NovelToon NovelToon
Malapetaka Batu Luar Angkasa

Malapetaka Batu Luar Angkasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Hari Kiamat
Popularitas:611
Nilai: 5
Nama Author: Esa

Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.

Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.

Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Turunnya Sang Pembebas

Hari-hari terus berlalu di desa itu, diiringi panas yang tak kunjung mereda dan penderitaan yang semakin mencekam. Tanah retak-retak, pepohonan meranggas, dan air di sungai mulai mengering. Tak hanya itu, kemiskinan dan kelaparan menghantui setiap sudut. Desa yang biasanya riuh oleh suara canda tawa kini lebih sering sunyi, hanya diiringi oleh bisikan keluh kesah dan doa yang terus dipanjatkan.

Di tengah kekalutan itu, Ustadz Abdullah merasa ada sesuatu yang perlu disampaikan lagi kepada umatnya. Kali ini, bukan hanya tentang Imam Mahdi atau tanda-tanda akhir zaman lainnya. Hatinya tergerak untuk membicarakan satu sosok lagi yang menjadi harapan umat manusia, yaitu Nabi Isa AS.

Pada suatu malam yang masih terasa hangat meskipun angin kemarau bertiup, Ustadz Abdullah kembali mengumpulkan jamaah di masjid. Warga berbondong-bondong datang, meskipun tubuh mereka lemah dan wajah mereka terlihat pucat akibat kelaparan. Masing-masing dari mereka membawa harapan baru, berharap ada sesuatu yang bisa menguatkan iman mereka, sesuatu yang bisa menjadi pegangan di tengah kekalutan yang semakin mencekik.

“Saudara-saudaraku, malam ini saya ingin berbicara tentang seorang tokoh yang sudah tidak asing lagi bagi kita semua,” Ustadz Abdullah membuka ceramahnya dengan nada yang tenang namun penuh wibawa. “Dialah Nabi Isa Alaihissalam, sang pembebas yang akan turun di akhir zaman untuk menumpas kezaliman dan menegakkan kebenaran.”

Kata-kata itu membuat seluruh jamaah terdiam, menatap Ustadz Abdullah dengan penuh perhatian. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, mencoba menebak arah pembicaraan sang ustadz. Namun Ustadz Abdullah melanjutkan, seolah tak terpengaruh oleh suasana yang mulai dipenuhi rasa penasaran.

“Dalam Al-Qur'an dan hadits, disebutkan bahwa Nabi Isa akan turun kembali ke dunia setelah waktu yang telah ditetapkan oleh Allah. Beliau akan turun di dekat menara putih di Damaskus, dengan mengenakan dua helai pakaian yang diselipkan di kedua bahunya, dengan rambut yang basah seolah baru saja dibasuh. Tugasnya adalah membunuh Dajjal, membebaskan dunia dari tipu muslihat dan kezaliman yang telah menyebar di seluruh penjuru.”

Suasana masjid menjadi tegang. Bayangan tentang Dajjal yang sudah diingatkan sebelumnya kini tergambar jelas dalam benak para jamaah. Sosok yang penuh tipu daya dan kekuatan jahat itu kini terasa semakin dekat, dan mereka tahu bahwa umat manusia akan berada dalam bahaya besar jika tidak siap menghadapi ujian ini.

“Nabi Isa juga akan mematahkan semua salib, membunuh babi, dan menghapus pajak yang memberatkan umat manusia. Beliau akan membawa keadilan dan kebenaran, dan pada masa itu, kedamaian akan menyelimuti dunia. Tidak akan ada lagi perselisihan, tidak ada lagi ketidakadilan, dan semua umat manusia akan berada di bawah satu naungan keimanan yang benar.”

Pak Tarman, yang duduk di barisan depan, mengangkat tangannya, suaranya bergetar menahan ketakutan. “Ustadz, apakah semua itu akan terjadi dalam waktu dekat? Apakah kita akan melihat sendiri turunnya Nabi Isa dan pertarungannya dengan Dajjal?”

