Dia Bukan Ayah Pengganti

Dia Bukan Ayah Pengganti

Bab 1 DBAP

Naya menatap gelas di hadapannya dengan ragu. Minuman berwarna jingga itu tampak biasa saja, tetapi ada sesuatu yang membuatnya enggan meneguknya. Di seberangnya, Zayan tersenyum lembut, mendorong gelas itu lebih dekat ke arahnya.

"Minumlah, Sayang. Aku hanya ingin kita menikmati malam ini tanpa beban."

Nada suaranya terdengar manis, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang membuat Naya tidak tenang. Ia menggigit bibirnya, hatinya gelisah. Zayan adalah lelaki yang selama ini ia cintai, tapi ada batasan yang tak ingin ia langgar. Ia menarik napas dalam, berusaha mengabaikan perasaan tak nyaman yang merayap di dadanya.

"Aku nggak terlalu haus," katanya, mencoba mengulur waktu. Ia menatap kekasihnya lagi. "Kita keluar saja dari apartemenmu ini, aku nggak nyaman."

Zayan terkekeh pelan, lalu menyentuh punggung tangannya dengan lembut. "Cuma satu tegukan. Aku ingin kamu lebih rileks. Suatu saat ini akan menjadi tempat tinggal kita. Tidak masalah di sini terlebih dahulu. Lagipula aku bosan kita pacaran di tempat umum terus."

"Ta... tapi..."

"Kamu percaya sama aku. Aku gak akan macam-macam. Ayo, minum," potong Zayan.

Naya menatapnya sejenak sebelum perlahan mengangkat gelas itu. Begitu cairan itu melewati tenggorokannya, rasa manis dengan sedikit pahit menyentuh lidahnya. Tidak ada yang mencurigakan, hanya saja beberapa menit kemudian kepalanya mulai terasa ringan. Pandangannya sedikit kabur, tubuhnya pun terasa semakin lemas.

"Ayan... aku merasa aneh..." ucapnya pelan.

Namun, sebelum Zayan bisa menjawab, ponselnya bergetar di atas meja. Ia mengambilnya dengan alis berkerut, lalu membaca nama yang tertera di layar.

Sonya.

Tatapan Zayan berubah, seolah dunia di sekitarnya menghilang. Ia berdiri, menekan tombol jawab, lalu berjalan menjauh, meninggalkan Naya yang kini semakin sulit menjaga keseimbangannya.

Naya melihat punggung Zayan menjauh, mencoba meraihnya, tetapi tubuhnya terlalu lemah. "Ayan, jangan tinggalkan aku sendirian... aku nggak nyaman..."

"Tetap di sini sebentar, aku akan keluar cari obat buat kamu," jawab Zayan tanpa menoleh.

"Ayan, tunggu!" Sayangnya, suaranya hanya tertahan di tenggorokan. Ia membiarkan Zayan pergi, percaya lelaki itu akan kembali seperti janjinya.

Namun, waktu berlalu dan Zayan tak juga kembali. Tubuhnya semakin terasa aneh, dan ia tidak bisa lagi duduk diam. Ia harus pergi dari sini, mencari Zayan.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Naya bangkit, berjalan sempoyongan keluar kamar, lalu masuk ke pintu pertama yang ia temui di lorong Apartemen.

Ia tidak menyadari, kamar itu bukan kamar yang seharusnya ia tuju.

Di dalamnya, seorang pria duduk di tepi ranjang dengan botol minuman di tangannya. Pandangannya kosong, wajahnya memerah karena alkohol yang telah ia habiskan.

"Ayan... kamu kenapa di sini? Aku nungguin kamu..." lirih Naya, pikirannya yang kabur membuatnya yakin lelaki itu adalah Zayan.

Sayangnya, pria dengan wajah tegas dan tubuh menjulang itu bukan Zayan. Dia adalah Arsen Alastair.

Arsen mengangkat wajahnya, matanya sedikit sayu akibat alkohol. Pandangannya kabur, tetapi sosok wanita yang berdiri goyah di hadapannya menarik perhatiannya. Ia mengerjapkan mata, mencoba fokus pada wajah itu.

Naya, yang pikirannya sudah dikuasai efek obat, melangkah mendekat dengan tatapan nanar. Ia masih percaya bahwa pria di hadapannya adalah Zayan. Tubuhnya terasa begitu ringan, seperti melayang, dan nalurinya hanya ingin meraih sesuatu yang terasa familiar.

"Ayan... jangan pergi lagi..." ucapnya dengan suara lemah, tangannya terangkat, berusaha menyentuh pipi Arsen.

Arsen mengernyit samar. Ia bukan tipe pria yang membiarkan orang asing masuk begitu saja ke dalam ruang pribadinya, tetapi di bawah pengaruh alkohol, ia tidak memiliki banyak kendali atas pikirannya. Ia membiarkan tangan Naya menyentuh wajahnya, merasakan kehangatan jemari yang gemetar.

"Apa yang ingin kamu lakukan?" gumamnya, suaranya serak dan berat.

Naya tidak menjawab. Tubuhnya semakin panas, napasnya tersengal. Ia menatap Arsen dengan mata berkabut, mencari kenyamanan yang seharusnya ada di sisi Zayan. Tanpa berpikir panjang, ia mencondongkan tubuhnya, menyandarkan kepalanya ke dada bidang Arsen.

Arsen terdiam, pikirannya yang sudah dipenuhi alkohol tidak mampu berpikir jernih. Wanita di hadapannya meskipun terlihat samar tapi terasa begitu akrab, begitu hangat, dan tubuhnya yang rapuh menggoda sisi maskulinnya yang selama ini selalu ia kendalikan. Tangannya terangkat, tanpa sadar membalas sentuhan itu dengan menangkup pinggang Naya.

