“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
Sontak pertanyaan salah satu ibu-ibu yang ikut dalam rombongan menarik perhatian lainnya. Mereka serempak menatap iba ke arah Mak Syam dan juga Amala.
Tepung tawar adalah bentuk ritual doa untuk kedua mempelai agar diberkahi dan memohon keselamatan atas keduanya. Yang mana dilakukan oleh anggota keluarga inti kedua belah pihak, di mulai dari yang tertua-hingga muda.
“Maaf, Mak Syam. Saya tidak bermaksud lain, cuma heran saja,” ucap sungkan ibu-ibu tadi, dia merasa tak enak hati. Akibat ucapannya semua mata tertuju kepada Mak Syam.
Mak Syam mengulas senyum hangat, dia mencoba tegar walaupun hatinya tersayat. “Tak mengapa. Mungkin saja keluarga Bu Atun dan Pak Kasim, memiliki tradisi sendiri yang lain dari pada umumnya,”
Para rombongan wanita pun masuk lebih dulu, melewati untaian janur kuning yang membentuk seperti pintu gerbang. Mereka digiring oleh panitia wanita yang membantu keberlangsungan acara pernikahan.
“Dhien, sini!” pada baris kedua dari singgasana pengantin, Wahyuni yang sedang menggendong Siron memanggil sang sahabat. Dia datang lebih dulu, semalam keluarga kecilnya menginap di toko mas.
Rombongan warga Jamur Lubok, mulai duduk di kursi bermeja bulat yang terlihat cantik lantaran dihiasi kain putih berenda. Tamu undangan wanita duduk di sisi kiri, sedangkan laki-laki pada sisi kanan.
“Masya Allah, siapa ini? Bagaimana bisa secantik ini?” Wahyuni ikutan terpesona seperti yang lainnya ketika melihat wajah Amala.
“Itu hasil tangan ajaib ku,” Dhien menyombongkan diri, mereka duduk saling bersisian. Amala diapit oleh Mak Syam, Dhien, lalu Wahyuni, dan juga Siron.
“Dhien, udah cocok kau jadi dukun manten. Hasil riasan mu terlihat sempurna,” puji Wahyuni.
“Berakhir aku yang akan selalu dijadikan Kelinci percobaannya," seloroh Amala sambil tersenyum masam yang langsung dibalas gelak tawa pelan.
“Makwa La, cantik.” Siron berdiri, dia mencium pipi Amala.
“Siron lebih cantik dan menggemaskan,” balas Amala, mencium gemas kedua pipi gadis kecil berbaju muslim biru muda.
Interaksi hangat itu tidak luput dari sepasang mata elang pemuda yang sedari tadi memasang raut kesal, tetapi tertutupi oleh ekspresi datar.
Di sela-sela acara tepung tawar yang belum selesai, selentingan kata-kata menyakitkan terdengar walaupun tersamarkan oleh lantunan sholawat pengiring jalannya acara.
Selang dua meja dari tempat duduk Mak Syam, ada keluarga inti Yasir. Nyonya rumah sengaja mencari perkara.
“Enak sekali ya jadi si polan, datang-datang duduk manis. Ketawa-ketiwi tanpa merasa bersalah apalagi berdosa. Nggak tahu apa dia? Kalau putrinya dari semalam bermuram durja. Di saat suaminya didampingi keluarga lengkap, dia bagaikan anak sebatang kara. Sungguh keterlaluan!” setelah mengatakan kalimat sindiran itu, bi Atun pura-pura mengipasi wajahnya menggunakan kipas kain.
Wajah Wahyuni dan juga Dhien berubah menjadi masam, kalau ini bukan acara penting sudah pasti mereka langsung beraksi. Amala mengeratkan genggamannya pada tangan sang ibu.
“Mamak tidak apa-apa, kalian tak perlu risau,” Mak Syam tersenyum teduh.
“Baiklah acara tepung tawar ini sudah selesai. Benar sudah tidak ada lagi yang diwajibkan memberikan doa ‘kan?” ragu-ragu sang MC bertanya, dia tentu mengenal keluarga pengantin wanita. Netranya menatap sungkan pada Mak Syam.
Salah satu bibinya Yasir berdiri, dia berbicara dengan nada lumayan tinggi. “Kalau nama-nama yang di kertas tadi sudah disebutkan semua, ya berarti selesai. Jadi, untuk apa bertanya lagi!”
“Daras keluarga gila! Mereka mengatai Mak Syam, tetapi lupa berkaca pada diri sendiri!” sungut Wahyuni, yang mulai geram.