Ustadz Abdullah menghela napas panjang sebelum menjawab, “Hanya Allah yang tahu kapan tepatnya semua itu akan terjadi, Pak Tarman. Kita tidak tahu apakah kita akan menjadi saksi atas kejadian itu atau tidak. Tapi yang pasti, kita harus mempersiapkan diri. Bukan hanya dengan ilmu, tapi juga dengan iman dan amal yang kuat. Nabi Isa akan datang ketika dunia ini berada dalam puncak kezaliman. Dan mungkin, kondisi kita sekarang adalah salah satu tanda-tanda itu.”

Para jamaah mulai saling berbisik. Berbagai pertanyaan dan kekhawatiran terlintas dalam benak mereka. Mereka tahu bahwa dunia sedang berada dalam masa yang sulit, tapi mereka tidak pernah menyangka bahwa semua ini bisa jadi adalah tanda dari semakin dekatnya masa akhir zaman.

Ustadz Abdullah melanjutkan, “Saudara-saudaraku, janganlah kita hanya fokus pada kapan turunnya Nabi Isa. Yang lebih penting adalah bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Beliau akan datang bukan hanya untuk membunuh Dajjal, tapi juga untuk menegakkan keadilan dan membawa umat manusia kembali ke jalan yang benar. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang tidak siap atau bahkan termasuk golongan yang menentangnya.”

Bu Mariam yang duduk di pojok masjid tak kuasa menahan air matanya. “Tapi, Ustadz, bagaimana kami bisa mempersiapkan diri jika bahkan untuk makan saja kami kesulitan? Anak-anak kami kelaparan, pekerjaan semakin sulit, dan kehidupan semakin berat. Bagaimana kami bisa bertahan di tengah situasi seperti ini?”

Ustadz Abdullah menatap Bu Mariam dengan penuh iba. Ia tahu bahwa tidak mudah meminta orang-orang untuk tetap teguh di tengah kesulitan yang mereka alami. Namun ia juga tahu bahwa inilah ujian sebenarnya, ujian yang akan membedakan siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang hanya mengaku beriman.

“Bu Mariam, saya tahu ini sangat sulit. Tapi ingatlah bahwa Nabi Isa akan datang untuk membebaskan kita dari semua penderitaan ini. Beliau akan menghapus pajak yang mencekik, akan menghancurkan sistem yang menindas kita selama ini. Jadi, janganlah kita berputus asa. Tetaplah berdoa, tetaplah bersabar, dan percayalah bahwa Allah tidak akan meninggalkan kita dalam kesulitan ini.”

Pak Haji Muchtar mengangguk pelan, seolah meresapi setiap kata yang diucapkan Ustadz Abdullah. “Jadi, Ustadz, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita hanya perlu menunggu sampai semuanya terjadi?”

“Tidak, Pak Haji,” jawab Ustadz Abdullah dengan tegas. “Kita tidak hanya menunggu. Kita harus terus berbuat kebaikan, terus memperbaiki diri, dan terus menyebarkan kebenaran. Kita harus menjadi contoh yang baik bagi generasi yang akan datang. Kita harus menanamkan iman yang kuat dalam hati anak-anak kita, agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh tipu daya Dajjal ketika saatnya tiba.”

Suasana di masjid menjadi lebih tenang. Kata-kata Ustadz Abdullah, meskipun sederhana, memberikan kekuatan dan harapan baru bagi para jamaah. Mereka tahu bahwa mereka sedang menghadapi masa yang sangat sulit, tapi setidaknya mereka tidak sendirian. Mereka punya satu sama lain, dan yang lebih penting, mereka punya Allah yang selalu menyertai mereka.

