Dia hanya harus menjadi istri boneka.
Bagaimana jika Merilin, gadis yang sudah memendam cintanya pada seseorang selama bertahun-tahun mendapatkan tawaran pernikahan? Dari seseorang yang diam-diam ia cintai.
Hatinya yang awalnya berbunga menjadi porak-poranda saat tahu, siapa laki-laki yang akan menikahinya.
Dia adalah bos dari laki-laki yang ia sukai dalam kesunyian, yang menawarinya pernikahan itu.
Rionald, seorang CEO berhati dingin, yang telah dikhianati dan ditingal menikah oleh kekasihnya, mencari wanita untuk ia nikahi, namun bukan menjadi istri yang ia cintai, karena yang ia butuhkan hanya sebatas boneka yang bisa melakukan apa pun yang ia inginkan.
Akankah Merilin menerima tawaran itu, sebuah kontrak pernikahan yang bisa membantunya melunasi hutang warisan ayahnya, yang bisa membantu pengobatan jangka panjang ibunya, dan memastikan adik laki-lakinya mendapatkan pendidikan terbaik sampai ke universitas.
Bisakah gadis itu mengubur cintanya dan menjadi istri boneka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaSheira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Dunia Harven
Baik apanya gumam Harven. Masih dengan bola mata terpejam. Merasakan kehangatan tangan kakak perempuan yang mengelus kepalanya, adalah kebahagiaan untuknya.
Aku itu hanya menurut dan jadi anak baik di depan Kak Mei tahu, gumamnya lagi.
Harven memang sangat menyayangi Mei. Dia sudah kehilangan kakak laki-laki yang dulu dia idolakan, dan sekarang dia hanya punya Kak Mei.
Pikiran Harven melayang ke ingatan pertemuan pertamanya dengan gadis itu.
Kejadian kala itu, yang membuat Harven harus berurusan dengan penyataan cinta pantang menyerah, seorang gadis cantik dan sebenarnya popular di sekolahnya. Mungkin dia sendiri yang tidak mengenal gadis itu. Karena dia tidak perduli. Dia hanya sekolah karena harus sekolah demi Kak Mei, karena Kak Mei mau dia sekolah makanya dia berangkat sekolah, mengerjakan tugas, mendapatkan nilai baik. Agar kakak perempuannya itu memujinya.
Pagi itu Harven pergi sekolah seperti biasanya. Di tangannya ada sekaleng makanan kucing yang dia beli di minimarket yang dia lalui tadi. Kebiasanya sebelum berangkat ke sekolah adalah memberi makan dua kucing liar di sebuah gang dekat sekolah. Pagi ini pun dia akan melakukannya.
Sial! Gumam Harven saat melihat pemandangan di depannya. Ada seorang siswi yang terlihat memakai seragam seperti yang dia pakai. Sedang terlihat di ganggu oleh empat orang siswa yang terlihat memakai seragam sekolah lain. Kucing yang biasanya dia beri makan sedang meringkuk di sudut dekat tembok, terbaring tidur.
Kenapa kalian berdiri disana, menggangu saja.
Harven tidak mau ikut campur sebenarnya, kenapa karena malas saja. Namun lama-lama dilihat mereka mengesalkan juga, apalagi mereka menggangu tidur kucing yang biasanya jadi temannya. Dia juga jadi tidak bisa memberikan sarapan untuk kucing. Mana sebentar lagi jam pelajaran pertama lagi, gumamnya semakin kesal.
Akhirnya Harven mendekat.
“Hei!” Harven menendang udara di depannya.
Keempat siswa laki-laki langsung menoleh, mereka berubah posisi karena melihat ada yang datang. Menutupi tubuh siswi yang tadi mereka kerubuti dengan posisi melingkar.
“Apa! Bukan urusanmu pergi sana.”
“Jangan menggangu, enyah sana.”