“Nirma juga, kok ya mau dibuat macam Lembu yang di cucuk hidungnya!” Dhien tak kalah panas.
Kali ini Amala memilih diam, tidak menegur siapapun yang mengatakan hal tidak baik untuk keluarga Yasir maupun adiknya sendiri. Prioritasnya sekarang hanyalah sang ibu.
Amala memalingkan wajahnya ke depan. Dia memandang lekat penampilan Nirma yang terlihat mewah dalam balutan baju adat. Terlihat sekali rona bahagia di wajah sang adik.
Bagaimana tidak, pesta pernikahan ini terbilang mewah. Rangkaian besi ditutup kain-kain berwarna merah campur putih, meja-meja dihias warna senada, dan kursi plastik yang sudah dibalut kain berwarna putih dengan pita biru. Pelaminannya pun tak kalah bagus dan megah, sungguh dekorasi yang indah dipandang mata.
“Mak Syam, Amala, kalian tidak makan?” tanya salah satu warga Jamur Lubok yang duduk di belakang kursi Amala.
Mak Syam menggeleng, “Saya masih kenyang.”
Bagaimana bisa dia makan, memandang makanan yang tersaji seperti melihat duri, belum lagi air sirup campur parutan mentimun, Mak Syam seperti disuguhi hidangan beracun.
Kalau bukan karena janjinya kepada mendiang suami, tak akan mau dirinya datang. Dia tahu, mereka disuruh hadir hanya untuk direndahkan serta dipermalukan.
Peh.
“Siapa yang masak rendang daging ini? Rasanya masih alot, bumbunya juga masih langu,” tanya Dhien kesal sambil melepeh sepotong daging yang tidak berhasil dikunyah nya.
Hueg.
“Es nya nggak enak, Buk.” Siron mengelap lidahnya yang terasa pahit.
“Kebanyakan sari manis ini kayaknya,” timpal Wahyuni setelah mencicipi air es.
“Katanya kaya, tapi menyajikan hidangan begitu pelit bumbu asli!” sindir Dhien, tiga sekawan itu begitu kompak dalam hal mencela.
Mala menyandarkan kepalanya pada bahu sang ibu, dia memejamkan mata dan bibirnya tersenyum samar. Dalam hati bersyukur memiliki sahabat yang baik hati. Begitu mengerjap, tatapannya langsung bertemu mata tajam bang Agam, langsung Mala duduk tegak lagi.
“Mbak, Mamak.” Nirma menghampiri keluarganya, pandangannya begitu tajam, apalagi saat melihat benda berharga yang menghiasi tangan kakaknya. “Kalau nggak ikhlas datang, tolong jangan rusak hari bahagiaku.”
‘Datang biang keroknya!’ Dhien membatin kesal.
“Jangan khawatir, Nirma. Kami nggak akan lama. Tinggal menunggu yang lainnya selesai makan, maka kami akan pulang,” balas Mak Syam, dia enggan menatap wajah putri bungsunya.
“Kedatangan kami kesini hanya untuk memenuhi janji Bapak, tidak lebih.” Amala berdiri, dia mengulurkan tangan, begitu dibalas oleh sang adik. Amala memeluk tubuh Nirma sambil berbisik lirih di telinga saudari kandungnya.
“Selamat ya atas pernikahanmu, kendatipun caramu tidak manusiawi. Bukan berarti aku berhak untuk menghakimi, biarlah Allah yang sebaik-baiknya Sutradara kehidupan,” sambungnya lagi.
Amala melerai pelukan itu, ia menatap badan Nirma yang terlihat kaku. “Kau terlihat sangat cantik hari ini. Oh ya … ini ada kado dari keluarga mendiang Bapak Abidin.” Amala menyodorkan paperbag kecil yang langsung diterima Nirma.
“Ada apa, Sayang?” tanya Yasir yang sudah berdiri di belakang Nirma. Dia terlihat tertarik, bukan pada percakapan dua bersaudara, tetapi pada sosok yang sudah menjadi mantannya. Netranya tak berkedip memindai penampilan Amala.
‘Ternyata dia bisa secantik ini,’ batinnya begitu berisik.
Nirma berbalik menatap penuh cinta sang suami. “Nggak ada apa-apa, Mas. Nirma cuma mau menyapa Mbak Mala dan Mamak.”
“Aku minta … setelah kalian selesai makan. Tolong segera pulang!” pinta Nirma, tanpa basa-basi.
“Aku rasa otakmu sudah kebalik, Nirma!”
Dhien berdiri di sebelah Amala, tangannya sudah terulur hendak menarik hiasan kepala wanita menyebalkan dihadapannya ini.
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu