Bercerita tentang seorang permaisuri bernama Calista Abriella, yang telah mengabdi pada kekaisaran selama 10 tahunnya lamanya. Calista begitu mencintai Kaisar dan rela melakukan apa saja untuknya, namun cinta tulus Calista tak pernah berbalas.
Sampai suatu peristiwa jatuhnya permaisuri ke kolam, membuat sifat Calista berubah. Ia tak lagi mengharap cinta kaisar dan hidup sesuai keinginannya tanpa mengikuti aturan lagi.
Kaisar yang menyadari perilaku Calista yang berbeda merasa kesal. Sosok yang selalu mengatakan cinta itu, kini selalu mengacuhkannya dan begitu dingin.
Akankah sifat Calista yang berbeda membuat kaisar semakin membencinya atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kleo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Luka tusuk
‘Craak..!’
Calista yang mendengar itu seketika langsung berbalik, dan betapa terkejutnya ia melihat sosok pria yang kini tengah berdiri membelakanginya.
“Yang Mulia!”
Leonardo tak menanggapi Calista, ia menatap sengit penjahat berjubah hitam tersebut, dan dengan tenangnya mencabut pisau yang menusuk perutnya tanpa merasa sakit sama sekali.
“Beraninya kau ingin membunuh keluarga kerajaan.”
Dengan pisau yang sama, Leonardo langsung menghabisi pria itu, dan semuanya terjadi begitu cepat. Setelah selesai menangani penjahat terakhir Leonardo menepuk tangannya, seketika itu prajurit bayangan kaisar langsung datang.
“Bereskan mereka dan masukan yang masih hidup ke penjara!” perintah Leonardo yang kemudian kembali menghampiri Calista.
Ekspersi wajahnya tak berubah, ia masih menatap Calista dengan sengit, “Sekarang jelaskan semuanya padaku, kenapa kau berkeliaran di tengah malam seperti ini.”
“Saya rasa saya tak perlu menjelaskan apa pun pada Anda,” balas Calista yang tak sedikit pun merasa takut dengan tatapan Leonardo.
“Calista! Jangan membuatku marah, hanya demi seorang pelayan kau datang ke pelabuhan di tengah malam seperti ini.”
“Anda sudah tahu itu, lantas untuk apa saya menjelaskannya.”
“Aku ingin tahu alasannya!”
Calista tak menjawab, ia hanya diam dan menghindari tatapan Leonardo.
Melihat reaksi Calista, Leonardo berdecak kesal. “Sekarang Ayo kita pulang.” Leonardo langsung menarik lengan Calista.
Ia tak peduli jika Calista tergopoh-gopoh meyesuaikan langkah dengan kakinya yang berjalan cepat.
“Baik saya akan pulang, tapi lepaskan tangan Anda, saya bisa berjalan sendiri.”
Bukannya menuruti, langkah Leonardo semakin cepat, membuat Calista harus berlari kecil untuk menyesuaikan langkahnya.
...****************...
Sesampainya di Istana, Elisha menyambut keduanya, wajah khawatir yang tergambar jelas diwajahnya berubah kala melihat sosok Calista turun dari kereta kuda bersama sang kaisar, yang masih saja mengeggam erat tangan Calista, saat itu istana sudah sangat sepi, di lorong pun hanya langkah ketiganya yang terdengar.
“Tolong lepaskan tangan saya Yang Mulia, saya bisa berjalan sendiri.”
“Yang Mulia!”
Pada akhirnya Calista berhasil melepaskan tangannya dari Leonardo, membuat langkah sang suami berhenti.
“Ayo kembali ke istanamu,” ucap Leonardo penuh penekanan.
“Ya, baiklah saya akan kembali ke istana putih, saya juga akan menuruti perintah Anda. Tapi tolong obati dulu luka Anda, Yang Mulia.”
“Sejak tadi darah anda tak berhenti keluar dari luka itu. Apa Anda tak merasa sakit?” tanya Calista dengan ekspresi khawatir.
“Aku sudah biasa, saat berperang bahkan lebih parah dari ini.”
“Justru itu, ini bukanlah tempat perang Yang Mulia, saya akan memanggil dokter untuk Anda.”
“Tidak perlu memanggil dokter Calista.”
Calista yang mulai berjalan pergi langsung menghentikan langkahnya, ia kembali menengok ke arah sang suami.
“Jadi anda ingin membiarkannya begitu saja? Begitukah?” tanya Calista dengan wajah yang mulai kesal.
“Aku ingin kau yang mengobati lukaku, tak ada jaminan jika kau benar-benar memanggil dokter, bisa saja kau kembali keluar dari istana tanpa sepengetahuanku.”
Kini wajah Calista benar-benar kesal, “Saya tidak akan pergi ke mana-mana, Yang Mulia. Baiklah jika anda ingin saya yang mengobati Anda.”
...****************...
