Aruna, namanya. Gadis biasa yatim-piatu yang tidak tau darimana asal usulnya, gadis biasa yang baru memulai hidup sendiri setelah keluar dari panti asuhan di usianya yang menginjak 16 tahun hingga kini usianya sudah 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua puluh delapan
Semua berjalan dengan semestinya, Aruna di bawah pulang oleh Arjun ke rumahnya, diambil kembali dari Tama, Arjun berpikir ini sudah benar adanya, membawa pulang Aruna ke rumahnya, di sana Aruna akan aman di urus dirinya dan sang mama. Dia tidak mau Aruna kembali di sakiti bila perempuan itu masih ditinggal bersama dengan Tama.
Seminggu sudah berlalu, dan kini Aruna tampak lebih bahagia, wajahnya tidak murung lagi seperti bulan-bulan kemarin saat masih tinggal bersama Tama di apartemen, senyumnya sudah seperti dulu lagi saat-saat Aruna masih bekerja, nafsu makannya juga semakin bertambah.
"Makan apa itu? Kelihatannya kamu lahap sekali makannya. " tanya Arjun, dirinya baru balik pulang dari cafe.
"Gak tau, tapi ini enak banget, tulisannya di sini kayak huruf China gitu. " Aruna menunjukkan bungkusan makanan pada Arjun yang sudah duduk di sampingnya.
"Enak banget ya? Mas, senang lihat kamu kembali bahagia kayak begini. " Arjun mengelus lembut pucuk kepala Aruna di sayangnya. "Kamu lanjut makannya, mas ke kamar dulu mau mandi. "
Aruna mengangguk-anggukan kepalanya, membiarkan Arjun beranjak dari tempatnya menuju kamar laki-laki itu. Aruna kembali sibuk makan sambil menonton film, sedang asik-asik nya. Bunyi suara notifikasi dari ponselnya membuatnya mengalihkan perhatian pada benda pipih itu, dahinya mengernyit saat beberapa pesan masuk dari nomor tidak di kenalinya.
+62 638––
Aruna, maaf mengganggu waktu istirahat kamu.
Ini aku, Alana.
Bisa kita bertemu besok?
Aku mohon.
Me
Di mana?
+62–
Cafe dekat sekolah, kamu tau?
Me
Bisa kamu sharelock tempatnya?
+62–
Nanti aku kirimkan.
_________
Aruna menghembuskan nafasnya pelan, sebenernya dia enggan untuk menemui Alana, dia takut nanti melukai perasaan perempuan itu lagi, Aruna tidak suka melihat mantan Tama itu menangis di hadapannya seperti tempo lalu di depan Yo-mart, Aruna menyimpan snack dimakannya tadi di atas meja, sudah tidak berselera lagi untuk menikmatinya.
'Ting'
Notifikasi masuk kembali berbunyi, Aruna kembali membuka ponselnya dan ternyata Alana yang mengirimkan alamat cafe yang akan keduanya datangi besok.
"Jangan melamun, awas kemasukan mbak kunti nanti. Sana masuk kamar, istirahat. Mama tadi mas lihat udah tidur duluan, kamu lagi hamil sekarang, gak baik tidur terlalu kemalaman. " ujar Arjun mengagetkan Aruna yang sibuk melamun, dia membalikkan kepalanya menatap Arjun yang berkacak pinggang.
"Malah bengong, sama masuk ke kamar, tidur. " katanya lagi.
"Iya iya, marah-marah mulu ih. "
Arjun cuman menggelengkan kepalanya melihat tingkah Aruna yang mengomel, dengan tubuh yang tidak selincah dulu. Aruna beranjak dari sofa dan melangkah pelan menuju kamarnya.
Melihat pintu kamar sang mama sudah tertutup dengan rapat, Arjun mematikan televisi yang masih menyala, setelahnya kembali masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat.
