Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Pagi, Bunda. Pagi, Ayah," sapa Siera dengan senyuman cerah, langkahnya ringan menuju meja makan tempat kedua orang tuanya sudah duduk.
"Pagi, sayang," jawab Ayah Dimasta sambil membuka koran yang di hadapannya.
"Wah, cerah banget suasana hatinya hari ini. Ada kabar baik, ya?" goda Bunda Arumi, senyum tipisnya mengembang, sementara tangannya lincah menyusun roti bakar di piring.
Siera tersenyum kecil, seakan ada rahasia kecil yang ingin ia simpan sendiri. Hari ini memang berbeda. Rasa lega memenuhi dadanya, seperti beban berat yang selama ini mengikatnya perlahan terlepas.
"Iya, Bun. Aku cuma... merasa lebih baik aja hari ini," jawabnya, sambil meraih segelas susu yang sudah disiapkan di atas meja.
Bunda Arumi melirik putrinya penuh arti. Sebagai seorang ibu, ia tahu ada sesuatu yang berubah dari Siera. Tetapi ia memilih untuk tidak menekan gadis itu lebih jauh.
"Bagus kalau begitu. Kalau hati kamu bahagia, semua akan terasa lebih ringan," ujar Bunda lembut, mengusap kepala Siera dengan penuh kasih sayang.
Ayah Dimasta hanya mengangguk kecil. Ia tidak banyak bicara, tetapi dari balik korannya, matanya tak lepas mengamati Siera.
"Kamu ada rencana apa hari ini, Nak?" tanyanya kemudian, menyeruput kopi hitamnya perlahan.
Siera berpikir sejenak sebelum menjawab. "Sie cuma mau ke Craft & Chill Hub aja, Yah. Terus nanti malam nganterin Tante Arumi sama Om Bima ke bandara," katanya santai.
"Oh iya, sayang. Mama dan Papa Arka pulang hari ini, ya?" Bunda Arumi sedikit tersentak, hampir lupa dengan jadwal kepulangan iparnya.
"Iya, Bun. Tiket mereka jam delapan malam. Jadi aku bakal langsung dari kafe ke bandara," Siera menjelaskan sambil memakan sepotong roti bakar.
Ayah Dimasta menurunkan korannya lagi. "Kamu sama siapa ke bandara?" tanyanya, tatapannya penuh perhatian.
"Sendiri aja, Yah. Pulang dari kafe, aku langsung ke sana," jawab Siera meyakinkan.
Namun, Bunda Arumi tampak tidak puas dengan jawaban itu. Ia memicingkan mata, mencoba membaca ekspresi putrinya. "Nggak bareng Arka, Sie?" tanyanya, nada suaranya mengandung keingintahuan yang tak bisa disembunyikan.
Siera sempat terkejut, tetapi buru-buru menyembunyikannya di balik senyum kecil. "Nggak, Bun. Lagian aku bisa sendiri kok. Nanti juga ketemu di sana," balasnya, mencoba terdengar biasa saja.
Jawaban itu sukses membuat suasana sedikit canggung. Ayah Dimasta memilih tidak memperpanjang topik dan kembali ke korannya.
***
Kondisi di Craft & Chill Hub siang itu tidak jauh berbeda dari biasanya. Ramai pengunjung, terutama saat jam makan siang. Suara denting sendok dan garpu berpadu dengan obrolan ringan para pelanggan, menciptakan suasana yang hangat namun riuh.
Di depan pintu kaca café, seorang pria berdiri tegap. Setelan kerjanya rapi, dengan dasi hitam yang terikat sempurna. Aura wibawa terpancar jelas dari caranya berdiri. Ia menarik napas singkat sebelum melangkah masuk.
Saat melewati pintu, pandangannya langsung berkeliling ke seluruh ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mencari meja kosong yang bisa ditempati. Namun, seperti yang diduganya, siang ini café itu penuh sesak. Tak ada satu meja pun yang tersedia.
Sepertinya harus take away saja, pikir pria itu sambil melangkah menuju kasir.
Di meja kasir, Siera sedang mehadap belakang saat berbicara kepada pegawainya. Saat ia menoleh secara tidak sengaja, dan matanya langsung bertemu dengan sosok pria yang baru saja berdiri berdiri di depan meja kasir.
"Loh, Ka? Ngapain di sini?" tanyanya spontan, wajahnya tampak sedikit terkejut.
Pria itu—Arka—mengangkat alisnya, sedikit bingung dengan pertanyaan Siera. "Ngapain lagi? Mau makan siang, dong," jawabnya santai, meski matanya tak lepas dari tatapan Siera yang tampak heran.
