Sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan rahimnya, dia tetap tegar menjalani hidup walau terkadang hinaan menerpanya.
Diam-diam suaminya menikah lagi karena menginginkan seorang anak, membuat ia meminta cerai karena sudah merasa dikhianati bagaimanapun dia seorang wanjta yang tidak ingin berbagi cinta dan suami.
Pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat harinya dipenuhi senyuman, tapi ia juga dilema karena anak itu meminta ia menjadi ibunya itu berarti dia harus menikah dengan Papa dari anak itu.
Akankah Yasna menerima permintaan anak kecil itu atau kembali kepada mantan suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Di kunci
Hari ini Avi sudah diperbolehkan pulang, Zahran membawanya ke rumah orang tuanya dengan alasan agar ada yang memperhatikannya. Padahal sebenarnya ia tidak ingin Avi berada di rumahnya, rumah miliknya dan Yasna, hanya Yasna yang akan menjadi nyonya di rumah itu.
Zahran duduk di teras samping rumah. Ia memikirkan semua yang terjadi padanya akhir-akhir ini, terutama setelah perpisahan dengan Yasna. Dulu saat bersama Yasna, Zahran selalu tersenyum, meski diantara mereka tak ada seorang anak.
"Kamu kenapa, Ran?" tanya Faida yang baru datang.
"Tidak kenapa-napa, Ma."
"Apa kamu belum bisa menerima kehadiran putri keduamu?"
"Entahlah, Ma. Zahran kecewa saja."
"Bagaimana pun dia tetap putri kandungmu, laki-laki atau perempuan, kamu harus bisa menerima kehendak Tuhan." Faida mencoba memberi pengertian.
"Kenapa baru sekarang, Mama bicara soal kehendak Tuhan? Kenapa tidak dari dulu, saat aku masih bersama dengan Yasna?" tanya Zahran.
"Karena Mama ingin yang terbaik buat kamu."
"Terbaik buat Mama, bukan aku." Zahran meninggalkan mamanya begitu saja.
"Ran ... Zahran!" Faida memanggil Zahran dengan berteriak. Namun, yang dipanggil tidak peduli sama sekali.
"Mama tahu, Mama sudah bersalah padamu, tapi semua itu Mama lakukan untukmu," gumam Faida.
Sementara Zahran mengemudikan mobilnya menuju rumah Yasna, ia rindu ingin bertemu dengan mantan istrinya itu, ia berharap wanita itu juga merindukannya.
Zahran telah sampai di tempat yang ia tuju. Rumah yang tampak sepi, sepertinya tidak ada orang di dalam. Zahran memutuskan menunggu saja di dalam mobil.
Waktu sudah hampir maghrib, tetapi pemilik rumah tak kunjung datang. Zahran memutuskan pergi ke musholla terdekat dengan berjalan kaki, ia cukup mengenal warga sekitar, dulu jika ia menginap di rumah mantan mertuanya itu, Ayah Hilman akan mengajak sholat di masjid.
"Zahran, kamu di sini?" tanya Pak Rt yang kebetulan rumahnya dekat dengan rumah orang tua Yasna.
"Iya, Pak. Saya hanya ingin silaturrahmi," jawab Zahran dengan menjabat tangan Pak Rt. Mereka berjalan sambil berbincang.
"Saya minta maaf sebelumnya, sebaiknya kamu jangan datang menemui Yasna, saya tidak ada maksud apa-apa. Kalian sudah bercerai tidak baik jika kalian sering bertemu, apalagi kamu sudah menikah, saya hanya kasihan pada Yasna yang selalu menjadi bahan gunjingan tetangga," ujar Pak Rt.
Zahran terdiam, selama ini ia tidak pernah memikirkan tentang Yasna, sebelumnya Ayah Hilman juga memperingatkannya, tetapi dia hanya menganggap itu alasan mantan mertuanya untuk melarang ia bertemu Yasna. Kini orang lain yang mengatakan hal yang sama, tetapi dia tidak bisa menjauhi Yasna.
"Cobalah mengerti posisi Yasna, saya ambil wudhu duluan." Pak Rt pergi meninggalkan Zahran dengan pemikirannya.
*****
Sementara Yasna masih berada di rumah Fazilah, hari ini ia memutuskan menginap. Ia juga sudah memngirim pesan pada ibunya bahwa ia akan menginap di rumah Fazilah. Sudah lama ia tidak bergadang hingga pagi bersama sahabatnya ini.
"Fa, kamu nggak ingin nikah?" tanya Yasna
"Nggak."
"Kenapa?"
"Gue nggak mau di madu."
"Kamu nyindir aku?"
"Iya,"
Yasna melempar bantal yang ia pakai ke arah Fazilah, membuat mereka terkekeh.
"Kamu nanyanya aneh, mau nikah sama siapa? pacar aja nggak ada," ujar Fazilah.
