Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.
Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Dua hari setelah perang besar di Amlapura, Pasukan Aliansi bersama masyarakat segera melakukan ritual kremasi bagi para korban yang gugur di medan pertempuran. Jumlah korban yang begitu banyak membuat prosesi ini memakan waktu hingga berjam-jam. Ritual kremasi, yang dikenal sebagai upacara ngaben, dimulai sejak fajar menyingsing dan baru berakhir ketika matahari mulai merangkak turun di ufuk barat.
Abu sisa pembakaran kemudian dihanyutkan ke laut, sebagai tanda bahwa upacara telah selesai dilaksanakan. Suasana hening menyelimuti pantai saat pasukan Aliansi dan masyarakat Amlapura melantunkan doa-doa penghormatan terakhir. Matahari terbenam memancarkan cahaya keemasan, seolah memberikan restu kepada arwah-arwah yang telah pergi.
Setelah seluruh prosesi selesai dilakukan, Aryandra berdiri di tepi pantai dengan mata yang menatap lautan lepas. Pandangannya yang kosong dipenuhi dengan campuran emosi yang tak bisa diungkapkan. Ada kelegaan karena perang saudara yang panjang akhirnya berakhir, namun ada juga kesedihan mendalam karena kemenangan ini tidak diraih dengan cara yang ia impikan.
Aryandra membayangkan sebuah kemenangan tanpa pertumpahan darah, di mana seluruh warga Bali bisa menyatukan pikiran dan hati mereka untuk menegakkan kembali perdamaian yang telah lama hilang. Namun sayangnya, kenyataan berkehendak lain.
Dengan langkah yang pelan, Indra berjalan mendekat ke arah Aryandra untuk memecah lamunannya. "Aryandra." Panggil Indra datar.
Aryandra tersentak, lalu segera menoleh Indra yang sudah berdiri tepat di sampingnya. "Ada apa, Ndra?" Tanyanya sambil menyunggingkan senyuman hangat dengan tergesa-gesa.
Indra kemudian menghela napas sebelum menjawab. "Orang-orang di belakangku ini ingin menanyakan kepastian nasib mereka kepadamu." Jawab Indra sambil menoleh ke arah sekumpulan masyarakat Amlapura yang berdiri dengan wajah penuh kecemasan sekaligus harapan.
Aryandra mengalihkan pandangannya ke arah kerumunan orang itu. Mereka adalah sisa-sisa kehidupan yang porak-poranda akibat perang, terdiri dari mantan budak Ashura, prajurit Karangasem yang selamat, serta warga biasa yang baru saja keluar dari persembunyian mereka. Wajah orang-orang itu penuh dengan harap-harap cemas, seolah nasib mereka berada pada genggaman Aryandra.
"Bagaimana, Aryandra?" Tanya Indra mewakilkan suara hati mereka.
Aryandra menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah maju dengan perlahan. Ia berdiri di hadapan masyarakat Amlapura, seolah mencoba untuk menenangkan kegelisahan mereka.
Dengan senyuman lembut yang menyejukkan, Aryandra pun mulai berbicara. "Kalian semua bebas untuk menjalani kehidupan masing-masing. Silahkan kelola wilayah Karangasem dengan baik dan bangun kembali apa yang telah hancur akibat perang." Ujarnya dengan nada yang menenangkan.
Mendengar perkataan Aryandra, masyarakat Amlapura perlahan memperlihatkan ekspresi wajah yang lebih hidup. Senyuman penuh kebahagiaan dan kelegaan tersungging di bibir mereka secara bertahap. Mereka pun saling berbisik satu sama lain dengan suara lirih yang penuh rasa syukur.
"Namun, ingatlah satu hal ini." Tambah Aryandra tiba-tiba memotong desas-desus kegembiraan masyarakat Amlapura. "Kebebasan ini harus dijaga dengan tidak merugikan sesama. Jangan sampai kebebasan yang kalian dapatkan ini memicu sebuah perang lagi di waktu yang akan datang."
Ia berhenti sejenak untuk memastikan setiap kata yang diucapkannya meresap ke dalam hati mereka. "Aku berjanji akan menegakkan sebuah sumpah perdamaian yang akan diamanatkan oleh seluruh masyarakat Bali. Aku yakin dengan menegakkan sumpah itu sebagai hukum yang baru, perang saudara seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi kedepannya!" Ujar Aryandra menunjukkan ambisi mulia yang membara.
Suasana hening sejenak, solah waktu telah berhenti berputar. Kemudian, satu per satu warga Amlapura perlahan menyunggingkan senyumannya kembali. Rasa lega dan haru tiba-tiba menyebar seperti gelombang besar. Beberapa orang terlihat menitikkan air mata, sementara yang lain saling memandang dengan penuh syukur.
