Andara Mayra terpaksa menerima perjodohan dengan seorang pria yang sudah dipilihkan oleh ayahnya.
Namun dibalik perjodohan yang ia terima itu ternyata ia sudah memiliki kesepakatan sebelumnya dengan sang calon suami. kesepakatan jika setelah satu tahun pernikahan, mereka akan bercerai.
akankah mereka benar-benar teguh pada kesepakatan mereka? atau malah saling jatuh cinta dan melupakan kesepakatan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiwit rthnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sup iga
Panggilan bi sumi menghentikan ucapan mas bara.
"Aku udah bangun bi. Suruh nunggu sebentar ya bi. Aku mau mandi dulu."
"Baik non."
"Aku harus mandi." Aku melepas pelukan mas Bara. Kulihat ia menatapku sendu. Jangan pernah percaya dengan wajahnya itu May. Kamu pernah tertipu karena mempercayai wajah itu.
Aku segera mengambil pakaian ganti dan membawanya ke kamar mandi. Aku mandi dengan cukup cepat, kasihan tamu yang menungguku. Tapi tunggu, kok aku merasa aneh ya. Kenapa ada perban di keningku? Ah iya. Semalam keningku berdarah karena terbentur setir, tapi seingatku aku langsung tidur. Tapi siapa yang mengobatiku, apa mas Bara?
Kulihat mas Bara sudah tak ada di kamarku. Ah masa bodo. Aku memoles sedikit make up pada wajahku dan bergegas turun.
Mataku membola kala melihat mas Bara sedang memegang kerah kemeja kak Satria.
"Mas." Aku berlari melerai mereka. Keduanya saling menatap tajam, dan itu membuatku merasa takut melihatnya.
"Mas Bara apa-apaan sih mas. Dia tamu ku. Mas bara tidak berhak melakukan itu padanya." Aku menatap marah padanya.
Tak ada yang keluar dari mulutnya, ia langsung pergi meninggalkan kami.
"Kak Satria gak papa?" Aku menatap kak Satria khawatir.
"Enggak." Ia tersenyum hangat.
"Harusnya aku yang nanya, kamu gak papa? Ini kening kamu di perban kenapa? Apa kamu kecelakaan? Kamu udah ke rumah sakit belum?" Ia nampak khawatir meneliti tubuhku.
"Aku gak papa kak. Gak perlu ke rumah sakit juga, Aku cuma kebentur dikit.
"Ahh syukurlah. Aku khawatir banget lihat mobil kamu di derek di kemang, aku kira kamu kecelakaan. Di telpon juga gak diangkat. Kamu habis ngapain di kemang? Mobil kamu sampe di derek segala hmm?" Kulihat ia memang sekhawatir itu padaku, sontak aku tersenyum.
"Enggak kak. Mobilku cuma mogok. Aku gak papa kok. Oh iya, kak Satria gak kerja? Nanti dimarahin bos loh."
"Aku kerja, tapi aku juga khawatir sama kamu."
"Hmm. Sekarang kak Satria udah tau aku baik-baik saja. Jadi sekarang kak Satria harus balik lagi bekerja. Aku gak mau ya, gara-gara aku citra kak Satria jadi jelek."
"Gak bakal sayang." Ia mengacak rambutku pelan.
Tak lama ponsel kak Satria berbunyi.
"Bentar ya." Kak satria mengangkat panggilan pada ponselnya.
"Ya halo."
"Oh iya pak. Baik saya akan segera ke sana."
" Ya terimakasih." Kulihat ia mengakhiri panggilannya.
"Sayang, bener ya kamu gak papa?"
" iya."
"Ya udah, aku kembali ke kantor dulu ya. Nanti aku hubungi kamu lagi. Jangan lupa diangkat."
"Iya iya."
"Ya udah. See you and i love you." Ia mengecup keningku pelan.Aku sedikit risih sebenarnya, takut-takut ada yang melihat.
Ia pun pergi.
"Non, sarapan sudah siap." Bi sumi menghampiriku.
"Iya bi terimakasih. Oh iya, kita punya iga sapi gak bi?" Entah kenapa aku tiba-tiba ingin makan sup iga.
"Kebetulan gak ada non."
"Bibi bisa tolong beliin aku iga sapi gak ke pasar? Aku pengen banget makan sup iga."
"Tentu bisa non. Biar bibi beli dulu sebentar ya."
"Iya bi, makasih ya." Aku menunggu bik sumi di dapur.
Sekitar lima belas menit kemudian bi sumi datang. Kebetulan pasar di sini tidak terlalu jauh, jadi tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk ke sana.
"Biar aku yang masak bi. Aku lagi kepengen masak."
"Oh baik non. Apa perlu bibi bantu?"
"Gak usah bi. Aku bisa sendiri kok."
"Ya sudah, bibi mau ngerjain pekerjaan lain aja ya non."
"Iya bi. Makasih ya bi."
Akupun mulai memotong beberapa bawang. Rasanya aku masih ingat betul saat mama arum mengajarkanku dulu. Kuharap hasilnya takkan mengecewakan.