Hardikan keluar lagi dari salah satu yang terlihat seperti pengambil keputusan di antara gerombolan anak lelaki. Harven semakin jengah karena ditunjuk-tunjuk.
Mentang-mentang mereka menang jumlah, mereka sudah jumawa dan pasti menang gitu. Kalau dilihat dari postur tubuh, Harven memang tidak kalah. Namun, jika diukur dari jumlah, dia pasti tumbang.
“Enyah sana!” Teriak salah satu anak lagi mengeram.
Harven tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Karena waktu sudah mepet akhirnya dia bereaksi.
“Hei kau!” Harven menunjuk pada siswi perempuan yang terlihat diantara pungung anak-anak laki-laki yang berdiri di depannya. “Kemari kau!”
Harven tidak mengubris pembicaraan anak laki-laki yang menghardiknya karena ikut campur. Mata Harven tertuju pada gadis itu.
“Sialan! Dia mengacuhkan kita.” Salah satu menyalak marah.
Sementara gadis yang ditunjuk Harven terlihat ragu, melihat ke arah empat laki-laki, tapi kemudian secepat kilat langsung berlari mendekat berdiri di depan Harven.
“Kemana saja kau?” Harven menuding kening gadis itu dengan telunjuknya. “Bawa ini.” Dia melemparkan tasnya yang diterima dengan gelagapan. Lalu gadis yang kebingungan itu di tarik Harven untuk bersembunyi di balik punggungnya. “Kenapa kalian berulah di kawasan sekolah lain?”
Walaupun mereka menang dalam jumlah, tapi saat kata-kata yang diucapkan Harven dengan penuh percaya diri membuat nyali mereka menciut. Apalagi sikap Harven yang seperti kepala geng. Bahkan gadis yang bicara dengan mereka saja dituding-tuding keningnya.
Padahal tadi gadis itu bicara menyalak galak suaranya.
Sebenarnya, tadi gadis yang diganggu itu tidak pasrah-pasrah amat. Dia bicara dengan galak meladeni ke empat siswa laki-laki, namun karena Harven hanya fokus pada kucing, jadi tidak terlalu memperhatikan. Di mata Harven yang terlihat, hanya gadis yang di tindas.
“Pergi sana, atau kupanggil teman-temanku.” Suara dingin Harven terdengar lagi.
Cih, padahal punya teman saja tidak aku.
“Sudahlah, ayo kembali. Awas kau!” Sebelum pergi masih bisa-bisanya menebar ancaman. Hal ini mereka lakukan supaya pergi dengan cara yang tetap terlihat keren. “Cih, padahal cewek itu seperti orang kaya, pasti banyak duitnya.”
Rupanya sedang malak tadi, tapi adegan itu memang luput dari mata Harven. Karena Harven Cuma mikirin memberi sarapan kucing.
Harven hanya mendengus saat mereka menjauh. Namun dia menarik nafas lega, karena keempat orang itu menyingkir dengan sendirinya. Kalau harus berkelahi dengan mereka, bisa dipastikan dia juga bakalan kalah. Apalagi ini lingkungan sekolahnya, kalau sampai dia terpergok guru berkelahi. Kak Mei dipanggil ke sekolah. Habislah dia.
Aku kan sekolah cuma untuk dipuji Kak Mei.
Harven berjongkok di samping kucing, mereka terbangun saat Harven membelai kepala keduanya. Berlomba memberi salam dengan suara kecil. Sambil menggoyangkan kepala di dekat punggung tangan Harven.
“Kalian sudah lapar ya? Nih makanlah.” Harven menuang dalam wadah kecil makanan kucing. Langsung berebut dua kucing itu. Beberapa waktu Harven bermain dengan mereka sebentar. Setelah melihat jam di hp dia terjaga. Bangun dari berjongkoknya kemudian berbalik. Terkejutnya dia gadis yang tadi masih berdiri tidak jauh di depannya.
“Kenapa kau masih disini? Tidak pergi?” Harven melambaikan tangan pada kucing memberi salam perpisahan. Lalu menatap gadis di depannya lagi.
