Pernikahan yang sudah didepan mata harus batal sepihak karena calon suaminya ternyata sudah menghamili wanita lain, yang merupakan adiknya sendiri, Fauzana harus hidup dalam kesedihan setelah pengkhianatan Erik.
Berharap dukungan keluarga, Fauzana seolah tidak dipedulikan, semua hanya memperdulikan adiknya yang sudah merusak pesta pernikahannya, Apakah yang akan Fauzana lakukan setelah kejadian ini?
Akankah dia bisa kuat menerima takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Delapan
Setelah berdiskusi, akhirnya Ayu terpaksa menerima kalau pelaminan yang akan dia sewa dan pakai buat pernikahan nanti berbeda dengan pilihan Ana. Erik hanya mampu membayar yang sederhana. Itu juga separuhnya uang dari ayah Ana.
Sepanjang perjalanan pulang, Ayu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Sepertinya masih kesal dengan pilihan pelaminan untuk pesta pernikahan mereka.
Ketika Erik mengajaknya makan bakso, dia juga tak mau. Ayu ingin segera pulang dan bertemu Ana. Sampai di halaman rumah mereka, wanita itu langsung turun dari motor. Saat akan berjalan, tangannya di tahan sang pria.
"Ayu, jangan kamu marahi Ana. Itu hak dia. Uangnya. Jangan buat aku malu. Jika nanti uangku sudah terkumpul, kita bisa mengadakan pesta kedua kali, atau saat anak kita lahir," ucap Erik.
Ayu menyentak tangannya agar cekalan di tangannya terlepas. Dia memandangi wajah Erik dengan tatapan tajam.
"Kenapa kamu masih terus memikirkan Kak Ana? Apa kamu masih sangat mencintainya?" tanya Ayu dengan suara lantang.
"Ayu, kita sudah menyakiti hatinya. Kenapa harus mencuri uangnya lagi. Itu hak dia. Kita tak bisa marah dengan keputusannya itu," jawab Erik.
"Aku ini adiknya? Apa salah seorang kakak membantu pernikahan adiknya?"
"Seorang adik tak akan menyakiti kakaknya," balas Erik.
Sebenarnya sejak mengetahui Ayu hamil, Erik sudah mulai menyesali perbuatannya. Namun, semua terlambat. Dia terlalu terlena dengan kenikmatan dunia sehingga melupakan kekasihnya yang baik.
Mau mundur sudah tak bisa, dan sifat asli Ayu makin hari makin terlihat. Pantas ibunya tak setuju ketika dia mengatakan akan menikah dengan wanita itu.
"Jadi sekarang kau menyalahi aku? Siapa yang mulai menggoda. Kau yang meminta saat pertama kita berhubungan badan. Jangan bisanya menyalahkan aku saja!" seru Ayu dengan suara lantang.
Erik memandangi ke sekeliling. Takut ada tetangga yang mendengar. Bisa malu. Dia saja sedang menyiapkan muka atas omongan orang-orang saat tahu dia menikah dengan Ayu.
Apa lagi jika tahu mereka sering berhubungan badan hingga Ayu berbadan dua. Mau taruh di mana wajahnya nanti.
"Ayu, kecilkan suaramu. Nanti ada yang dengar. Malu," ucap Erik.
Ayu tak bicara apa pun lagi. Dia lalu melangkah pergi tanpa mau mendengarkan omongan Erik. Hatinya sudah sangat kesal.
Ayu membuka pintu dengan kasar. Dia melihat ayah dan ibunya sedang menonton.
"Mana Kak Ana, Bu? Apa dia sudah pulang?" tanya Ayu dengan nada tinggi.
"Sudah, ada di kamar," jawab Ibu Rida. Dia memandangi putrinya dengan wajah keheranan.
Ayu langsung melangkah dengan cepat menuju kamar Ana. Dia mencoba membukanya, tapi terkunci. Dengan keras wanita itu mengetuk pintu kamar.
Melihat itu ayah dan ibu saling pandang. Menebak jika ada yang terjadi, yang membuat Ayu marah.
Beberapa kali mengetuk, barulah terdengar suara langkah kaki mendekati pintu. Saat terbuka, Ayu langsung mendorong agar terbuka dengan lebar. Ana menatap adiknya itu dengan mata melotot. Terkejut dengan sikap kasar sang adik.
"Ada apa ini?" tanya Ana.
"Jangan sok polos kamu! Apa maksud kamu meminta kembali uang sewa tenda dan pelaminan?" tanya Ayu dengan suara keras.
Mendengar ucapan putrinya, Ibu langsung berdiri diikuti ayah. Mereka ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Kedua orang tua itu berdiri di belakang putri bungsunya.
Ana tersenyum mendengar pertanyaan adiknya itu. Dia sudah menebak jika sang adik akan marah atas apa yang dia lakukan. Namun, dia tak akan takut karena itu adalah hak dirinya.