Kepulan asap dari panci yang berisi sup iga mulai menguarkan wangi yang sedap. Kurasa wanginya hampir sama. Duuuh aku benar-benar lapar. Tak lupa ku cicipi sedikit. Dan rasanya tak begitu buruk, lumayan lah untuk pemula.
Aku siapkan satu mangkuk besar iga yang sudah kumasak diatas meja. Dan aku langsung mengambil piring untuk mulai menyantapnya.
"Sepertinya ada yang memanggilku." Mas Bara datang dengan santai dan duduk di sebelahku.
"Kamu memanggilku?" Ia bertanya padaku.
"Enggak."
"Terus siapa ya? Kok aku seperti dipanggil panggil suruh datang kesini." Ia memasang wajah polos. Padahal aku tahu ia sedang menggodaku.
"Ah sekarang aku tahu. Ini dia yang memanggilku." Ia mengambil piring yang sudah kusiapkan untuk makan dan menggeser mangkuk yang berisi sup iga mendekat padanya.
"Tau banget kalau aku suka sup iga." Ia sudah bersiap hendak mengambil salah satu iga.
"Sayaaaaang kamu gak ke kantor?" Tiba-tiba mbak ana datang tanpa permisi. Kulihat ia juga membawa rantang makanan di tangannya.
"Hai May. Kamu juga gak kerja? Tumben barengan gak kerja? Ada apa?"
"Ah gak ada apa-apa mbak. Ayo sarapan bareng mbak?" Aku mengambil kembali piringku dan mengambil sup iga dari dalam mangkuk.
"Sarapan? Jam segini? Ini udah siang May, udah saatnya makan siang. Ini aku bawa makan siang buat Bara, karena Bara gak masuk kantor, jadi aku bawa kesini."
"Oh iya. Maksudku ayo makan siang." Ia nampak melihat sup iga buatanku.
"Eh aku juga bawa sup iga loh buat kamu sayang. Di makan yuk." Mbak ana membuka rantang yang ia bawa. Ternyata benar. Ia juga masak sup iga. Kugeser mangkuk sup iga yang sempat mas Bara tarik tadi. Ah, akhirnya sup ini hanya untukku. Kulihat mas Bara melihatku tak terima. Ah masa bodoh. Aku makan dengan lahap, sementara mereka. Kalian pasti tahu mereka akan berujung suap-suapan didepanku nanti.
Ponsel mas Bara berbunyi.
"Mama." Mas Bara memberitahuku jika mama menelponnya.
"Iya ma?"
"Kamu dimana Bar? Mayra ada sama kamu gak? Di teleponin gak diangkat diangkat." Aku bisa mendengar mama berbicara karena mas Bara mengaktifkan pengeras suaranya.
"Oh ada ma. Kami ada di rumah. Kebetulan kami lagi sarapan makannya Mayra gak angkat telepon mama karena ponselnya ketinggalan di kamar."
"Sarapan?" Mama nampak heran sama seperti mbak ana tadi.
"Ee maksud Bara, makan siang."
"Oh ya udah. Kalau kalian ada di rumah. Mama kesana sekarang ya? Bye."
Aku dan mas bara saling pandang, dan pandangan kami beralih pada Mbak ana.
"Aku ngerti. Aku akan pulang." Mbak ana pamit.
"Maaf ya." Mbak ana hanya tersenyum, aku tahu ia mencoba mengendalikan dirinya, meski ia coba tutupi dengan senyuman, tetap saja Aku bisa melihat raut kesal di wajah mbak ana. Entah kesal karena ia yang harus pulang, atau kesal karena asisten lie yang harus mengantarnya pulang.
Mas Bara segera berlari menuju meja makan. Ada apa dia. Ia segera mengambil piring milikku dan memakan sup iga yang ada disana.
"Mas itu milikku ih." Aku memberenggut kesal karenanya.
"Udah kamu ambil piring lagi aja."
"Mas bara kan udah punya itu yang dari mbak ana."
"Itu buat kamu aja. Wong yang manggil-manggil aku dari tadi ini kok." Ia nampak sangat menikmati sup buatanku.
"Tumben bik sumi masak sup iga enak kayak gini." Ia nampak melirikku. Entah ia memang sengaja menggodaku atau memang ia beneran tak tahu jika aku yang masak.
"Tolong bilangin ke bik sumi. Kalau perlu masakin aku sup iga kayak gini tiap hari yah." Aku heran, kenapa ia harus memintaku yang bilang ke bik sumi.
"Tinggal bilang sendiri kan bisa. Orangnya ada tuh." Aku menunjuk bik sumi yang lewat dengan kedua mataku.
"Bi. Sering-sering ya buatin aku sup iga kayak gini." Ia berteriak dengan sedikit melirikku.
"Ini rasanya sangat enak bik." Ia nampak tersenyum.
"Maaf tuan. Tapi itu buatan non Mayra. Bukan buatan bibi."
"Ooh gitu." Ia kembali menatapku.
"Jadi itu buatan istriku ya bi. Tolong bilangin ke istriku ya bi. Bilangin jika supnya enak, lebih enak dari buatan siapapun. Jadi, suruh istriku sering-sering buatin sup iga ya. Biar suaminya tambah cinta." Ah kurasa pipiku memerah dibuatnya. Sejak tadi ternyata ia sedang menggodaku. Dasar buaya.