•••••••••
Keesokan harinya, tepat pukul sembilan pagi. Aruna sudah siap untuk menemui Alana di cafe yang sudah di janjikan mereka semalam. Menghembuskan nafas panjang terlebih dahulu, setelahnya Aruna berlalu keluar kamar, ada Aretha yang tengah duduk santai di ruang keluarga sontak melirik Aruna yang keluar dari kamar dengan penampilan yang begitu rapi.
"Cantik banget penampilan kamu hari ini, mau kemana? " Aretha yang tadinya sibuk membaca majalah, menyimpan benda tersebut dan tatapannya berpusat pada Aruna yang melangkah semakin dekat padanya.
"Keluar sebentar, ma. Mau ketemu teman sekolah. " jawab Aruna, melirik sebentar pada ponselnya yang menyela- mendapatkan satu pesan masuk dari Alana yang mengatakan bahwa perempuan itu sudah berada di cafe dan tengah menunggunya.
"Kamu pergi sendiri? Mau mama anterin? "
"Gak usah, ma. Aku udah pesan taksi online tadi, ini taksinya udah dateng nunggu di depan. " Aruna menunjukkan aplikasi taksi online pada Aretha, membuat wanita baya itu mengangguk mengerti.
"Nanti pulang jam berapa? " tanyanya kembali pada Aruna.
"Paling siang jam sebelas atau jam dua belas kalau jalanan gak macet nanti. "
"Yaudah, kamu hati-hati ya di jalan, kalau ada apa-apa tinggal telepon mama atau mas Arjun aja nanti. "
Aruna mengangguk mengerti sebagai jawaban, dia menyalami tangan Aretha dan pamit pergi menyusul taksi online di depan pagar rumah.
•••••••
Aruna tersenyum simpul saat dirinya baru masuk ke dalam cafe dan mendapati Alana yang terlihat melambaikan tangannya ke atas padanya, dengan langkah pelan karena perut besarnya. Aruna melangkah mendekat pada Alana dengan senyum tipis yang masih terpantri di bibirnya.
"Kamu udah lama nunggunya? Maaf ya aku datang telat, tadi ada macet dikit di jalan. "
"Enggak, papa. Aku juga tadi ada bertemu sebentar sama teman. " Alana tersenyum tipis pada Aruna yang sudah duduk di kursi di depannya dengan perasaan lega.
"Kamu mau pesan apa? Maaf tadi aku gak ikut pesanin kamu minum atau makan, soalnya aku gak tau kamu sukanya apa. "
Aruna sontak menggeleng kepalanya, menolak. "Gak usah pesanin, aku tadi udah sarapan di rumah, jadi sekarang masih kenyang. "
Alana mengangguk sambil menyesap minumannya, hingga beberapa saat hanya kesunyian yang melanda keduanya, sampai akhirnya Aruna mengangkat kepalanya untuk menatap Alana.
"Kamu mau bicara apa, Alana? "
Alana menatap wajah Aruna, cukup lama perempuan itu terdiam melamun hingga akhirnya membuka suara. "Aku dengar kamu masuk ke rumah sakit ya, setelah kejadian di Yo-mart? "
"Aku minta maaf, itu semua salah aku. "
Aruna menatap dalam wajah Alana yang terlihat bersalah, "Kenapa kamu minta maaf? Itu bukan sama sekali salah kamu, Alana. "
"Gak! Itu salah aku, kamu masuk rumah sakit karena ngelihat aku sama Tama, kamu salah paham. Kita sekarang udah gak ada hubungan apapun, kejadian itu aku cuman–
–Ini bukan salah kamu, Alana. Emang aku nya aja yang baperan, tolong berhenti untuk terus menyalahkan diri kamu sendiri. " ujar Aruna dengan wajah sendu, ingatannya kembali pada kecerobohannya yang membuat bayinya hampir saja menghilang dari muka bumi.
Alana menunduk, dia menatap hampa pada gelas minumannya beberapa saat sebelum mengangkat kepalanya untuk menatap Aruna.