"Itu uangku, apa salah aku meminta kembali?" Ana balik bertanya.
"Bukankah kau mengatakan jika aku bisa menggunakan tenda dan pelaminan yang telah terlanjur di sewa, tapi ternyata kau meminta uang itu kembali. Apa kau sengaja ingin mempermalukan aku dan Erik? Kau pasti belum bisa menerima pernikahanku ini!" seru Ayu dengan suara tinggi.
"Siapa yang belum terima? Aku ...? Justru aku bersyukur lepas dari pria seperti Erik, jika perlu aku akan mengadakan syukuran atas perpisahan ini!" ucap Ana.
Ibu Rida yang dari tadi hanya mendengar saja, maju ke depan mendekati kedua anaknya. Dia lalu menatap penuh kebencian pada Ana.
"Ayu benar, pasti kamu sengaja melakukan ini untuk mempermalukan Erik dan Ayu. Kenapa kamu meminta uang yang telah terlanjur dibayar jika bukan itu tujuan utamamu!" ucap Ibu Rida dengan suara lantang.
"Itu uangku, apa salah aku meminta kembali?" tanya Ana.
Ayah maju dan mendekati putrinya. Dia berusaha tersenyum. Pria itu menarik napas dalam. Di rumah ini selalu ada saja pertengkaran. Itulah alasan dia lebih betah di luar kota.
"Ana, apa benar kamu meminta uang itu lagi?" tanya Ayah dengan suara lembut. Ana menjawab dengan anggukan kepala. Rasanya malas untuk mengeluarkan suara.
"Kenapa kamu minta, bukankah kamu tau adikmu akan menikah. Biarkan saja dia gunakan karena kamu sudah terlanjur memesan," balas ayah.
"Itu uang hasil kerjaku. Hak ku meminta kembali. Jika ayah dan Ayu menginginkan pelaminan itu, tinggal sewa dan bayar. Kenapa harus menggunakan uangku?"
"Sebagai kakak, apa salahnya kamu mengeluarkan sedikit uangmu untuk Ayu."
"Lebih baik aku berikan pada fakir miskin dari pada sama Ayu. Dia masih memiliki ibu, ayah tiri yang lebih menyayangi dirinya dari anak kandung sendiri. Lebih menyedihkan aku, tak ada lagi tempatku mengadu sejak kepergian ibu."
"Jaga ucapanmu, Ana!'
"Apa salah ucapanku, aku memiliki ayah tapi seperti anak yatim piatu. Tak ada kasih sayang darimu. Ayah hanya menyayangi Ayu dan ibunya!" teriak Ana.
Mendengar suara Ana yang berteriak, tanpa sadar Ayah mengangkat tangannya dan menampar dengan keras pipi putrinya. Ana merasakan darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang pecah.
"Kenapa ayah tak membunuhku saja. Sejak ibu meninggal, tidak pernah sekalipun Ayah memeluk aku lagi walau aku sakit. Mengapa aku dibiarkan hidup? Seandainya aku mati, sekarang ini aku sudah tenang, tertidur dan beristirahat. Tidak merasakan penderitaan hidup ini!" teriak Ana.
Ana menjeda ucapannya. Mengusap pipinya yang terasa sakit dan panas.
"Andai aku dapat memilih! Mau menjadi siapa dan melakukan apa. Aku akan memilih tidak untuk dilahirkan. Aku tidak ingin menjalani hidup tanpa kejelasan dan tidak ingin menjadi beban bagi siapapun yang ku kenal. Terutama beban bagi kamu, Ayah. Pernahkah Ayah bertanya, kenapa aku tidak makan, kenapa aku tidak pulang, kenapa aku begini, kenapa aku menjadi seperti saat ini. Aku benci, Ayah."
Air mata Ana jatuh membasahi pipinya. Tangisan yang dari tadi dia tahan, tak bisa di bendung lagi. Mendengar ucapan putrinya Ayah merasa sedikit bersalah. Dia maju ingin memeluk putrinya tapi tangannya di tepis.
"Ayah, di banyak cerita yang kudengar, di banyak film yang aku tonton, anak perempuan akan menyandarkan kepalanya pada bahu tegas milik ayahnya, membiarkan air matanya membasahi bahu milik ayahnya. Tapi Ayah, kenapa bahumu itu terlalu jauh untukku bersandar?" tanya Ana dengan suara pelan karena menangis.
"Aku selalu mendengar orang berkata, jika Ayah adalah cinta pertama bagi setiap anak perempuan, tapi apa yang aku dapat, Ayahku adalah pria pertama yang membuat hatiku terluka dan hancur berkeping-keping," ucap Ana lagi dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.
Setelah mengucapkan itu, tanpa mau mendengar ucapan mereka, Ana masuk kamar dan menguncinya.