"Kamu memprovokasiku, jangan salahkan aku jika nanti setelah sadar kamu menyesal," gumamnya, tetapi ia tidak juga melepaskan wanita itu.

Naya hanya bergumam kecil, tubuhnya semakin melemah, tetapi tangannya tetap menggenggam baju Arsen, seolah takut pria itu akan menghilang. Ia mencari sesuatu—kehangatan, perlindungan, atau mungkin kepastian—tetapi semuanya bercampur menjadi kabut dalam pikirannya.

"Ayan... aku menyerah kali ini. Tolong tanggung jawab setelah ini," ucapnya parau, kata-katanya terdengar samar di telinga Arsen.

Arsen menatapnya lebih dalam. Bibir Naya yang merah muda tampak bergetar, seolah meminta sesuatu yang tidak terucap. Rasa manis bercampur pahit menguar di udara, dan tanpa sadar, Arsen menelan ludah. Ia tahu ini seharusnya dihentikan. Ia tahu harus menarik diri, tetapi tubuhnya bergerak sendiri.

Perlahan, ia menurunkan wajahnya, mendekatkan bibirnya ke puncak kepala Naya, menghirup aroma lembut dari rambutnya. Naya bergerak sedikit, mengangkat wajahnya, dan saat mata mereka bertemu dalam keheningan yang berbahaya, sesuatu di dalam diri mereka runtuh.

Naya adalah orang pertama yang menghapus jarak, bibirnya mencari kehangatan yang ia kira milik Zayan. Arsen, yang seharusnya menolaknya, justru membalas dengan gerakan yang lebih dalam. Ciuman itu awalnya lembut, tapi dengan cepat berubah menjadi penuh gairah, dipenuhi dengan emosi yang membingungkan.

Dalam hitungan detik, semua batasan pudar. Arsen mengangkat tubuh Naya dengan mudah, membawanya ke ranjang tanpa memikirkan konsekuensinya. Napas mereka memburu, ciuman semakin intens, dan sentuhan demi sentuhan menyalakan api yang seharusnya tidak pernah dinyalakan.

Malam itu menjadi saksi dua orang yang seharusnya tidak bersama akhirnya terjebak dalam pusaran hasrat. Tidak ada kata-kata, tidak ada pertimbangan, hanya dua tubuh yang saling mencari kehangatan dalam kebingungan mereka.

***

Pagi itu, Naya menggeliat pelan. Kelopak matanya terasa berat sebelum akhirnya terbuka. Cahaya matahari yang menerobos masuk menusuk pandangannya, membuatnya mengerjapkan mata beberapa kali. Kepalanya masih berdenyut, tubuhnya terasa aneh—seakan bukan miliknya sendiri.

Ia menarik napas dalam, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Namun, begitu ia menoleh ke samping, napasnya langsung tercekat.

Di sana, seorang pria tertidur dengan napas teratur, membelakanginya. Meski tak melihat wajahnya, Naya yakin dari lebar punggung dan postur tubuhnya—itu Zayan.

Jantungnya berdentam keras. Dengan tangan gemetar, ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Dadanya terasa sesak saat menyadari dirinya hanya berbalut kain putih itu.

"A… Aku dan Zayan sudah melakukan ini?"

Pikirannya berputar liar. Prinsip yang selama ini ia jaga selama dua puluh dua tahun—hancur dalam satu malam?

Tubuhnya mulai bergetar. Ia tidak tahu harus bagaimana. Haruskah ia membangunkan Zayan sekarang juga dan meminta pertanggungjawaban? Tapi… bagaimana jika Zayan menolak? Mereka masih terlalu muda. Masa depan mereka bisa berantakan.

Tangannya mengepal. Tidak. Ia tidak bisa menghadapi ini sekarang.

Ia harus pergi. Sekarang juga.

Dengan napas tercekat, Naya bangkit, memunguti pakaian berceceran yang ia kenakan semalam. Dengan satu pemikiran mencari obat pencegah kehamilan.

Ia berjalan cepat menuju pintu, nyaris berlari. Dentuman keras terdengar saat ia menutup pintu di belakangnya—suara yang cukup untuk membangunkan pria yang masih tertidur.

Arsen mengerjapkan mata, masih setengah sadar. Suara pintu yang dibanting membuat dahinya mengernyit. Ia menggeliat pelan, mencoba mengumpulkan kesadaran sebelum akhirnya menoleh ke samping.

Ranjang itu kosong.

Matanya menyusuri kasur yang sudah dingin, seprai yang kusut. Tidak ada jejak kehangatan yang tertinggal di sana. Seolah seseorang telah pergi… terburu-buru.

Jantungnya berdetak lebih cepat saat pandangannya menangkap sesuatu di lantai—sepotong kain tipis.

Namun, bukan hanya itu yang membuatnya tercekat. Setitik darah di seprai.

Arsen terdiam, menatapnya lama.

"Dia pergi begitu saja… setelah menyerahkan mahkotanya?" Suaranya lebih seperti gumaman, nyaris tak percaya.

Perlahan, ia membungkuk dan memungut kain tipis itu. Di sudutnya, tertera bordiran inisial berhuruf latin.

"NS…"

Arsen mengerutkan kening, ibu jarinya mengusap huruf-huruf itu. Dada dan pikirannya terasa sesak.

Siapa dia?

Terpopuler

Comments

LISA

LISA

Aq mampir Kak

2025-04-17

1

mely

mely

lanjut thor

2025-04-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!