Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu dari Prancis
Kantor PT Adiyaksa Pratama Group mendadak berubah jadi markas penuh ketegangan. Langkah kaki terburu-buru. Telepon berdering. Para staf saling berpandangan dengan sorot mata panik.
Di tengah kekacauan itu, Mira berusaha tenang. Meski sejak siang, ia belum berhasil menghubungi Toni, penerjemah free-lance yang diharapkan punya waktu sore ini untuk mendampingi Monsieur Philippe, klien penting dari Prancis. Telepon Toni tersambung, tetapi tidak pernah diangkat. Setiap kali dia mencoba lagi, tetap tak ada jawaban.
Selain menghubungi Toni, Mira juga mencoba menghubungi nomor rekan Adi, untuk memberitahu Adi bahwa Monsieur Philippe sebentar lagi tiba di kantor. Namun saat mencoba menelepon, nomor rekan Adi itu tidak aktif. Padahal beberapa menit yang lalu telepon sempat tersambung, meskipun berstatus dalam panggilan lain.
Perasaan lega sempat muncul, berpikir mungkin panggilan itu akan segera berakhir dan Mira bisa segera mengambil alih. Namun, kini ketika ia mencoba menghubungi lagi, nomor telepon rekan Adi itu kembali tidak aktif. Waktu semakin mendesak, dan Mira mulai tak mampu menahan diri untuk tidak panik.
Beberapa detik kemudian Mira mendapat panggilan dari Vania bahwa Monsieur Philippe telah tiba bersama keluarganya. Mira menarik napas panjang, berusaha kembali menenangkan diri.
Ia berjalan cepat menuju lobi untuk menyambut mereka. Sesampainya di sana, ia terpana melihat Monsieur Philippe, istrinya Claire, dan putrinya Sophie tampil elegan dengan setelan batik.
Batik yang mereka kenakan membuat seluruh staf terpesona, termasuk dirinya. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa tamu asing akan mengenakan pakaian tradisional Indonesia dengan begitu anggun.
Billy, yang ditugaskan untuk menjemput mereka dari hotel, tersenyum lebar sambil memperkenalkan Philippe dan keluarganya kepada Mira dan staf lain.
Dengan ramah, sambil berusaha terus menghubungi Adi, Mira didampingi Ghea, Sania dan Ayesha mengantar mereka melihat-lihat suasana kantor, terutama sampel-sampel produk perusahaan di ruangan divisi desain kreatif. Setelah itu Mira mengantar mereka ke ruang rapat.
Sesampainya di ruang rapat, Mira mencoba berbasa-basi dengan bahasa Inggris yang cukup fasih. Namun, ketika ia menanyakan apakah mereka ingin memesan makanan sebelum rapat dimulai, Philippe menjawab dengan bahasa Inggris yang terdengar kaku dan agak kacau.
"Merci, but… we already… eat, full," (Terimakasih, tapi… kami sudah…. makan, kenyang,) kata Philippe dengan aksen Prancis yang kental. "But if there... enough... you give us... traditional snack... we like traditional," (Tapi kalau ada... cukup... kamu beri kami... camilan tradisional... kami suka tradisional,) lanjutnya dalam Bahasa Inggris yang kaku.
Mira terdiam sejenak, mencoba mencerna susunan kata di balik aksen Prancis Philippe. Ia lalu berpaling ke Ghea, Sania, dan Ayesha yang sedang berdiri di sudut ruangan. Ketiganya saling berpandangan, bingung dengan apa yang dimaksud oleh Philippe.
Mira mengajak mereka berdiskusi di luar ruangan.
“Camilan tradisional…” kata Mira. “Aku rasa mereka ingin camilan tradisional. Apa yang bisa kita sajikan kepada tamu penting kita ini?”
“Apa kita bisa menyuguhkan nasi kuning, nasi TO atau nasi goreng spesial?” tanya Ghea.
“Tidak, mereka bilang sudah kenyang, mereka hanya minta camilan. Camilan tradisional,” terang Mira.
