NovelToon NovelToon
Leonel Alastair

Leonel Alastair

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Teen Angst / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Kontras Takdir
Popularitas:930
Nilai: 5
Nama Author: Yu

Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.

Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.

Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.

Bromance!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6: "Rasa yang Terselubung"

Sudah hampir dua bulan sejak Leonel mulai serius belajar biola. Kemajuannya mulai terlihat, dan tidak hanya itu, ia juga semakin akrab dengan keluarganya, terutama dengan Julian dan bahkan ayahnya, Arnold. Hubungan yang dulunya dingin dan kaku perlahan mencair. Setiap kali Leonel memainkan biolanya, Julian kerap berkomentar dengan hangat, dan Arnold pun, meskipun jarang, memberikan dorongan melalui kata-kata yang lebih terbuka. Ibunya juga sering memberikan pujian, menyatakan betapa bangganya ia melihat perkembangan Leonel.

Namun, di tengah segala pujian dan perhatian yang ia terima, Leonel tak bisa mengabaikan kehadiran sosok lain di rumah yang semakin lama tampak menjauh—Gento, kakak sulungnya.

Gento, berbeda dengan Julian, selalu tampak tidak peduli dengan kesuksesan Leonel. Ia lebih memilih menyendiri di kamar, atau sesekali keluar dengan teman-temannya tanpa berbicara banyak kepada anggota keluarganya. Tapi Leonel tahu, ada sesuatu yang berubah dalam diri Gento, sesuatu yang membuat kakaknya terlihat semakin dingin.

Suatu pagi, setelah latihan biola, Leonel mendapati Gento sedang duduk di ruang tamu, wajahnya terfokus pada ponsel yang dipegangnya. Tidak ada percakapan yang terjadi. Leonel mendekat, mencoba membuka pembicaraan.

"Gento, lagi sibuk apa?" tanya Leonel sambil menaruh biolanya di meja.

Gento melirik sebentar, lalu kembali pada ponselnya. "Nggak ada. Cuma baca-baca aja."

"Kalau kamu ada waktu, mungkin bisa dengar aku main biola nanti. Aku lagi belajar lagu baru." Leonel mencoba memancing ketertarikan Gento, meski ia sadar kakaknya tidak pernah terlalu tertarik dengan musik klasik.

"Kayaknya aku sibuk nanti. Lagian, kan, Papa sama Julian udah dengar kamu main setiap hari. Kayaknya nggak perlu aku juga," jawab Gento dingin.

Leonel terdiam, merasakan nada ketus dalam jawaban kakaknya. Ia tidak ingin membuat suasana makin canggung, jadi ia mengangguk pelan sebelum bangkit dan meninggalkan ruangan. Namun, dalam hatinya, ada perasaan ganjil yang sulit dijelaskan. Sejak ia mulai belajar biola, Gento semakin menjauh.

Hari berganti, dan situasi semakin pelik. Gento mulai menunjukkan sikap yang lebih jelas. Setiap kali Leonel mendapatkan pujian dari ibunya atau Julian, Gento selalu ada di sekitar, mendengarkan dari kejauhan dengan wajah masam. Ia tidak pernah mengungkapkan rasa tidak sukanya secara langsung, tetapi sikapnya yang semakin dingin dan tajam mulai menciptakan jurang di antara mereka.

Suatu sore, ketika Leonel sedang duduk di ruang tamu, ibunya masuk dengan senyum lebar di wajahnya. "Leonel, kamu sudah latihan hari ini? Mama dengar kamu semakin bagus dari Julian."

Leonel tersenyum canggung. "Iya, Ma. Aku baru selesai latihan tadi pagi."

Ibunya mendekat, mengusap kepala Leonel dengan lembut. "Mama bangga sama kamu. Siapa sangka, anak bungsu Mama ini bisa main biola juga. Nanti kalau kamu udah makin mahir, mungkin bisa tampil di konser kecil-kecilan di sekolah."

Leonel tersenyum, tapi matanya melihat Gento yang melintas di belakang ibunya. Wajah kakaknya tampak datar, namun matanya tidak bisa menyembunyikan ketidaknyamanan yang ia rasakan.