Malam itu, setelah ceramah selesai, banyak dari mereka yang tetap tinggal di masjid. Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, berdiskusi tentang apa yang baru saja mereka dengar. Beberapa dari mereka berbagi kisah tentang bagaimana sulitnya kehidupan sehari-hari, tentang ketakutan mereka akan masa depan, dan tentang harapan mereka agar semua ini segera berakhir.

Ustadz Abdullah duduk di pojok masjid, memperhatikan jamaahnya yang masih berdiskusi. Ia merasa sedikit lega, karena setidaknya ia telah memberikan mereka harapan. Tapi ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Masih banyak ujian yang harus dihadapi, dan ia berdoa agar Allah memberikan kekuatan dan keteguhan iman kepada semua orang di desa ini.

Saat fajar mulai menyingsing, satu per satu jamaah mulai beranjak pulang. Mereka tahu bahwa hari-hari ke depan mungkin tidak akan lebih mudah, tapi setidaknya mereka memiliki harapan baru. Harapan bahwa di suatu tempat, di luar sana, Nabi Isa sedang bersiap untuk turun dan menyelamatkan mereka dari segala penderitaan ini.

Dan dengan harapan itu, mereka melangkah pulang, membawa semangat baru untuk menghadapi hari yang mungkin penuh dengan kesulitan. Mereka tidak tahu kapan semua ini akan berakhir, tapi mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian. Mereka tahu bahwa di atas sana, Allah sedang mempersiapkan segala sesuatunya, dan mereka hanya perlu bersabar dan terus berjuang, sampai saat yang telah ditetapkan tiba.

Pagi itu, langit terlihat lebih cerah, meskipun masih tanpa hujan. Matahari mulai naik, memberikan kehangatan yang terasa lebih lembut dari biasanya. Dan di dalam hati setiap orang yang pulang dari masjid pagi itu, ada secercah harapan yang baru. Harapan bahwa penderitaan ini akan segera berakhir, dan bahwa kedamaian yang mereka dambakan akan segera datang bersama turunnya Nabi Isa, sang pembebas yang dijanjikan.

Ceramah Mencekam Ya'jud dan Ma'jud

Malam itu, di tengah kegersangan yang terus mencekam, Ustadz Abdullah kembali berdiri di hadapan jamaahnya. Masjid yang sederhana itu dipenuhi oleh orang-orang yang datang dengan wajah penuh ketakutan dan kegelisahan. Meskipun panas kemarau masih menusuk kulit, mereka tetap berkumpul, mendengarkan ceramah yang diharapkan bisa menjadi petunjuk dan penghiburan di tengah situasi yang semakin tidak menentu.

Ustadz Abdullah mengamati wajah-wajah jamaahnya yang duduk di hadapannya. Dari anak-anak kecil yang duduk di pangkuan ibu mereka, hingga para pemuda yang berdiri di belakang, semua tampak penuh perhatian, menanti apa yang akan ia sampaikan malam itu. Setelah menarik napas dalam, ia mulai berbicara dengan nada yang lebih serius daripada biasanya.

“Saudara-saudaraku, malam ini saya ingin menyampaikan tentang satu peristiwa lagi yang akan terjadi setelah turunnya Nabi Isa Alaihissalam dan terbunuhnya Dajjal. Sesuatu yang bahkan lebih mengerikan dari fitnah Dajjal,” Ustadz Abdullah memulai ceramahnya, membuat suasana masjid menjadi sangat tegang. “Mereka adalah Ya'juj dan Ma'juj, dua bangsa yang akan keluar dan menebarkan kehancuran di muka bumi.”

Suara bisik-bisik mulai terdengar di antara jamaah. Sebagian besar dari mereka pernah mendengar nama itu, tapi tidak banyak yang tahu detail tentang Ya'juj dan Ma'juj. Beberapa orang tampak saling berbisik, sementara yang lain menatap Ustadz Abdullah dengan mata membelalak, penuh ketakutan.

