cukup."

“Bau bacin atau tidak, kita harus ingat tujuan kita,” jawab Ustadz Abdullah dengan tenang. “Sekarang, mari kita cari solusi bersama-sama.”

Ali pun tidak mau ketinggalan. “Ustadz, bagaimana kalau kita mengumpulkan semua makanan yang ada di sini dan berbagi? Kita bisa buat makanan darurat! Saya punya beberapa biji beras di rumah!”

“Aku juga!” sahut Siti. “Meski sedikit, lebih baik kita bersama-sama daripada kelaparan sendiri.”

Ustadz Abdullah mengangguk setuju, semangat kebersamaan mulai terlihat. “Itu ide yang bagus. Kita akan mengumpulkan makanan dari masing-masing rumah dan memasak bersama. Kita harus ingat bahwa setiap dari kita adalah bagian dari komunitas ini.”

Seluruh jamaah mulai bersemangat. Mereka berjanji untuk membawa makanan masing-masing, sekecil apapun itu, untuk diolah menjadi satu makanan besar yang bisa dinikmati bersama. Rahman, yang merasa malu dengan ledekan tadi, mulai merasa lebih baik.

“Ustadz, bagaimana kalau kita buat bubur? Mudah dan cukup untuk banyak orang!” Rahman mengusulkan. “Tapi, kita juga perlu bumbu. Siapa yang punya bumbu dapur?”

Ali kembali mengangkat tangan. “Saya punya sedikit garam! Dan juga cabai, walaupun hanya satu biji.”

Keceriaan mulai merayapi kelompok itu, dan mereka sepakat untuk berkumpul di rumah Siti, yang memiliki dapur paling luas. Di tengah perjalanan menuju rumah Siti, mereka mulai bernyanyi dan bercanda, melupakan rasa lapar yang sempat menghantui.

Ketika mereka tiba di rumah Siti, suasana terasa hidup. Siti langsung memimpin pengumpulan bahan makanan. Beberapa membawa beras, yang lain membawa sayuran, dan ada juga yang membawa sedikit minyak goreng. Dalam waktu singkat, dapur Siti penuh dengan bahan-bahan sederhana yang siap diolah.

“Ini adalah makanan terbaik yang pernah kita buat!” Siti berseru dengan semangat. “Siapa yang mau membantu saya memasak?”

Semua langsung mengacungkan tangan, termasuk Rahman yang kini tampak lebih bersemangat. Mereka mulai memasak bersama, tertawa dan bercanda sepanjang prosesnya. Dengan kebersamaan, mereka mengingat kembali tujuan mereka: bukan hanya untuk mengisi perut, tetapi juga untuk saling mendukung satu sama lain.

Ketika aroma bubur mulai tercium, perut-perut yang keroncongan tak dapat menahan diri. “Apa kita bisa mencicipi sedikit sebelum matang?” tanya Ali dengan nada menggoda.

“Kalau begitu, kita harus berdoa agar makanan ini berkah,” Ustadz Abdullah berkata sambil tersenyum. “Siapa yang mau memimpin doa?”

Rahman melangkah maju, merasa berani. “Saya mau, Ustadz. Terima kasih atas semua bantuan dan makanan ini.”

Dalam suasana hangat dan penuh harapan, mereka semua mengangkat tangan dan berdoa. Mereka bersyukur atas apa yang mereka miliki dan berharap agar semua kesulitan segera berakhir.

Ketika bubur akhirnya matang, semua bergegas mengisi mangkuk masing-masing. Keceriaan dan kebersamaan menyelimuti mereka saat mereka menikmati makanan yang sederhana tetapi penuh makna. Lelucon Ali tentang mulut bau bacin pun menjadi kenangan lucu yang membuat mereka tertawa kembali.

“Makan dulu, baru kita berpikir tentang makanan surga,” Ustadz Abdullah mengingatkan, dan semua orang mengangguk setuju sambil tersenyum.

1
arfan
semangat up terus bos
Sandy
mantap, sangat menginspirasi
Bunga Lestary
semangatt kakk🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!