Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 DBAP
Napas Dito dan Nisa kini tersengal-sengal saat mereka bersembunyi di balik tembok sempit di sudut lorong. Dada mereka naik turun, berusaha mengatur ritme setelah berlari sejauh itu. Tubuh mereka begitu dekat, saling berhadapan, dan dada Dito secara refleks melindungi Nisa dari pandangan luar.
Hening sejenak. Hanya suara napas dan degup jantung yang terasa mengisi ruang di antara mereka.
“Cantik…” bisik Dito, nyaris tak terdengar, seolah kata itu terlepas tanpa sadar. Matanya menatap wajah Nisa yang hanya sejengkal darinya, berembun keringat, tapi tetap memikat.
Nisa masih fokus mengintip ke arah lorong, memastikan orang yang mengejarnya sudah benar-benar pergi. Tapi begitu ia menyadari betapa dekat posisi mereka, matanya membulat, lalu buru-buru mendorong tubuh besar Dito menjauh.
“Kamu… nyari kesempatan dalam kesempitan, ya?” tuduhnya cepat, wajahnya bersemu merah, antara kesal dan malu.
Dito terhuyung sedikit ke belakang, mengangkat tangannya seolah membela diri. “Ka—kamu ya! Diliat dari sudut mana aku nyari kesempatan? Ini gang sempit, bukan salahku!”
“Ya tetep aja! Jaga jarak dong, dasar cowok udah salah, gak mau ngaku, malah ngegas!”
Dito menghela napas panjang, menatap Nisa sejenak, lalu bergumam lirih ke dirinya sendiri, “Sabar, Dito… sabar. Untung dia cantik.”
Ia memijit pelipisnya, lalu memutuskan untuk menghentikan debat kecil yang jelas tak akan ia menangkan. “Udahlah. Sekarang jelasin. Kenapa kamu bisa dikejar orang-orang itu? Siapa mereka?”
Nisa berdehem pelan, ekspresinya berubah gugup. “Si—siapa yang dikejar? Kamu kali.”
Dito menyipitkan mata, tidak percaya. “Tadi jelas-jelas kamu yang lari duluan.”
“Aku itu lari karena lihat mereka mau nyerang kamu. Iya, kamu!” Nisa menunjuk ke arah dada Dito dengan yakin, lalu menambahkan cepat, “Tuh kan! Kamu gak peka. Denger ya, kejahatan itu bisa ada di mana aja. Beruntung kamu tadi aku selametin, kalau nggak, mungkin sekarang kamu udah nyasar sampai ke Kamboja!”
Dito terdiam, memandangi Nisa yang bicara cepat seperti sedang menutupi sesuatu. Alisnya terangkat, skeptis. “Kamu pikir aku bodoh?”
Nisa mengangkat bahu, senyum menggoda tersungging di sudut bibirnya. “Bukan bodoh... cuma kurang pintar dikit.”
“Kamu bikin aku darah tinggi aja!” sahut Dito, nada suaranya campuran antara kesal dan tak percaya.
“Perlu aku beliin obatnya?” balas Nisa santai, wajahnya polos tapi penuh sindiran manis.
Dito menghela napas berat. Setiap kali gadis itu bicara, rasanya seperti sedang bermain api. Mulutnya tajam, tapi tatapannya jujur. Dan itu yang paling bikin Dito kewalahan.
“Aku pengen banget bungkam mulut kamu,” gumam Dito pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Senyum licik mulai mengembang di sudut bibir Dito. Ia mendekat selangkah, menatap Nisa dalam-dalam.
“Ka… kamu beneran mau beliin obat?” tanyanya, sengaja memasang ekspresi lugu.
“Enggaklah, aku cuma bercanda!” sahut Nisa cepat, sedikit gugup melihat wajah Dito yang kini makin dekat.
Dito mencondongkan tubuhnya. “Tapi ada pepatah… kalau niat nolong orang, jangan setengah jalan. Kalau nanti orangnya meninggal, biar nggak ngelipir dan ngehantuin kamu.”
Nisa menyipitkan mata. “Pepatah dari mana itu?”
Dito tidak menjawab.
Tatapannya tajam namun hangat. Tiba-tiba, tanpa peringatan, ia menyentuh lembut wajah Nisa dengan satu tangan. Dalam sekejap, ia mencium bibir Nisa—singkat, mendalam, dan penuh dorongan emosi yang selama ini ia tekan.
Nisa membeku. Matanya membulat, jantungnya berdetak tak karuan. Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi cukup untuk membuat dunia terasa berhenti sejenak.
