Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Beberapa hari di rumah tanpa melakukan kegiatan apa-apa membuat Gisela merasa bosan. Padahal sang papa sudah menyuruhnya untuk mulai bekerja di perusahaan agar tidak terlalu larut pada kesedihan. Namun, wanita itu menolak karena masih ingin merasa bebas terlebih dahulu. Gisela belum mau dipusingkan dengan pekerjaan setelah hatinya baru saja sembuh.
Gisela pun berniat untuk jalan-jalan sendirian. Sekadar menghilangkan rasa suntuk. Entah akan pergi ke mana, ia pun tidak tahu karena belum memiliki arah dan tujuan. Yang terpenting sekarang Gisela bisa keluar dari rumah.
"Wah, sepatunya bagus sekali." Gisela menatap kagum ke arah sepatu ber-hak lima centi yang berwarna hitam pekat. Terlihat sangat elegan menurutnya.
Namun, ketika Gisela hendak mengambil sepatu tersebut, ada tangan lain yang ikut mengambilnya. Ia pun menoleh dan mendes*hkan napas ke udara secara kasar ketika melihat Stevani sedang memeluk sepatu itu dengan sangat erat.
"Aku yang akan membelinya," kata Stevani.
"Aku yang lebih dulu melihatnya." Gisela berbicara ketus. Rasanya ingin sekali ia merem*s wanita di depannya.
"Tapi, aku yang lebih dulu menyentuhnya." Stevani masih bersikukuh.
Gisela hendak mendebat lagi, tetapi mulutnya langsung terbungkam rapat ketika melihat kedatangan Abram. Tatapan lelaki itu begitu lekat ke arahnya hingga membuat Gisela dengan cepat memalingkan wajah karena tidak ingin bertatap muka dengan mantan suaminya.
"Ada apa?" tanya Abram tanpa mengalihkan pandangan dari sosok Gisela.
"Aku mau sepatu ini." Stevani dengan gaya kekanakkan menunjukan sepatu tersebut kepada Abram. Seolah memanasi hati Gisela dengan menunjukkan kemesraan di depan wanita itu.
"Tinggal bayar saja." Abram berbicara sangat enteng.
"Padahal itu sepatu aku dulu yang memilihnya," ucap Gisela setengah menyindir. "Memang dasar perebut."
Gisela hendak pergi dari sana, tetapi Stevani langsung menahan dengan mencengkeram kuat lengan Gisela sampai wanita itu meringis.
"Kamu bilang apa!" bentak Stevani tidak terima.
"Tidak." Gisela tidak lagi takut. Ia menyingkirkan tangan Stevani dari lengannya dengan gerakan cukup kasar.
"Aku yang lebih dulu menyentuhnya!" Stevani sengaja mengeraskan suaranya untuk menarik perhatian dari berbagai pengunjung di sana. Abram pun berusaha untuk menyudahi semua ini, tetapi Stevani masih tidak mau beranjak dari sana.
"Ya. Ambilah, Nona. Saya bisa memilih model yang lain. Mungkin yang lebih berkelas daripada ini," ucap Gisela. Begitu tenang dan justru Stevani yang memanas sendiri.
"Sepatu berkelas pun, tidak akan pantas dipakai wanita kampungan sepertimu!" hina Stevani. Menunjuk wajah Gisela. Abram pun berusaha mengajak pergi, tetapi Stevani menolak dan bahkan menyingkirkan tangan Abram dengan kasar.
"Lalu seperti apa wanita berkelas itu? Yang seperti Anda? Setahu saya wanita berkelas itu tidak akan pernah merebut milik orang lain. Apalagi sampai merusak rumah tangga orang lain." Gisela tersenyum sinis ketika melihat Stevani yang terdiam. Wajah Stevani mulai memucat. Akan tetapi, ia berusaha untuk tidak terlihat takut di depan Gisela.
"Kamu yang merebut Abram dariku!" Stevani berusaha membela diri. Bahkan, ia sengaja berdrama untuk menarik simpati orang-orang.
"Aku tidak merebutnya. Tapi, lelaki ini yang tidak mau jujur. Mana aku tahu kalau dia punya kekasih. Lagi pula, kalau dia lelaki baik-baik mana mungkin mau menikah dengan wanita lain ketika dirinya memiliki kekasih. Mungkin—"
"Mungkin apa!" Abram pun mulai naik darah. Sungguh, dia tidak menyangka jika Gisela akan seberani itu kepadanya.
"Ah, tidak jadi. Aku lupa belum mengucapkan selamat kepada kalian. Selamat atas pernikahan kalian dan semoga bayinya selalu sehat dan kelak menjadi anak yang baik, tidak seperti orang tuanya," sindir Gisela.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Gisela setelah mengucap kalimat itu. Ia mendongak dan menatap Abram yang sedang melayangkan tatapan penuh kebencian kepadanya.