“Apa tidak sebaiknya menyuruh OB?” saran Sania.
“Sebaiknya jangan, kita tangani sendiri saja. Kita tidak bisa mempercayakan ini begitu saja kepada mereka,” sahut Mira, serius.
"Kalau begitu, aku punya ide," kata Sania tiba-tiba, matanya berbinar.
"Apa?" tanya Mira penuh harap.
"Tunggu di sini," jawab Sania misterius, sambil berlalu dari ruangan. Tak lama kemudian, ia kembali dengan sepiring besar berisi sembilan potong pisang goreng yang masih hangat.
Semua orang di ruangan itu tercengang. "Masa orang Prancis dikasih pisang goreng?" protes Ghea, setengah tidak percaya.
"Seperti yang mereka minta, ini camilan tradisional," jawab Sania percaya diri. "Ini bukan sembarang pisang goreng. Ini pisang goreng favorit. Ini enak banget loh. Iya kan, Ayesha?" lanjutnya sambil menoleh ke Ayesha.
"Iya sih, tapi..." Ayesha tampak ragu-ragu. “Ini yang dijual di depan ya, deket toko kelontong?”
Sania mengangguk. “Iya, nah itu kamu tahu.”
Mira yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Ya sudah, tidak apa-apa. Yang penting… tradisional. Lagi pula, pisang goreng ini sepertinya enak dan... penampilannya tidak jelek. Sembilan biji, berarti masing-masing tiga buah," ujarnya sambil tersenyum tegang. "Ghea, tolong ambilkan piring ya ke belakang."
Ghea mengangguk, kemudian bergegas pergi. Tapi sebelum ia benar-benar menghilang, Sania berpesan, "Ghea, piringnya yang paling bagus, oke?"
"Sip," jawab Ghea cepat. Ia segera pergi dan kembali dengan tiga piring yang paling indah dan mewah yang bisa ia temukan. Piring-piring itu berwarna putih gading dengan hiasan emas di tepinya, menambah kesan elegan.
Ketika pisang goreng akan diletakkan di piring, Ayesha tiba-tiba menahan tangan Ghea.
"Biar aku yang tangani," katanya dengan nada serius. "Sebagai desainer, aku merasa bertanggung jawab membuat tampilan camilan ini berkelas. Ingat, ini untuk orang Prancis. Tunggu sebentar."
Ayesha segera bergegas keluar gedung kantor tanpa menjelaskan lebih lanjut. Tak lama kemudian, ia kembali dengan tiga cup jus alpukat spesial, dua botol saus—satu saus cokelat dan satu saus stroberi, dan terakhir sebuah bungkusan kecil yang… aneh.
Ia menunjukkan botol-botol dan bungkusan aneh itu kepada Mira, Ghea dan Sania dengan penuh percaya diri.
"Ini akan memperindah tampilan pisang goreng ini. Lihat saja," kata Ayesha, penuh keyakinan.
Dengan tangan yang terampil, ia menata tiga potong pisang goreng di setiap piring, lalu menggambar pola-pola indah di atasnya dengan saus cokelat dan stroberi.
“Dan ini, coba kalian lihat!” kata Ayesha sambil membuka bungkusan aneh itu yang ternyata berisi keju parut. Ayesha pun menaburkan keju parut itu sebagai sentuhan akhir.
Hasilnya sungguh di luar dugaan. Pisang goreng yang awalnya tampak sederhana, kini berubah menjadi sajian berkelas dan artistik. Mira, Ghea, dan Sania semua terpesona oleh hasil karya Ayesha. Mereka merasa sangat bersyukur atas kreativitasnya.
Dengan hati-hati, mereka membawa tiga piring itu ke ruang rapat. Setiap piring dihidangkan di depan Philippe, Claire dan Sophie, diikuti oleh Ayesha yang membawa tiga cup jus alpukat spesial. Ketegangan pun terasa saat mereka menunggu reaksi tamu-tamu dari Prancis itu.