“Saudara-saudaraku, Ya'juj dan Ma'juj adalah dua bangsa yang sangat kuat, sangat brutal, dan jumlah mereka sangat banyak. Mereka bukanlah manusia biasa. Mereka adalah makhluk yang telah terkurung selama ribuan tahun di balik dinding yang dibangun oleh Dzulqarnain. Namun, ketika saatnya tiba, dinding itu akan runtuh dan mereka akan keluar, menyebarkan kehancuran di seluruh penjuru dunia.”

Pak Tarman yang duduk di barisan depan mengangkat tangannya dengan gugup, suaranya bergetar ketika ia bertanya, “Ustadz, apakah mereka lebih berbahaya dari Dajjal? Bagaimana mungkin ada makhluk yang lebih menakutkan dari Dajjal?”

Ustadz Abdullah menatap Pak Tarman dengan mata yang penuh keseriusan. “Ya, Pak Tarman, mereka bahkan lebih berbahaya. Dajjal memiliki tipu daya dan fitnah yang luar biasa, tapi kita masih bisa melawannya dengan keimanan yang kuat, dengan membaca Al-Qur'an dan berlindung kepada Allah. Namun Ya'juj dan Ma'juj, mereka tidak bisa dilawan. Mereka tak mempan dengan dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an, mereka tak mempan dengan dzikir atau amalan-amalan kita. Mereka akan menyapu bersih apa saja yang ada di hadapan mereka. Mereka seperti gelombang besar yang tak terhentikan, siapapun yang mereka temui selain dari bangsa mereka akan dihabisi.”

Jamaah terdiam, ngeri membayangkan kehancuran yang digambarkan oleh Ustadz Abdullah. Mereka saling pandang, berusaha mencerna kata-kata itu. Beberapa wajah pucat mulai terlihat, bahkan beberapa anak kecil yang tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan ikut merasa ketakutan melihat ekspresi orang dewasa di sekitarnya.

Ustadz Abdullah melanjutkan, “Mereka akan keluar dengan kekuatan yang luar biasa. Mereka akan datang dari semua arah, melahap apa saja yang mereka temui. Tidak ada yang bisa melawan mereka. Kita hanya bisa lari, bersembunyi, dan berdoa agar tidak ditemukan oleh mereka.”

Pak Haji Muchtar, yang duduk tidak jauh dari mimbar, mengerutkan keningnya, seolah berusaha memahami situasi yang sangat menakutkan ini. “Ustadz, apakah tidak ada cara sama sekali untuk melawan mereka? Bagaimana kita bisa bertahan dari ancaman seperti itu?”

Ustadz Abdullah menggelengkan kepalanya pelan, tampak berat untuk menjawab pertanyaan itu. “Tidak ada yang bisa melawan mereka, Pak Haji. Kita hanya bisa bertahan dengan cara bersembunyi dan menjauh dari mereka. Ya'juj dan Ma'juj tidak akan berhenti sampai mereka menghancurkan semua yang ada di bumi. Mereka akan minum semua air yang ada, memakan semua tanaman dan binatang yang mereka temui. Bahkan, setelah mereka melewati sebuah danau yang luas, airnya akan habis tak tersisa. Mereka begitu banyak dan begitu rakus.”

Jamaah mulai gemetar mendengar deskripsi itu. Bayangan tentang makhluk-makhluk yang begitu mengerikan, yang tak bisa dilawan dengan cara apapun, membuat mereka merasa sangat kecil dan tak berdaya. Beberapa dari mereka terlihat menunduk, mencoba menenangkan diri, sementara yang lain mulai berbisik-bisik lagi, seolah mencari perlindungan dalam kata-kata sesama mereka.

“Dan setelah mereka merasa bahwa seluruh dunia telah mereka taklukkan,” lanjut Ustadz Abdullah, “mereka akan berkata, 'Kita telah membunuh semua yang ada di bumi. Sekarang, mari kita bunuh yang ada di langit.' Mereka akan melemparkan panah-panah mereka ke langit, dan Allah akan membuat panah-panah itu kembali dengan berlumuran darah sebagai ujian bagi mereka.”

