"Lepaskan aku, dasar pemaksa!" Nayla.
"Seharusnya kau senang karena menikah dengan pria tampan, kaya dan mapan sepertiku!" Reinhard.
Nayla, gadis polos dari desa yang terpaksa menikah dengan seorang mafia kejam, psikopat dan menyebalkan demi membayar hutang kedua orangtuanya.
Namun siapa sangka di balik sikap kejam Reinhard, pria itu menyembunyikan banyak luka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
"Bagaimana Tuan, apa anda yakin ingin menghabisi bayi yang tidak bersalah itu?" tanya Mark. Ia berdoa semoga Rein menggagalkan rencana bodohnya itu.
"Entahlah, aku tidak tega melihat raut bahagianya itu. Apalagi saat ia menginginkan seorang anak laki-laki." Rein takut apa yang terjadi pada dirinya selama ini, akan terjadi juga pada anaknya kelak. "Aku punya banyak musuh, Mark!"
"Anda bisa menyembunyikannya, Tuan. Ingat, bayi itu calon penerus mu kelak. Tentunya masih ada aku yang setia menjaga kalian semua!" meski Mark juga tidak memungkiri, inilah resiko yang akan Rein tanggung jika sudah menikah.
"Bagaimana kalau dia tahu aku sudah menikah dan dia sedang hamil?! Dia pasti akan mengambilnya dan--" Rein tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Nayla jika hal itu menjadi kenyataan.
"Kita akan mempertahankan mereka berdua sampai titik darah penghabisan, Tuan!" ucapnya menggebu-gebu.
"Kau pikir kita sedang berperang?! Dasar bodoh!" maki Rein. Sedang serius seperti ini, Mark masih bisa bercanda dengannya.
"Haish, Tuan! Kita memang sedang menghadapi perang era baru, dimana kita dijajah di negeri sendiri." Mark terkekeh.
Berbeda dengan Rein yang menanggapi kalimat Mark dengan serius. "Kau terlalu banyak nonton sinetron!" ketusnya pergi meninggalkan Mark sendirian.
"Tuan, saya belum selesai bicara! Ini tentang William. Beliau meminta kita datang--!" Rein tak lagi mempedulikan teriakan Mark dan memilih acuh. "Aku harus lebih banyak bersabar lagi..." cicitnya menghela nafas kasar.
******
Satu minggu sudah berlalu, dan selama itu Nayla tidur terpisah dari Rein. Meski sebenarnya, ia tidak ingin jauh dari suaminya sedetikpun. Efek mual dan muntah membuatnya seperti ini.
Pagi ini, seperti biasa, Rein makan sendirian tanpa ditemani oleh Nayla. Wanita itu lebih memilih makan di dalam kamarnya daripada bertemu dengan Rein yang ujung-ujungnya membuat perutnya mual.
"Tuan, anda ingin makan apa?" Mark berdiri di samping Rein dan siap melayani tuan nya.
Rein tidak menjawab ia hanya fokus pada ponselnya. Entah kenapa wajahnya akhir-akhir ini terlihat murung.
"Dimana istriku?! Apa dia masih tidak ingin menemui ku, Mark? Se-bau itukah tubuhku?!" tanya nya pada diri sendiri, lalu mengendus tubuhnya.
Mark merasa iba dengan keadaan rin. Tapi, ia tidak bisa melakukan apapun selain pasrah. "Tuan jangan pernah berpikir seperti itu, mungkin saja bawaan bayi kalian yang--"
"Masih dalam perut saja sudah membenciku! Apalagi kalau sudah keluar!" ucapnya seraya menghela nafas kasar. Urusan pekerjaannya di kantor saja sudah membuatnya pusing, dan sekarang acuhnya Nayla membuatnya semakin kesal.
"Bisa jadi tuan," ceplos Mark.
"Aku sudah bilang 'kan untuk menghabisinya saja. Daripada kasih sayang Ay hanya tertuju pada bayi itu! Aku tidak mau itu terjadi, Mark!"
Sungguh, Mark tidak mengerti jalan pikiran Rein. Saat semua pasangan yang baru menikah menginginkan seorang bayi, Rein yang sudah jelas-jelas istrinya sedang hamil malah berpikir picik.
"Sebaiknya berhati-hatilah saat berbicara, Tuan. Tidak baik jika seorang ayah--"
"Kau sok tahu!" ketus Rein. "Bagaimana bisa dia belajar mencintaiku, jika bayi yang belum lahir itu sudah merebut perhatian istriku!"
Mark memilih diam tanpa menjawabnya. Rein beranjak dari tempat duduknya. Dia merasa selera makannya hilang seketika.
"Tuan, anda mau kemana? Saya akan siapkan makanan yang lain untuk anda," teriak Mark, namun diabaikan begitu saja oleh Rein.
"Apa tuan menolak makan lagi, Mark?" tanya hana yang sedang membereskan meja makan. Lagi-lagi apa yang dia masak harus terbuang sia-sia karena Rein. Padahal ini semua adalah makanan kedukaan pria itu.
Mark mengangguk seraya berkata, "Beberapa hari ini suasana hatinya sedang buruk, marah-marah tidak jelas dan memukul salah satu karyawan di kantor hingga masuk rumah sakit! Bahkan ada yang sampai koma." Mark melirik Hana yang sama sekali tidak kaget mendengar ceritanya.
Apa mungkin karena Hana sudah terbiasa?
"Hana, apa kau sudah punya kekasih?" tanya Mark. Ia masih duduk dan terus memperhatikan apa yang sejak tadi Hana lakukan.
"Apa? Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?!" Hana menepuk dadanya. Hampir saja ia tersedak air liurnya sendiri mendengar pertanyaan dari Mark. Tentu saja dirinya sampai sekarang masih sendiri. Mana sempat mencari pasangan, apalagi Rein hampir tidak pernah mengijinkannya untuk cuti.
"Emm...tidak ada!" jawab Mark.
"Dasar aneh!" Hana kembali bekerja sebelum Rein memanggilnya lagi untuk melakukan pekerjaann lain.