abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Bayang-Bayang Terakhir
Isabella menyeret langkahnya melewati lorong kastil yang terasa semakin panjang dan gelap. Tubuhnya lemah, tapi pikirannya dipenuhi dorongan satu hal: bertahan hidup.
Dia berhenti sejenak di dekat jendela yang retaknya menyerupai sarang laba-laba, memandang ke luar. Angin malam berhembus dingin, membawa suara-suara aneh dari hutan di sekitarnya. Apakah itu suara binatang, atau... sesuatu yang lain? Dia nggak tahu. Yang dia tahu, nggak ada tempat yang aman.
“Gue harus keluar dari sini...” gumamnya, tangannya yang gemetar masih menggenggam pisau penuh darah.
Tapi sebelum dia bisa melangkah lagi, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Bukan hanya satu, tapi beberapa. Dan mereka makin dekat.
“Jangan bilang mereka masih ada...” Isabella memutar tubuhnya dengan panik, memandang ke arah lorong yang kini dipenuhi kegelapan total.
“Isabella...” suara berat, penuh gema, memanggil namanya dari balik bayangan.
Dia tersentak. Itu pertama kalinya dia mendengar pria bertopeng itu bicara. Tapi kenapa dia tahu namanya?
---
Kejutan dari Masa Lalu
“Siapa lo?!” Isabella berteriak, suaranya pecah karena rasa takut dan marah yang bercampur jadi satu.
Langkah kaki itu berhenti, dan dari kegelapan muncul seseorang. Pria bertopeng, tapi kali ini topengnya berbeda. Wajah menyeramkan itu terlihat lebih seperti tengkorak manusia, dengan mata merah yang berkilauan di balik celahnya.
“Lo pikir lo bisa lari dari semuanya?” pria itu berkata pelan, tapi nada ancamannya terasa jelas.
“Dari apa?!” Isabella menantang, walaupun tubuhnya gemetar. “Lo bahkan nggak gue kenal!”
Pria itu tertawa kecil, tapi tawa itu dingin, kosong, nggak manusiawi. “Oh, tapi gue kenal lo, Isabella. Dan gue kenal semuanya—teman-teman lo, keluarga lo... bahkan semua dosa lo.”
Kata-kata itu menghantam Isabella seperti pukulan keras. Siapa dia? Apa maksudnya? Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, pria itu mengangkat tangannya, dan dari balik kegelapan muncul dua orang bertopeng lain, membawa senjata tajam.
“Waktunya lo bayar semuanya...”
---
Perangkap Tanpa Akhir
Isabella langsung lari, nggak peduli lagi kalau tubuhnya sudah hampir nggak kuat. Lorong demi lorong dia lewati, mencoba mencari jalan keluar, tapi semuanya terasa sama—seperti labirin yang nggak ada ujungnya.
Dia berbelok ke sebuah ruangan besar dengan pintu ganda yang terbuka lebar. Di dalamnya, ada meja panjang penuh dengan lilin yang sudah hampir habis terbakar. Di dinding, tergantung foto-foto lama keluarga bangsawan, semuanya memandang dengan ekspresi dingin.
“Di mana pintu keluar, sialan?!” Isabella berteriak frustrasi.
Tapi dia nggak sendiri. Dari balik meja, salah satu pria bertopeng muncul dan langsung menyerang dengan pisau panjang. Isabella melompat mundur, pisau itu hampir mengenai wajahnya.
“Lo gila, ya?!” Isabella berteriak sambil melempar kursi ke arah pria itu.
Tapi pria itu terlalu kuat. Dia mendekat lagi, menebaskan pisaunya dengan gerakan cepat. Isabella berhasil menghindar, tapi kakinya tersandung lilin di lantai, membuatnya terjatuh.
Pria itu mengangkat pisaunya, siap menusuk Isabella.
Tapi di detik terakhir, Isabella mengambil pecahan kaca dari lantai dan menusukkannya ke kaki pria itu. Dia berteriak kesakitan, mundur beberapa langkah sambil memegangi lukanya.
Isabella memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur lagi, keluar dari ruangan dan masuk ke lorong lain.
---
Kebenaran yang Menghantui
Setelah berlari cukup jauh, dia akhirnya menemukan sebuah ruangan kecil dengan pintu kayu tebal. Dia masuk dan mengunci pintunya dari dalam.
Ruangan itu kosong, kecuali sebuah meja kecil di sudut dan cermin tua yang retaknya hampir menutupi seluruh permukaannya.
Isabella duduk di lantai, mencoba menenangkan napasnya yang berat. Tapi di cermin itu, dia melihat sesuatu.
Bayangan pria bertopeng itu berdiri di belakangnya.
Dia berbalik cepat, tapi nggak ada siapa-siapa.
“Gue mulai gila...” gumamnya sambil memegangi kepala.
Tapi bayangan itu muncul lagi di cermin, kali ini lebih jelas. Pria itu melepas topengnya, dan wajah yang ada di baliknya bikin Isabella hampir kehilangan napas.
“Lo... nggak mungkin...”
Wajah itu... adalah wajah salah satu teman mereka yang sudah mati beberapa jam lalu.
---
Perpecahan di Dalam Kelompok
Di balik cermin, bayangan itu mulai bicara. “Kami nggak pernah benar-benar mati, Isabella. Kami cuma berubah... karena lo semua.”
Isabella mencoba memahami apa yang terjadi, tapi pikirannya terasa kacau. Kenapa mereka berubah? Kenapa mereka kembali?
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar lagi, kali ini lebih keras. Pintu ruangan itu mulai dihantam dari luar.
“Bella! Buka pintunya! Ini gue, Marco!” suara Marco terdengar panik dari luar.
Isabella ragu. Marco? Bukankah Marco sudah mati?
“Lo bohong! Marco udah mati!” Isabella berteriak sambil mundur ke sudut ruangan.
“Tolong, Bella! Gue nggak mati! Gue cuma terluka waktu diserang tadi!” Marco terus memohon.
Isabella akhirnya mendekat ke pintu, tapi sebelum dia bisa membukanya, cermin di belakangnya pecah dengan keras. Dari pecahan itu, sosok pria bertopeng muncul dan langsung menyerangnya.
“Lo nggak akan keluar dari sini, Isabella!” pria itu berteriak sambil mendorongnya ke lantai.
Isabella mencoba melawan, tapi tubuhnya terlalu lemah. Dia melihat Marco akhirnya berhasil membuka pintu, tapi sosok itu juga nggak terlihat seperti Marco lagi.
“Gue harus keluar... Gue harus keluar...” Isabella terus mengulang kata-kata itu di kepalanya, sementara bayangan-bayangan kematian terus menghantui setiap langkahnya.
Di dalam kegelapan kastil itu, dia tahu bahwa musuh terbesar bukan hanya orang-orang bertopeng. Musuh terbesar adalah dirinya sendiri, yang terus dihantui rasa bersalah dan ketakutan.