Ajeng harus pergi dari desa untuk menyembuhkan hatinya yang terluka, sebab calon suaminya harus menikahi sang sepupu karena Elis sudah hamil duluan.
Bibiknya memberi pekerjaan untuk menjadi pengasuh seorang bocah 6 tahun dari keluarga kaya raya di Jakarta.
Ajeng iya iya saja, tidak tahu jika dia adalah pengasuh ke 100 dari bocah licik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 - Berdiri Di Tempat Yang Sama
"Jadi ini? jadi inilah jawaban kenapa sikap Sean berubah?" tanya Reza dengan suaranya yang terdengar begitu dingin, tatapannya pun sangat tajam, seperti langsung menusuk tepat di ulu hati.
Sementara Ajeng sudah menangis, karena memang begitulah kenyataannya.
Sebuah kesepakatan sudah mereka buat, tentang Ajeng yang harus mengantarkan Sean untuk bertemu dengan mamanya dan akan dibalas dengan sikap Sean yang berubah baik.
"Maafkan aku Pa."
"Jangan lancang kamu Jeng! sadar kamu itu cuma pembantu! tidak berhak ikut campur masalah keluarga kami! Sean itu tanggung jawab kami! lalu bagaimana bisa kamu membawanya pada orang lain? Hah!!"
Tubuh Ajeng bergetar mendengar bentakan itu. Dia sadar, sangat sadar jika ini salahnya. Karena itulah Ajeng tak punya pembelaan apapun, dia hanya bisa menunduk dan menangis, meremat kedua tangannya sendiri dan tubuhnya gemetar ketakutan. Dia tak bisa mundur karena tubuhnya membentur dinding.
Sedangkan Reza tak merasa iba sedikitpun dengan apa yang dia lihat. Kemarahan masih menguasai dirinya.
Semua kenangan pahit itu bahkan masih jelas terekam diingatan.
Mona tidak pernah menginginkan Sean. Wanita itu bahkan berniat mengugurkan kandungannya hanya karena saat itu tendernya berhasil. Andai Reza tidak memohon dan bersujud Mona jelas telah menggugurkan anak mereka.
Reza kira sikap itu bisa berubah saat anak mereka lahir, tapi ternyata tidak. Mona semakin menjadi bersamaan dengan bisnisnya yang semakin tinggi. Di hadapan semua keluarga Aditama Mona berteriak tak mau merawat Sean, tak mau menyusui, bahkan menggugat cerai Reza dan tak menginginkan pengasuhan Sean.
Kembali mengingat itu semua, Reza pun mengepalkan kedua tangannya kuat. Saking membuncahnya amarah ini, akhirnya Reza melayangkan sebuah pukulan yang sangat kuat.
Bugh!!
"Akh!" pekik Ajeng, dia menutup matanya menggunakan kedua tangan, sementara Reza meninju dinding tepat di samping kepalanya.
Hingga tangan pria itu terluka dan mengeluarkan darah.
Ajeng semakin menangis, kini dia tak sanggup lagi berdiri dan segera berjongkok menyembunyikan wajahnya.
"Maafkan aku Pa, aku salah," mohon Ajeng sungguh-sungguh, bicara diantara suaranya yang sesenggukan.
"Lihatlah, lihatlah sendiri bagiamana Mona memperlakukan Sean. Jika sampai dia menyakiti anakku, bersiaplah untuk segera keluar dari rumah Aditama."
Dan setelah mengatakan itu, akhirnya Reza pergi begitu saja.
Ajeng menangis.
Ajeng masih menangis.
Dia menangis terus sampai entah berapa lama.
Saat kembali masuk ke dalam apartemen, dia sudah tidak melihat mama Mona dan Sean.
Lampu di ruang tengah pun sudah kembali mati.
Ajeng duduk di sofa, meratapi nasibnya yang begitu malang.
"Buk," lirih Ajeng, dia sungguh merindukan ibunya. Tapi tak mungkin pulang ke desa. Belum ada 2 bulan dia pergi. Pulang pun Ajeng tak akan sanggup berhadapan dengan Erwin dan Elis.
"Ya Allah," gumamnya sendu, terasa besar sekali benda yang mengganjal di hatinya.
Pagi datang.
Hari ini Sean tidak masuk sekolah, bocah itu memutuskan untuk libur, ingin menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya bersama sang mama.
"Sean, panggil mbak Ajeng sayang, kamu harus segera mandi," ucap mama Mona.
"Kenapa harus panggil mbak Ajeng, aku mau mandi bersama mama."
"Mama tidak bisa, mama harus menghubungi klien dulu, kemarin mama tidak masuk kerja karena menunggu kamu datang. Jadi sekarang keluar lah dan panggil mbak Ajeng, ya?"
Sean tertegun.
Dia masih berdiri di tempat yang sama dan melihat sang mama yang sibuk sendiri dengan ponselnya.
Padahal saat ini masih jam 6 pagi.