Mira dan Ghea menatap Philippe, berharap-harap cemas. Sementara Ayesha dan Sania mencoba menahan napas, menunggu reaksi tamu mereka terhadap camilan yang telah mereka siapkan dengan penuh perhatian dan dedikasi itu.
Philippe dan keluarganya tampak bingung, namun tak lama kemudian menunjukkan ekspresi senang. Tentu saja mereka harus antusias, sebagai bentuk penghargaan kepada tuan rumah. Philippe lalu bertanya dengan penuh rasa ingin tahu, "What… food this?" (Makanan apa ini?)
Mira, dengan senyuman ramah yang tampak kurang yakin menjelaskan bahwa itu adalah pisang goreng dan jus alpukat, keduanya merupakan hidangan khas Indonesia yang sangat lezat.
Mendapat penjelasan dari Mira, Philippe tampak masih sedikit bingung. Tiba-tiba, dia meminta pisau dan garpu menggunakan isyarat tangan.
Ayesha langsung tersadar, merasa ada yang terlewatkan. "Oh, iya, tatakrama meja ala Prancis!" katanya tiba-tiba. Tanpa menunggu lama, Ayesha segera berkata "Tunggu," kepada rekan-rekannya, juga kepada Mira.
Mira, meski sedikit canggung, tersenyum kepada Philippe dan keluarganya, meminta mereka menunggu sejenak. "The knives and forks are being brought,” (Pisau dan garpunya sedang dibawa,) ujarnya dengan sopan.
Beberapa saat kemudian, Ayesha kembali dengan membawa pisau dan garpu yang diminta sebanyak tiga pasang. Dia menyerahkannya kepada Mira, yang kemudian diserahkan kepada Philippe, Claire, dan Sophie. Setelah itu, mereka semua mohon diri untuk menunggu di luar ruang rapat, memberi keluarga Philippe privasi.
Di dalam ruang rapat, pemandangan kontras terlihat. Segala perlengkapan makan formal dan elegan telah disiapkan, menghadirkan suasana seperti akan menyantap hidangan Prancis yang mewah. Namun, hidangan utama mereka bukanlah makanan mewah ala Eropa, melainkan cemilan tradisional Indonesia yang disebut… pisang goreng.
Philippe dan keluarganya tampak sedikit bingung. Philippe pun memulai dengan menusukkan garpu ke pisang goreng, kemudian memotong pisang goreng itu dengan pisau, dan memakannya seperti sedang menyantap steak.
Claire dan Sophie pun mengikuti. Akhirnya cara makan mereka pun tampak sangat elegan dan penuh santun, sesuai dengan tatakrama meja ala Prancis.
Mira, Ghea, Sania, dan Ayesha mengintip dari balik kaca pintu. Mereka terpana dengan pemandangan yang terjadi di ruang rapat.
"Oh my God, itu bukan cara memakan pisang goreng yang benar!" bisik Ghea dengan cemas.
"Mau bagaimana lagi!" sahut Ayesha sambil mengangkat bahu.
Ghea mendelik. "Ini semua gara-gara kalian. Piringnya, hiasannya… Kalian membuatnya terlalu berkelas!" lanjut Ghea kepada Sania dan Ayesha, masih dalam nada protes.
"Memang sih," sambung Sania dengan tenang, "tapi lihat, cara makan mereka, sungguh elegan... dan mereka sepertinya suka. Oooh… tha’s so beautiful" (Oooh... itu sangat indah)
"Ya... baiklah, meski ini cuma pisang goreng, kalian berhasil," ujar Mira, tersenyum puas seraya memandang Sania dan Ayesha. "Kalian berhasil mengangkat derajat pisang goreng di depan orang-orang Prancis berkelas," simpul Mira, merasa lega.
Sania dan Ayesha tersenyum, merasakan nuansa campur aduk antara rasa malu dan bangga. Akhirnya mereka mendapat pujian dan pengakuan, meski bukan soal desain produk yang mereka ciptakan.
