Sekuel SEKRETARIS KESAYANGAN
~
Meira pikir, setelah direktur marketing di perusahaan tempat dia bekerja digantikan oleh orang lain, hidupnya bisa aman. Meira tak lagi harus berhadapan dengan lelaki tua yang cerewet dan suka berbicara dengan nada tinggi.
Kabar baik datang, ketika bos baru ternyata masih sangat muda, dan tampan. Tapi kenyataannya, lelaki bernama Darel Arsenio itu lebih menyebalkan, ditambah pelit kata-kata. Sekalinya bicara, pasti menyakitkan. Entah punya masalah hidup apa direktur baru mereka saat ini. Hingga Meira harus melebarkan rasa sabarnya seluas mungkin ketika menghadapinya.
Semakin hari, Meira semakin kewalahan menghadapi sikap El yang cukup aneh dan arogan. Saat mengetahui ternyata El adalah pria single, terlintas ide gila di kepala gadis itu untuk mencoba menggoda bos
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saya belum menyentuhnya sejauh itu
Keadaan canggung dan sangat-sangat membingungkan, di sebuah rumah sederhana milik keluarga Meira. Lima cangkir teh hangat sudah terhidang di atas meja ruang tamu. Meira, Darel dan kedua orang tuanya sudah tiba di sebuah desa di kota Magelang, tempat Meira berasal. Setelah melewati perjalanan udara sekitar satu jam, mereka juga harus menempuh jalan darat sekitar satu jam.
“Jadi, Bu… maksud kedatangan eum—“‘Meira terlihat bingung untuk menjelaskan.
“Iya, ibu tau kamu bakalan pulang. Tapi, nggak nyangka kalau kita akan kedatangan tamu, Nak. maaf ya Pak… Bu, nggak ada hidangan spesial.” ucap Bu Arum dengan ramah pada Inayah dan Ibra.
“Nggak apa-apa, Bu. Santai aja, kedatangan kami juga mendadak. Jadi, ibu nggak perlu menyiapkan apapun,” sahut Inayah tak kalah ramah.
“Perkenalkan saya Ibra, dan ini istri saya Inayah. maksud kedatangan kami, adalah untuk melamar Meira, anak ibu untuk menjadi menantu kami.” kali ini Ibra yang bersuara.
“Melamar? jadi menantu?” tanya Bu Arum yang agak bingung dan tak percaya.
Sementara Darel sedang duduk di teras rumah Meira, sambil menikmati pemandangan hamparan sawah. Suasana sejuk dan tenangnya desa seperti ini memang sangat langka di dapat di kota besar, baru pertama datang ke sini, Darel sudah menyukai tempat ini. Lelaki itu juga menganggap kampung Meira bisa menjadi tempat yang cocok untuknya sesekali melepas penat dari sibuknya kota metropolitan.
“Assalamualaikum…” terdengar suara seorang gadis, dari balik pagar, masih mengenakan seragam sekolah putih abu-abu. “Mas ini, siapa?!” itu adalah Laras, saudara kandung Meira satu-satunya.
“Waalakimusalam.” Bu Arum langsung menyambut Laras agar tak terlalu banyak pertanyaan. “Jangan bilang itu orang yang mau ngelamar Mbak Meira lagi, Bu. Tapi, kalau Masnya seganteng itu, boleh dipertimbangkan.” celetuk Laras, namun langsung di hentikan oleh ibunya.
“Kamu masuk ke kamar, ya. Ibu dan Mbak lagi kedatangan tamu.” tegas Bu Arum, mengarahkan Laras untuk tak ikut nimbrung di ruang tamu.
“Maaf Pak, Bu, itu adik saya memang rada-rada…” Meira merasa tidak enak langsung meminta maaf.
“Nggak apa-apa, Meira,” sahut Ibra.
Darel yang saat itu mendengar ucapan sekilas dari adiknya Meira, dia menyimpulkan bahwa, sudah ada beberapa orang yang datang melamar Meira, selain dirinya. Benarkah gadis itu sepopuler itu di desa ini?
“Assalamualaikum, Ehm, begini Bu...” sudah puas menikmati pemandangan luar, Darel akhirnya masuk, dia tak mau bertele-tele lagi, sebelum ada lelaki lain yang lebih cepat darinya.
“Perkenalkan, saya Darel Arsenio, ini bunda saya dan ini, ayah saya. Saya adalah atasan Meira di tempatnya bekerja, dan Meira adalah sekretaris saya. Maksud kedatangan kami ke sini adalah, untuk melamar Meira jika ibu mengizinkan, tapi saya tegaskan, ibu harus mengizinkan karena nasib keluarga ini, akan ada di tangan kam—“
“Aduh, ayah, sakit!” keluh Darel, Ibra menginjak kakinya saat ucapan Darel mulai tak terarah, memalukan, terkesan sombong dan kali ini Ibra membenarkan bahwa putra semata wayangnya itu memang kurang akhlak, seperti yang pernah dikatakan Meira.