"Aku juga ingin pamit sama kamu. "
"Hah? Pamit? " kaget Aruna dengan wajah bingungnya.
Alana mengangguk terbata-bata, "Ya, aku cuman mau pindah tempat kuliah aja, di kota tempat nenek aku tinggal. "
Aruna menatap Alana diam, masih kaget. "Kamu kuliah disini baru juga seminggu, kenapa mau pindah begitu saja? Apa karena aku? " ujarnya dengan menatap Alana dengan tatapan tidak percaya.
Alana tiba-tiba saja memegang erat kedua tangan Aruna di atas meja, "Kamu baik-baik aja ya sama, Tama. Dia pasti perlahan akan membuka hati buat kamu, Tama orangnya memang cuek tapi aku bisa jamin dia juga orangnya sangat penyayang. "
Aruna terdiam, tidak bisa berkata-kata, dia hanya menatap wajah Alana dengan raut sendu miliknya. Tama orangnya penyayang? Iya, Aruna juga tau itu. Tama memang menyayangi kepada orang-orang yang laki-laki itu sayangi, dan Aruna tau itu bahwa dirinya tidak termasuk.
"Alana.... "
"Aruna." Alana memotong ucapan Aruna, dia menatap dengan tatapan serius pada Aruna, lalu kemudian kepalanya menggeleng. "Aku gak akan bisa kalau aku terus-terusan di sini, aku mau move on dari, Tama. Jujur, aku sakit hati bila masih terus berada di sekitar dengan Tama, aku juga mau bahagia. " lanjutnya dengan mata memerah, menandakan bahwa bagaimana sakit hati yang dirasakan selama ini atas penghiatan Tama.
Bahagia? Aruna di sini juga ingin bahagia, mereka sama-sama terluka atas apa yang terjadi, posisi keduanya sama-sama sulit, tidak ada yang ingin egois dan semuanya ingin mengalah karena takut menyakiti hati satu sama lain.
"Tapi kenapa harus pergi? Move on gak harus kamu pergi jauh sampai segini nya, yang terpenting gimana niat kamu, Alana. Aku juga gak bisa selamanya bersama Tama, karena dihatinya cuman ada nama kamu. "
"Justru itu aku harus pergi jauh dari Tama, Aruna. Biar kita berdua bisa sama-sama move on, kalau aku di sini terus, aku gak yakin kalau aku bakal kuat menghadapi ini semua. Melihat keberadaan Tama terus di kampus, di kelas, aku gak akan kuat. "
"Maaf, karena aku. Kamu harus pergi jauh kayak gini, maaf, Alana. " Aruna membalas menggenggam tangan Alana dengan erat, dia teramat bersalah kepada perempuan baik seperti Alana. Andai saja malam kelam itu tidak terjadi, mungkin saja Alana dan Tama tidak akan mengalami hal rumit seperti sekarang ini.
Alana sendiri menggelengkan kuat kepalanya, menyangkal semua perkataan Aruna barusan, bukan. Semua ini, bukan semerta-merta salah Aruna, bila ingin menyalahkan. Tama lah seharusnya merasakan bersalah, karena semua hal yang terjadi kini karena ulah laki-laki itu.
"Hari ini aku bakal pergi, makanya aku ingin bertemu dan pamit pergi sama kamu, aku mohon. Jangan berpisah dengan Tama, Aruna. Semoga kamu selalu bahagia bersama keluarga kecil kamu yang sekarang, kamu sehat-sehat ya dengan dedek bayi di kandungan kamu, aku pamit pergi. " Alana bangun dari duduknya, dengan senyum simpul. Dia melambaikan tangannya sebagai tanda berpisah kepada Aruna yang menatap kepergiannya dengan tatapan sendu dan bersalah.
"Semoga kelak kamu bahagia dengan pasangan kamu yang akan datang, Alana. " gumam Aruna lirih, pipinya sudah terbanjir air mata melihat kepergian Alana.
•
•
•