Terdengar desahan tertahan dari beberapa jamaah. Ketakutan dan ketidakberdayaan terpancar dari mata mereka. Beberapa orang bahkan terlihat mengusap air mata yang jatuh, seolah-olah tidak sanggup lagi mendengar lebih banyak tentang kehancuran yang akan datang.

“Tapi saudara-saudaraku, meskipun mereka begitu kuat, begitu banyak, dan begitu kejam, Allah tidak akan membiarkan mereka merusak bumi selamanya. Nabi Isa Alaihissalam bersama Imam Mahdi dan para pengikutnya akan berdoa kepada Allah di puncak Gunung Thursina, memohon agar Allah menyelamatkan mereka dari Ya'juj dan Ma'juj. Dan Allah akan mengirimkan penyakit yang sangat mematikan kepada mereka, yang akan menghabisi mereka semua dalam sekejap. Mereka akan mati bergelimpangan, seperti kayu yang ditebang sekaligus.”

Jamaah mulai menghela napas lega. Sedikit kelegaan tergambar di wajah-wajah mereka setelah mendengar bahwa Ya'juj dan Ma'juj akhirnya akan dibinasakan. Tapi ketegangan masih terasa, karena mereka tahu bahwa sebelum kehancuran itu terjadi, dunia akan berada dalam kekacauan yang tak terbayangkan.

“Saudara-saudaraku,” lanjut Ustadz Abdullah, “ini adalah ujian yang sangat besar bagi kita semua. Ujian yang hanya bisa dihadapi dengan keimanan dan kesabaran yang luar biasa. Janganlah kita lengah, dan janganlah kita berputus asa. Sebesar apapun ujian yang Allah berikan, ingatlah bahwa pada akhirnya pertolongan Allah pasti akan datang.”

Pak Udin, yang duduk di barisan tengah, mengangkat tangannya, suaranya serak dan bergetar. “Ustadz, bagaimana kita bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi semua ini? Apa yang harus kita lakukan agar bisa selamat?”

“Yang harus kita lakukan adalah memperkuat iman kita, memperbanyak ibadah, dan selalu memohon perlindungan kepada Allah. Jika saatnya tiba, lari dan bersembunyilah. Jangan mencoba melawan Ya'juj dan Ma'juj karena itu hanya akan membawa kita pada kehancuran. Satu-satunya cara adalah berlindung kepada Allah dan menunggu pertolongan-Nya.”

Malam itu, Ustadz Abdullah menutup ceramahnya dengan doa panjang, memohon agar Allah memberikan kekuatan dan keteguhan iman kepada semua umat-Nya. Jamaah mengikuti dengan penuh harap, meskipun ketakutan masih menghantui pikiran mereka. Di luar masjid, angin kemarau bertiup kencang, membawa debu dan menambah kesan gersang yang seakan memperkuat gambaran kehancuran yang baru saja diceritakan.

Usai doa, para jamaah pulang dengan langkah gontai, pikiran mereka penuh dengan bayangan tentang Ya'juj dan Ma'juj. Mimpi buruk tentang masa depan yang penuh dengan kehancuran dan penderitaan kini menghantui setiap benak mereka. Mereka tahu bahwa hanya keimanan yang bisa menyelamatkan mereka, dan malam itu, dalam hati mereka, terpatri sebuah tekad untuk bertahan di tengah ujian besar yang akan datang.

Di langit yang gelap, bintang-bintang bersinar redup, seolah-olah ikut menyaksikan kekhawatiran yang menyelimuti desa kecil itu. Tak ada yang tahu kapan Ya'juj dan Ma'juj akan muncul, tapi bayang-bayang kehancuran yang mereka bawa sudah terasa, mengintai dari balik malam yang sunyi.

1
Sandy
mantap, sangat menginspirasi
Bunga Lestary
semangatt kakk🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!