“Saya masih bingung, karena ini terlalu mendadak.” sahut Bu Arum, lalu menatap tajam ke Meira. “Meira, kamu tau kan, kalau kamu udah di tunggu seseorang, di kampung ini?” tanya Bu Arum tanpa ragu.
“Nah justru itu, Bu… Mas Darel, mau menikahi Mei dan sekaligus membantu kita untuk melunasi utang. Mei udah menceritakan semuanya dengan Mas Darel, dan dia bersedia membantu,” jelas Meira.
“Dengan cara menikahi kamu?” sahut Bu Arum cepat. “Apa sebelumnya kalian memang menjalin hubungan?” bu Arum bertanya lagi.
“Eum—“
“Iya Bu, kami berpacaran, udah lumayan lama,” sahut Darel, dia harus bertindak cepat karena meragukan jawaban Meira. “Saya juga mendengar dari Meira, kalau dia nggak melunasi utang tersebut, dia harus bersedia dinikahi dengan anak yang meminjankan uang, kan Bu? saya nggak mungkin melepaskan pacar saya begitu aja, ke orang lain, Bu.”
Bu Arum mengangguk singkat. “Tapi Meira nggak pernah cerita kalau dia punya pacar, dan selama ini yang saya tau, atasannya itu orang yang jauh lebih tua.”
“Pak Darel ini, bos barunya Mei Bu, yang kama udah meninggal,” sahut Meira. Wajah sang ibu tetap terlihat bingung.
“Saya sebagai bundanya Darel, nggak mau kalau nantinya anak saya terjerumus dalam dosa. Mereka sama-sama masih muda, anak ibu cantik, begitu juga dengan anak saya, lihatlah bagaimana tampannya…” Inayah menjelaskan dengan nadanya yang sedikit angkuh, terlalu membanggakan anak kesayangannya.
“Intinya saya takut, anak saya tergoda dengan pesonanya anak ibu—“
“Tapi, anak saya bukan penggoda, meskipun dia sangat cantik, iya kan Mei?” Bu Arum tak mau kalah, juga memuji anaknya. Dia juga agak tak terima, dengan pernyataan Inayah barusan yang menyebutkan seolah-olah Meira menggoda.
“Bukan begitu Bu, maksudnya. Jadi begini…” Ibra mulai mengambil alih saat dia merasa obrolan ini semakin tak jelas arahnya.
“Mereka kan ke depannya akan sering bersama-sama, dan saya pastikan akan selalu bersama-sama, meski untuk urusan pekerjaan. Bukankah lebih baik kalau mereka sudah terikat suatu hubungan yang halal? Saya tau Meira gadis baik-baik, maka dari itu saya nggak ragu lagi, jika anak saya menikahinya.” tegas Ibra, pernyataannya kini lebih terdengar masuk akal.
“Begitu, ya?” Bu Arum menatap sang anak, lalu pandanganya turun ke perut, entah mengapa dia mendadak mencurigai sesuatu. “Mei, ibu tanya sama kamu, kamu nggak hamil atau—“
“Ya Allah, Bu! enggak!” tegas Meira dengan suara yang agak tinggi.
Bukan tanpa sebab, ibu menuduhnya seperti itu. Selama ini, bahkan ibunya sendiri tidak tahu kehidupan Meira di kota besar itu seperti apa, meski Meira selalu mengabari setiap hari tentang kegiatannya.
“Tenang aja, Bu. Saya belum menyentuh Meira sejauh itu,” ucap Darel tanpa rasa berdosa.
“Loh, jadi sejauh mana kamu menyentuh anak saya?!” tatapan tajam Bu Arum menjurus pada Darel.
“Aduh, Bu… bukan begitu, Mas Darel salah bicara.” sangkal Meira, dia cukup geram dengan Darel, yang memperkeruh keadaan.
“Begini Bu, saya nggak mau bertele-tele, tolong lancarkan aja niat baik ini. Bukankah niat baik itu nggak bagus kalau ditunda-tunda? berapapun mahar yang ibu inginkan, akan kami penuhi. Satu milyar? dua milyar? atau lebih?” Inayah kembali berbicara, serta melontarkan pertanyaan soal mahar yang tak tanggung-tanggung hingga membuat Meira dan ibunya tercengang.
😱😱😱