Mereka berdua sadar, di divisi desain kreatif, tim mereka selalu kalah oleh tim Seno dan teman-teman.
Ayesha dan Sania tersenyum kecil, saling pandang.
Tiba-tiba, ponsel Mira bergetar. Nomor yang muncul di layar terlihat asing, dan Mira sejenak terdiam, merasa cemas. Pikirannya langsung berputar, membayangkan siapa yang bisa menghubunginya saat situasi di kantor sedang kacau balau.
Meski ragu, dia memutuskan untuk menjawab panggilan itu, berharap ini bukan masalah baru.
“Hallo?” sapanya dengan hati-hati.
“Mira, ini saya, Adi,” suara di seberang terdengar jelas dan tegas. Seketika, Mira merasa lega sekaligus terkejut. Ternyata, itu Pak CEO, menghubunginya menggunakan nomor berbeda lagi.
“Oh, Pak CEO! Saya sudah mencoba menghubungi Bapak, tapi tidak berhasil,” kata Mira dengan nada lega namun tetap waspada. “Nomor rekan Bapak tidak aktif.”
Adi menjelaskan, “Nomor rekan saya memang sengaja dinonaktifkan untuk menghindari gangguan Karin. Maaf, saya tahu itu membuatmu kesulitan.”
Mira menghela napas lega. “Maaf, Pak, saya tak bisa menahan Karin. Dia memaksa saya untuk memberikan nomor rekan Bapak.”
“Tidak apa-apa, Mira. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Yang penting sekarang, bagaimana situasi di kantor?” tanya Adi.
Mira segera melaporkan, “Klien dari Prancis sudah tiba, Pak. Mereka sedang berada di ruang rapat, dan saat ini tengah menikmati camilan. Tapi ada sedikit masalah—saya belum berhasil menghubungi Toni, penerjemah kita. Saya sudah mencoba berkali-kali, tapi Toni tidak mengangkat telepon saya.”
Adi terdengar merenung sejenak di ujung sana. “Kalau begitu, saya sendiri yang akan bicara dengan mereka. Semoga Monsieur Philippe sedikit bisa berbahasa Inggris. Dan harap beberapa staf membantu, mungkin… dengan alat bantu terjemah, untuk berjaga-jaga.”
Mira mengingat bahwa Philippe memang sempat berbahasa Inggris, meskipun tidak terlalu lancar. “Sepertinya klien kita sedikit mengerti bahasa Inggris, Pak. Dan mengenai alat bantu terjemah, akan saya coba kondisikan. Tapi Pak, apakah Bapak akan segera kembali ke kantor?”
Adi menghela napas, terdengar jelas kekhawatiran dalam suaranya. “Ah, saya lupa… Saya belum bisa kembali ke kantor saat ini. Urusan mendesak yang saya hadapi belum selesai. Sekarang saya masih di Bekasi.”
Merasa situasinya semakin rumit, Mira mencoba mencari solusi. “Bagaimana kalau Bapak melakukan video call saja? Saya bisa meminta Pak Heru di bagian IT untuk menghubungkan video call ke proyektor dan perlengkapan multi media lainnya di ruang rapat. Dengan begitu, klien bisa merasa lebih nyaman dan kita bisa menangani situasi ini dengan baik.”
Adi tak langsung menjawab. Untuk beberapa saat terdengar Adi berdiskusi dengan rekannya yang tampaknya tidak hanya satu orang, lalu kembali bicara lewat ponsel.
“Ide bagus. Kalau begitu segera sipakan, karena waktu saya di sini semakin sedikit.”
Mira merasa sedikit lega. “Baik, Pak. Saya akan segera mengaturnya.”
Setelah menutup telepon, Mira merasa lebih tenang. Dia tahu situasi ini masih jauh dari ideal, tapi setidaknya sekarang ada rencana yang bisa dijalankan.
Tanpa membuang waktu, Mira segera menuju ke ruang IT menemui Pak Heru, memintanya menyiapkan semua yang dibutuhkan.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.