Setelah menyiapkan peralatan dan obat yang dibutuhkan Calista untuk mengobati luka Leonardo, Elisha pun pergi meninggalkan keduanya.
“Yang Mulia, saya akan memunggu di luar, jika anda butuh sesuatu, maka panggil saja saya.”
Calista mengangguk, “Terima kasih Elisha.”
Calista kembali memandang Leonardo yang telah duduk di sisi ranjang bersamanya. “Yang Mulia bisa anda melepaskan pakaian Anda?”
Leonardo tak membalas tapi ia menuruti apa yang dikatakan sang istri, langsung di hadapan Calista ia melepaskan kancing kemejanya satu persatu, yang kemudian menampilakan dada bidang dan otot perutnya yang sempurna.
Calista segera mengalihkan pandangannya kala Leonardo melepaskan kemejanya dan bertelanjang dada.
“Kenapa? kau malu melihat suamimu sendiri?”
“Tidak saya hanya terkejut melihat Anda yang tiba-tiba melepas pakaian Anda,” tepis Calista.
Calista menundukan kepala untuk mengobati luka Leonardo Ia membersihkan darah dan memberikan obat di luka tusukannya.
Entah hanya perasaannya saja atau tidak, sepeninggalnya Elisha, Calista merasa suasana di antara dirinya dan kaisar berubah canggung. Apa lagi jarak diantara keduanya cukup dekat, bahkan Calista dapat merasakan hembusan nafas Leonardo yang mengenai rambutnya.
Suasana hening dan angin malam yang menerpa, menambah perasaan Calista semakian tak karuan, rasanya ia ingin cepat-cepat pergi dari sana.
Sedangkan Leonardo ia tak beraksi apa-apa, hanya tatapannya saja yang tak sedikit pun teralih dari Calista. Kala sang istri tengah memperban luka Leonardo, Calista dapat melihat bekas-bekas luka di tubuh sang suami.
“Apa luka-luka ini karna perang?” tanya Calista tiba-tiba.
“Ya, itu sudah pasti, tidak mungkin seorang pria yang kembali dari medan perang tak mengalami luka sedikit pun.”
“Saya bersyukur Anda kembali dengan keadaan selamat dari medan perang,” balas Calista yang kembali menegakkan tubuhnya setelah selesai mengobati luka sang suami.
Pandangan keduanya pun saling bertemu, lama dua pasang mata itu saling menatap, sampai tangan kaisar secara perlahan bergerak mengapitkan rambut terurai Calista ke telinga.
Calista tersadar dari lamunannya dan segera beranjak, “Saya sudah mengobati luka Anda, Yang Mulia, kalau begitu saya harus pergi, beristirahatlah dengan baik.”
“Calista,” panggil Leonardo lirih.
Sang permaisuri menghentikan langkahnya, “Apa ada sesuatu yang anda butuhkan?”
“Bisakah kau menemaniku lebih lama di sini?” pinta Leonardo.
Calista kembali berbalik ke arah sang suami. Tatapannya kini kembali dingin. “Maaf, sama seperti Anda, saya juga butuh istirahat yang Mulia. Dan, ya, satu hal lagi, para pembunuh itu terakhir kali menyebut nama selir kesayangan Anda,”
Sesaat Calista terdiam memberi jeda, lalu kembali melanjutkan kata-katanya, “Jika Anda tidak menyusut kasus ini sampai tuntas, maka saya sendiri yang akan turun tangan,” ucap Calista penuh penekanan.
Leonardo terdiam melihat Calista yang hangat dengan cepat berubah dingin. Tatapan tajamnya seolah memusuhi Leonardo.
...****************...
Bersama Elisha sang permaisuri kembali ke istana putih. Pikirannya kini hanya dipenuhi oleh kata-kata terakhir para penjahat itu.
Selene, apa dia benar-benar tidak mengidahkan perkataanku. Calista.
“Ada apa yang Mulia, kenapa wajah anda tampak murung?”
“Tidak papa, bukan masalah penting. Kau sendiri bagaimana keadaanmu?”
“Saya baik-baik saja Yang Mulia, berkat prajurit bayangan baginda kaisar saya bisa sampai di istana dengan selamat. Anda tahu yang Mulia, ternyata baginda kaisar membuntuti kita selama di luar.”
“Dia mengikuti kita?”
“Ya, yang Mulia, saat itu b-baginda kaisar menyaksikan semuanya.”
Perkataan sang pelayan membuat jantung Calista terasa ditusuk, di saat ia hampir mati melawan para pembunuh itu, Leonardo hanya diam menyaksikan. Ya, meski ia tahu pada akhirnya Leonardo membantu, tapi itu hanya sebatas kebawajiban, tidak lebih.
Calista kembali mengingat peristiwa saat dirinya jatuh ke kolam, bukankah peristiwa saat ini juga sama, di mana Leonardo hanya berdiri diam menyaksikan semuanya.
sblmnya aku mendukung Aaron, skrg males banget