Saat ibunya pergi, Gento mendekat dengan langkah pelan. "Hebat, ya, Leonel. Sekarang kamu jadi favorit di rumah ini. Semuanya bicara tentang biola dan betapa bagusnya kamu."

Nada sarkastis di suara Gento membuat Leonel terkejut. "Apa maksudmu, Gento?"

"Apa? Kamu nggak sadar, ya?" Gento mendengus pelan. "Sejak kamu main biola, semua perhatian beralih ke kamu. Mama, Papa, bahkan Julian... semua bangga sama kamu. Sementara aku, setiap kali aku coba bicara sesuatu, mereka cuma mengangguk dan bilang ‘oh’. Nggak pernah serius dengar."

Leonel terdiam, hatinya mulai bergolak. Ia tidak pernah berniat merebut perhatian siapa pun, apalagi dari Gento.

"Tapi, Gento, itu bukan karena aku ingin jadi pusat perhatian. Aku cuma... aku cuma ingin menemukan tempatku di keluarga ini. Aku nggak pernah mau bersaing denganmu."

"Ya, tapi kamu berhasil, kan?" Gento tersenyum miring. "Kamu yang sekarang selalu didengar, selalu dipuji, sementara aku... aku hanya bagian dari latar belakang."

"Gento, bukan begitu. Kamu selalu jadi kakakku yang aku hormati, dan..."

"Sudahlah, Leonel." Gento memotong dengan nada getir. "Kamu nggak ngerti. Mama dan Papa selalu percaya apapun yang aku bilang, iya. Tapi itu karena mereka nggak benar-benar peduli. Semua yang aku lakukan cuma formalitas buat mereka. Kamu nggak tahu rasanya dibesarkan dengan harapan, tapi tanpa perhatian. Sekarang, kamu datang dengan biolamu, dan mereka tiba-tiba perhatian sama anak bungsunya."

Leonel merasakan gelombang emosi yang tak ia duga. Ia tidak pernah menyadari sejauh apa Gento merasa terpinggirkan. "Aku nggak tahu, Gento. Aku nggak pernah tahu kamu merasa begini."

Gento menatapnya dengan tajam. "Tentu saja kamu nggak tahu. Kamu sibuk dengan biolamu, dengan Papa yang akhirnya perhatian sama kamu, dan Julian yang selalu memujimu. Aku cuma bayang-bayang, Leonel. Dan aku muak jadi bayangan itu."

Hari-hari setelah percakapan itu dipenuhi keheningan di antara Leonel dan Gento. Gento semakin sering keluar rumah, sementara Leonel tenggelam dalam latihan biolanya. Namun, setiap kali ia memainkan biola, bayangan percakapan mereka selalu menghantui pikirannya. Nada-nada yang dulunya terasa penuh semangat, kini terdengar getir di telinganya.

Pada suatu malam, Leonel menemukan dirinya sendirian di ruang latihan. Ia menggesek biolanya dengan pelan, mencoba memainkan lagu yang biasa ia latih, tetapi ada perasaan aneh yang menekan dadanya. Seolah-olah ada sesuatu yang tak tersampaikan melalui nada-nada itu. Apakah ini yang dimaksud Gento? Perasaan tersisih, rasa sakit yang tersembunyi di balik pujian dan perhatian?

Di tengah kesunyian itu, pintu ruang latihan terbuka. Gento berdiri di sana, diam.

"Leonel," panggilnya pelan. "Kamu main biola, tapi... kamu belum pernah benar-benar mendengar apa yang ada di sekitarmu."

Leonel menurunkan biolanya. "Apa maksudmu, Gento?"

"Kamu... nggak mendengar. Kamu nggak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Apa yang mereka katakan mungkin benar, kamu berbakat. Tapi bakat itu nggak bisa menutupi kenyataan kalau kamu mulai melupakan orang-orang di sekitar. Aku ada di sini, Leonel. Aku selalu ada di sini. Tapi kamu nggak pernah benar-benar melihat aku."

Kata-kata Gento menusuk dalam. Dan saat itulah Leonel mulai memahami, bahwa nada-nada yang terpendam di balik setiap irama biolanya bukan hanya tentang dirinya—tapi tentang orang lain di sekitarnya yang merasa terabaikan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!