Begitu Dito melepaskan ciuman itu, ia menatap Nisa lekat-lekat. Bibirnya masih setengah terbuka, dan suaranya terdengar berat saat berkata, “Dari bibirku… yang barusan menyatu sama bibirmu.”
Beberapa detik sunyi.
Lalu…
Plakk!
Tamparan Nisa mendarat keras di pipi Dito. Suara tamparan itu menggema di lorong sempit tempat mereka berdiri. Wajah Nisa memerah, entah karena marah, malu, atau keduanya.
“Dasar brengsek!” ucapnya lantang, suaranya bergetar oleh emosi.
Tanpa menunggu balasan, Nisa membalikkan badan dan melangkah cepat pergi meninggalkan Dito.
Dito berdiri diam, pipinya perih tapi wajahnya tak menunjukkan kemarahan. Ia malah menghela napas panjang, lalu berkata pelan pada dirinya sendiri, sambil menahan senyum getir, “Memang… brengsek kamu, Dito.”
***
Hari ini, Naya kembali menjalani pemeriksaan rutin oleh dokter. Namun berbeda dari sebelumnya, kali ini Arsen selalu sigap berada di sisinya—menemani dengan sikap tenang, penuh perhatian, seperti seorang suami sekaligus calon ayah yang siap siaga.
“Bu Naya, sepertinya pemenangnya sudah ketahuan,” goda dr. Meta dengan senyum hangat.
“Maksudnya, Dok?” tanya Naya pelan, masih berbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, mencoba mencari arti dari ucapan dokter tersebut.
Dokter Meta menoleh ke arah Arsen yang berdiri tak jauh dari sana, tangannya terlipat namun matanya tak lepas dari Naya.
“Dokter Arsen itu terkenal dingin sama wanita, padahal banyak yang mendekat. Tapi sekarang, lihat sendiri… setia sekali mendampingi. Ibu Naya ini seperti pemegang medali emas.”
Seketika Naya melirik ke arah Arsen. Ada kehangatan yang menyelinap di dadanya, perasaan yang seharusnya ia tepis… tapi sulit. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, tak ingin terbawa harap.
Arsen, yang samar-samar mendengar ucapan itu, mendekat perlahan. Ekspresinya datar, tapi suaranya terdengar serius.
“Dokter Meta, kalau Anda masih bicara sembarangan, saya tak segan minta pengganti.”
Dokter Meta tersenyum canggung, lalu cepat-cepat kembali fokus pada pemeriksaan. Ia menekan lembut bagian perut Naya.
“Bagaimana? Terasa sakit?”
“Tidak, Dok,” jawab Naya pelan.
“Masih ada darah yang keluar?”
“Sudah tidak ada.”
Dokter Meta mengangguk lega. “Kalau begitu, kondisi Ibu Naya sudah stabil. Saya izinkan pulang hari ini. Tapi di rumah harus tetap bedrest, ya. Dan seminggu lagi datang untuk kontrol.”
Naya mengangguk, matanya sekilas bertemu dengan Arsen—ada rasa asing yang mulai tumbuh, antara nyaman, takut, dan harapan yang berani-berani disangkal.
"Boleh dilepas infusnya sekarang,” ucap Dokter Meta pada perawat yang berdiri di sisi ranjang.
Namun, sebelum perawat sempat bergerak, suara Arsen terdengar mantap. “Tidak perlu. Aku sendiri yang akan melepaskannya.”
Dokter Meta menoleh, hendak protes, tapi hanya bisa menghela napas dan menyerah. “Baiklah,” gumamnya, lalu memberi isyarat pada perawat untuk mundur.
Arsen mengambil tisu antiseptik dan plester. Ia duduk di samping ranjang, matanya menatap lembut ke arah Naya. Gerakannya tenang, berbeda dari sikap dinginnya selama ini.
“Kalau nanti terasa sakit, kamu boleh genggam tanganku sekuat yang kamu mau.”
Naya menatapnya, bingung antara ingin tersenyum atau menangis. Tangannya perlahan terulur, menyambut genggaman itu.
“Paman…” bisiknya lirih, ada getar dalam suaranya.
Arsen menunduk sedikit, suaranya rendah dan hangat. “Jangan banyak berpikir, aku—”
Brakk!
Suara pintu terbuka keras menghentikan kalimatnya.
“Arsen!” suara lantang memecah ruangan. Seorang wanita berdiri di ambang pintu, napasnya memburu, wajahnya tegang.
jangan jangan,jangan deh
double update dong,,, kurang nih