Siera diam sejenak, memproses jawaban itu. Betul juga, pikirnya. Untuk apa Arka ke sini kalau bukan untuk makan siang? Tidak mungkin dia tiba-tiba ingin ikut workshop membuat kerajinan tangan.
Namun, ada sesuatu dalam cara Arka menjawab yang membuat Siera sedikit gelisah. Tatapan pria itu terlalu tenang, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Full semua mejanya. Kayaknya nggak mungkin makan di sini," lanjut Arka sambil melirik sekitar.
Siera melirik sekeliling café. Semua meja memang penuh terisi, bahkan sudut-sudut kecil yang biasanya luang kini dipenuhi pengunjung. Ia memandang Arka yang berdiri di depannya.
"Mau take away aja?" tawar Siera dengan senyum tipis.
"Iya, Sie. Take away aja," jawab Arka sambil menatap daftar menu yang terpasang di dekat kasir.
"Mau pesan apa, jadinya?" Siera bertanya sambil membuka catatan kecil di tangannya, bersiap mencatat pesanan Arka.
Arka tampak berpikir sejenak, kemudian berkata, "Hmm... dua Crispy Katsu Chicken with Curry Delight dan dua Ice Americano."
Siera mengangkat alis, sedikit penasaran. "Untuk dua orang?" tanyanya tanpa sadar. Begitu pertanyaan itu keluar dari mulutnya, ia langsung menyadari kebodohannya. Kenapa juga harus memastikan kalau itu untuk dua orang?
Arka hanya tersenyum kecil, seperti menahan tawa. "Iya, Sie. Untuk dua orang. Buat teman yang pernah ke sini bareng aku," jawabnya dengan nada santai, seolah sengaja menekankan kata "dua orang."
Mendengar jawaban itu, Siera merasa wajahnya mulai memanas. Ia berusaha menutupi rasa malunya dengan mengalihkan pembicaraan. "Oh, untuk Mas Jevian, ya?" tanyanya dengan nada dibuat-buat santai.
Arka langsung mengerutkan kening, menatap Siera dengan ekspresi heran. "Mas?" ulangnya, menekankan kata itu.
"Ya iya, Mas Jevian," balas Siera, tetap berusaha terdengar normal meski dalam hati ia mulai merasa canggung.
Arka menyipitkan matanya, tampak penasaran. "Kok manggilnya Mas?"
Siera menatapnya bingung. "Lah, harus sopan dong kalau sama pelanggan," jawabnya cepat, mencoba mencari alasan logis.
Arka menyeringai, jelas menikmati kebingungan Siera. "Terus, kenapa aku nggak dipanggil Mas?" tanyanya dengan nada serius yang justru terdengar seperti menggoda.
Siera terdiam sejenak, otaknya berputar mencari jawaban yang masuk akal. Namun, semua kata yang muncul di benaknya terasa salah. Akhirnya, ia hanya bisa mengeluarkan gumaman tak jelas sambil menghindari tatapan Arka.
"Hmm… ya... karena…" Siera tergagap, mencari alasan yang masuk akal, tapi pikirannya seolah buntu. Melihat ekspresi Arka yang jelas-jelas menahan tawa, ia segera mencari cara untuk mengalihkan pembicaraan.
"Ahh… udah deh, Ka. Lo mending nunggu di sana dulu buat pesanannya. Di belakang lo nanti ada antriannya," ujarnya cepat, sambil menunjuk ke arah area tunggu dekat meja pengambilan pesanan.
Arka tersenyum kecil, tidak terpengaruh oleh usaha Siera untuk menutup pembicaraan. Dalam hatinya, ia justru menikmati setiap detik interaksi ini. Siera yang salah tingkah seperti ini adalah sisi lain Siera yang sangat lucu dan menggemaskan baginya.
"Kamu masih lucu banget, Sie. Nggak mungkin aku biarin orang lain deket-deket kamu," batinnya, sambil menahan senyum yang hampir saja meluas.
Sebelum beranjak, Arka melirik Siera sekali lagi. "Oh iya, Sie. Nanti ke bandara aku jemput, ya," ucapnya, nadanya ringan tapi cukup tegas untuk menunjukkan bahwa itu bukan sekadar tawaran.
Siera menggeleng cepat, mencoba terdengar yakin. "Nggak usah, Ka. Gue bisa ke sana sendiri kok," jawabnya sambil membereskan struk pesanan yang baru saja selesai dicetak.
Namun, jawaban itu langsung dimentahkan oleh Arka dengan balasan yang lebih santai namun penuh arti. "Kalau bisa bareng aku, kenapa harus sendiri?"