“Tas mu.” Gadis itu menggangkat tas Harven dalam pelukannya. Menyodorkannya pada Harven.
Sial! Aku lupa memberikan tasku tadi padanya.
“Berikan padaku dan pergilah. Jangan lewat sendirian lagi di tempat seperti ini.” Sebenarnya hanya bicara basa-basi, namun mata gadis itu menangkap kata-kata Harven sebagai bentuk kepedulian, membuat gadis itu tersipu. Wajahnya bersemu merah. Sepertinya dia jatuh cinta begitu saja dengan penolongnya.
“Terimakasih sudah menolong tadi.” Terbata dia bicara dengan suara malu-malu.
“Aku tidak menolongmu, kalian menggangu temanku. Aku harus memberinya makan juga.”
Teman kucing yang jauh lebih berharga bagi Harven.
Harven menyambar tas, lalu beranjak berjalan dengan cepat. Gadis itu berlari mengimbangi langkah Harven.
“Harven.”
Eh, kenapa dia mengenalku.
Harven melengos ketika melihat seragamnya, jelas namanya terpampang nyata di bajunya. Gadis itu pasti membacanya dari sana. Dia tidak tertarik menjawab. Gadis itu terus berjalan di sampingnya. Sampai berjalan melompat-lompat karena mengimbangi Langkah besar kaki Harven.
Memasuki gerbang sekolah masih didiamkan oleh Harven. Mengikuti menyusuri koridor, Harven masih diam. Ikut naik tangga begitu pula, Harven masih malas menegurnya. Tapi ketika gadis itu bahkan berdiri di depan pintu kelasnya dia menjadi kesal.
“Kenapa kau mengikutiku?”
“Maaf, tapi ini kelasku juga.”
“Apa?”
“Kita kan satu kelas Ven, terimakasih ya sudah menolongku.”
Hah!
Sekarang Harven yang kebingungan tidak percaya. Ah, dia mendesah lalu ambruk di kursinya, di belakang. Paling pojok dekat jendela. Sudah lama dia tidak menikmati suasana sekolah, membuatnya lupa mengenal wajah teman-teman sekolahnya.
Sejak ayah meninggal, Ketika ibu mulai terbaring di RS. Ketika kakak pertamanya pergi, hanya ada dia dan Merilin. Baginya sekolah hanyalah karena Kak Mei, menuntaskan tanggung jawabnya pada Merilin. Untuk membayar kerja keras kakaknya, untuk dipuji kakaknya. Selain itu dia tidak perduli. Karena selepas sekolah dia akan disibukkan dengan kerja paruh waktu. Higga tak punya waktu sekedar mengingat wajah teman sekolahnya.
Dari semenjak hari itulah, gadis barbola mata lebar, rambut hitam legam dengan tinggi menyamai dirinya itu selalu mengejarnya. Tidak tahu malu menyatakan cinta. Bahkan seisi kelas sudah sadar karena gadis itu mengejarnya secara terang-terangan.
Harven yang terkenal cuek dan tidak perduli sekitarnya, telah menaklukan gadis popular di sekolahnya. Begitulah gosip yang beredar.
"Kak Mei." Dia bangun dari lamunan saat tangan Merilin berhenti membelai kepalanya. Saat dia mendongak, dia melihat kakak perempuannya sudah jatuh tertidur. "Kak Mei capek ya?" Tidak ada sahutan.
Harven bangun, mendorong tempat tidur cadangan. Mengangkat Merilin dan membaringkannya di tempat tidur. Dia menarik selimut.
"Aku akan kuliah, kalau Kak Mei maunya begitu. Terimakasih ya Kak, jangan buang aku, aku akan menurut apa yang Kak Mei katakan." Harven mengusap kepala kakaknya. Lalu dia menguap, dan menjatuhkan diri tidur lagi di sofa.
Bersambung