Seluruh masyarakat Amlapura kemudian menatap Aryandra sambil menyuarakan namanya dengan keras. "Aryandra! Aryandra!" Sorak-sorai mereka yang penuh kebahagiaan menggema di sepanjang bibir pantai.
Pasukan Aliansi pun ikut tersenyum karena merasa bahwa seluruh pengorbanan mereka selama empat tahun terakhir akhirnya berbuah manis. Tirani Ashura yang kejam telah tumbang, digantikan dengan benih kedamaian yang mulai tumbuh di tanah Karangasem.
...***...
Keesokan paginya, Indra menemui Aryandra di tendanya saat fajar baru saja menyingsing. Udara pagi yang dingin terasa membekukan perkemahan, dibalut dengan kabut tipis yang masih menyelimuti seisi kota. Setelah bertukar sapa singkat, Indra mengajak Aryandra untuk menikmati matahari terbit di tepi pantai.
Mereka berdua melangkah pelan untuk menikmati suasana pagi yang diiringi deburan ombak serta nyanyian kawanan burung yang merdu. Setelah menaiki sebuah batu besar di bibir pantai, mereka duduk berdampingan untuk menatap pemandangan laut yang memantulkan cahaya keemasan matahari pagi. Mereka membawa beberapa buah kentang rebus dan sebotol air hangat sebagai santapan sederhana untuk mengawali hari.
Setelah beberapa menit menikmati ketenangan ini, Aryandra kemudian memecah kesunyian dengan menyampaikan rasa penasarannya. "Lalu, apa yang ingin kau bicarakan, Ndra?" Tanyanya sambil menyeruput air hangat.
Indra lalu mengangkat jari telunjuknya untuk meminta Aryandra menunggu sebentar sambil menyelesaikan kunyahan kentang terakhir di mulutnya. Setelah meneguk air hangat, Indra menarik napas dalam-dalam, seolah memberi kesempatan makanannya untuk turun ke lambung terlebih dahulu.
"Kita akan membuat sebuah sumpah yang akan menegakkan kembali kedamaian di Bali, kan?" Tanya Indra hanya untuk memastikan. "Berkaitan dengan hal itu, ada satu hal yang mengganjal di pikiranku." Ujarnya sambil membersihkan tangan dari noda-noda sisa makanan. Aryandra lalu mengangguk sebagai sinyal kepada Indra untuk melanjutkan.
"Apa kau yakin semua orang di Bali akan menaati sumpah ini?" Tanya Indra dengan nada yang mengandung sedikit keraguan.
Mendengar pertanyaan itu, wajah Aryandra tiba-tiba berubah menjadi serius. Ia tahu betul bahwa menegakkan sebuah hukum baru bukanlah suatu perkara yang mudah. Sama seperti Indra, Aryandra sadar bahwa tidak semua wilayah akan menerima perubahan secara sukarela, apalagi setelah terjadinya perang saudara dengan segala kehancurannya.
"Aku tidak bisa menjamin semua orang akan menaatinya." Jawab Aryandra perlahan dengan tatapan mata yang kuat. "Tapi, aku akan mempertaruhkan segala hal yang kupunya untuk menyebarkan sumpah ini demi mengembalikan kedamaian di tanah kelahiran kita."
Indra mengalihkan pandangannya ke laut, dimana ombak sedang sibuk bergulung untuk memecah pantai. Cahaya matahari pagi memantul di permukaan air, menciptakan kilauan yang memesona. Namun, segala keindahan itu tidak bisa dinikmati oleh Indra karena pikirannya sibuk memprediksi segala kemungkinan buruk yang akan terjadi di masa depan.
"Seperti yang pernah kukatakan," ujar Indra dengan nada berat, sambil menghela nafas, "di masa-masa krisis, seperti musim dingin berkepanjangan ini, insting bertahan hidup manusia bisa mengubah kita menjadi hewan liar. Tidak peduli sekuat atau semulia apapun aturannya, mereka pasti akan melanggarnya jika berada dalam situasi yang mendesak."
Aryandra meneguk kembali air hangatnya sambil ikut memandangi indahnya lautan di pagi hari. "Aku tahu." Jawabnya singkat.
Indra menghembuskan napasnya lagi, kemudian menoleh Aryandra dengan tatapan yang lebih dalam. "Aryandra, kau tahu sendiri kalau Buleleng menjadi lemah setelah terjadinya kerusuhan besar di tahun pertama musim dingin, kan?" Tanyanya dengan nada serius. Aryandra kemudian mengangguk tegas, sebagai tanda bahwa ia mengingat sejarah kelam yang pernah diceritakan oleh Indra.