"Terus yang fotonya kamu pake buat status itu siapa?" tanya Yasna.
"Hanya teman."
"Teman apa teman?" goda Yasna mengedip-ngedipkan matanya.
"Beneran teman, nggak usah ngedip-ngedip, mata lo juling nanti."
"Orangnya ganteng loh, cocok sama kamu."
"Gue sama dia beda, dia Boss di kantor, sementara gue? Lo tahu sendiri lah," ujar Fazilah lesu.
"Jadi kamu punya perasaan sama dia?" tanya Yasna.
"Eh, enggak," kilah Fazilah
"Kamu udah main rahasia-rahasiaan ya, sama aku." Yasna pura-pura merajuk.
"Enggak, aku memang tidak memiliki hubungan apapun dengannya."
"Yakin?"
"Aku cukup tahu diri, Na. Dia terlalu jauh dari jangkauanku," ujar Fazilah dengan menundukkan kepalanya.
"Apapun keputusan kamu, aku akan selalu mendukungmu." Yasna menggenggam jemari Fazilah untuk memberinya kekuatan.
"Sudah, ah. Kita kan, mau bersenang-senang malam ini." Fazilah mencoba mencairkan suasana.
"Nggak ada, kamu besok kerja jadi, tidur sekarang!" perintah Yasna.
"Lo nginap di sini cuma buat tidur doang?" tanya Fazilah.
"Yang namanya nginap, ya tidur."
"Bukan itu maksud gue."
"Sudah, ayo tidur!"
Fazilah hanya bisa mendengus kesal. Namun, ia tetap mengikuti perintah Yasna untuk tidur. Yasna tersenyum, sebenarnya ia juga ingin mengobrol banyak hal dengan sahabatnya ini, tetapi besok mereka harus bekerja, tidak seperti dulu, mereka bebas tidur jam berapa dan bangun jam berapa.
*****
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Yasna. Ayo, masuk!" ajak Karina.
"Saya bawakan nasi goreng, Bu. Ini dijamin nggak bakalan asin," ujar Yasna tersenyum.
"Maaf, ya. Kemarin itu ulah Aydin."
"Nggak papa, Bu. Saya mengerti."
"Selamat pagi," sapa seorang wanita yang baru datang, siapa lagi kalau bukan Tisya.
"Pagi," sahut Karina.
"Hai, kamu lagi. Kamu setiap hari datang ke sini?" tanya Tisya pada Yasna.
"Tidak, hanya sesekali saja," jawab Yasna.
Tisya mengangguk, sebenarnya ia ingin sekali memarahi Yasna, tetapi sepertinya Karina sangat dekat dengan wanita itu, ia tidak mungkin memberi kesan tidak baik lagi.
"Aku mau bangunin Emran ya, Bu." Tisya pergi begitu saja setelah mengatakan keinginannya.
"Tisya." Karina ingin mencegahnya. Namun, terlambat.
Karina menatap Yasna, yang di tatap hanya tersenyum. Sementara Tisya berusaha membuka pintu kamar Emran, tetapi tidak bisa. Sepertinya Emran menguncinya dari dalam.
Sejak kejadian hari itu, Emran memang selalu mengunci kamarnya. Mencegah lebih baik, bukan!
"Kenapa, Sya?" tanya Karina yang melihat Tisya kembali dengan lesu. Ia pikir, mungkin Emran mengusirnya.
"Kamar Emran di kunci, Tante," jawab Tisya.
Mendengar jawaban Tisya, Karina menahan agar tidak tertawa di depan Tisya. Sementara Yasna hanya mengulum senyum, ia senang Emran masih mau menjaga perasaannya.
"Bunda," panggil Afrin yang baru ke luar dari kamar.
"Cantik banget Afrin hari ini," puji Yasna.
"Telima kacih," sahut Afrin.
"Kakak, mana?" tanya Karina.
"Di kamal pake cepatu," jawab Afrin.
"Selamat pagi," sapa Emran.
"Pagi, Emran," sahut Tisya dengan tersenyum.
Emran terkejut melihat kedatangan dua wanita di rumahnya, terutama kehadiran Yasna. Bukankah Yasna sudah memutuskan agar mereka saling berjauhan sementara waktu, tetapi kenapa sekarang wanita itu ada di sini?
"Sini, aku ambilin," ucap Tisya.
"Tidak perlu, saya bisa sendiri," tolak Emran, ia menyendok nasi goreng yang ia yakini buatan Yasna, di lihat dari tampilannya yang sama seperti kemarin.
"Kamu, makan nasi goreng. Nanti keasinan lagi." Tisya melirik ke arah Yasna.
"Insyaallah tidak, Mbak. Saya sudah mengurangi garamnya kok," sahut Yasna.
Mereka makan dengan tenang, sesekali Tisya cari perhatin pada Emran dan Karina.
.
.
.
.
.