Indra kemudian berdiri, lalu mengulurkan tangannya ke arah Aryandra. "Kalau begitu, berjanjilah kalau kau akan membantu kami di saat Buleleng berada dalam bahaya." Pinta Indra dengan tatapan mata yang sungguh-sungguh. "Kau perlu tahu kalau jumlah Pasukan Monasphatika nggak terlalu banyak, Aryandra. Itu lah kenapa, aku meminta bantuanmu jika nantinya wilayah kami berada di posisi yang terancam." Tambahnya berterus terang.
Aryandra tersenyum hangat, lalu menjabat tangan Indra dengan erat. Ia kemudian berdiri dengan wajah yang dipenuhi oleh tekad dan ketulusan. "Baiklah!" Ujarnya tegas dan penuh semangat. "Aku berjanji, kapanpun Buleleng berada dalam bahaya, pasukan Badung dan Aliansi akan turun untuk membantu kalian!"
Indra tersenyum lega setelah mendengar janji Aryandra yang begitu tulus. Di dalam hatinya, ia merasa bersyukur karena memiliki sekutu yang siap membantu, terlepas dari apa yang pernah terjadi di masa lalu.
Setelah beberapa saat, Indra kemudian mengambil botol minumnya dan melompat turun dari batu besar itu. "Ayo, sebentar lagi kita harus menyusun sumpah itu bersama yang lain, kan?" Ajaknya dengan penuh semangat yang terpancar dari suaranya.
Aryandra tersenyum melihat antusiasme yang ditunjukkan oleh sahabatnya. Ia pun melompat turun untuk menyusul Indra yang berjalan perlahan, seolah sedang menunggunya. "Baiklah, Ayo kita temui mereka!" Ujarnya penuh semangat, sambil berjalan berdampingan.
...***...
Sebuah kereta kuda khas wilayah Bangli berhenti tepat di depan bangunan besar yang dulunya menjadi tempat penampungan budak. Bangunan yang pernah menyaksikan kekejaman Ashura dalam memperlakukan orang-orangnya, kini dipilih sebagai lokasi untuk menyusun sebuah hukum baru bagi Pulau Bali.
Dua sosok penuh wibawa yang turun dari kereta kuda itu adalah Aditya dan Sekar. Mereka hadir sebagai perwakilan wilayah Bangli untuk ikut serta dalam perumusan landasan hukum baru yang akan mengatur seluruh masyarakat Bali.
Tak lama setelah mereka turun, sebuah kereta kuda lain datang dari arah selatan. Bendera putih dengan border berwarna kuning terlihat berkibar di sudut atapnya, menandakan bahwa kereta itu berasal dari Gianyar. Setelah kereta itu berhenti tepat di samping Aditya dan Sekar, turunlah seorang lelaki jangkung dengan rambut klimis. Ia adalah Wibisana, sang pemimpin wilayah Gianyar.
"Wah, kau memang selalu tepat waktu, ya. Itu salah satu kelebihanmu, sih." Sapa Aditya dengan senyuman ramah.
Wibisana tertawa ringan. "Hahaha, begitulah. Aku nggak suka bikin orang lain nunggu." Balasnya dengan wajah berseri.
Ia kemudian melangkah mendekati Sekar, lalu menyapanya dengan hangat. "Lama tidak bertemu, Sekar. Aku senang melihatmu baik-baik saja."
"Senang bertemu denganmu juga, Wibisana." Balas Sekar sambil tersenyum. "Dilihat-lihat, lukamu kelihatannya lebih parah daripada adikku, ya?" Tanyanya dengan penuh kepedulian.
Aditya kemudian menjawab pertanyaan kakaknya dengan nada yang penuh canda. "Yah, itu gara-gara dia nekat melawan ratusan prajurit Karangasem sendirian. Biasa lah, berlagak sok keren."
Mereka bertiga tertawa mendengar guyonan Aditya, hingga berhasil menambah suasana keceriaan di pagi hari.
Aditya kemudian menghentikan tawanya dengan menghela napas panjang. "Baiklah, mari kita masuk. Yang lainnya pasti udah nunggu di dalam." Ajak Aditya sambil melangkah menuju pintu bangunan.
"Oke, ayo kita masuk!" Sahut Sekar dengan semangat.
Ketiganya berjalan memasuki bangunan besar itu, dimana para pemimpin dan perwakilan dari berbagai wilayah di Bali telah berkumpul bersama.
Saat pintu terbuka, suasana ramai langsung menyambut mereka. Di dalam ruangan yang luas itu, pasukan Monasphatika, pasukan Badung, pasukan Bangli, dan masyarakat Amlapura telah duduk membentuk lingkaran yang rapi. Para panglima seperti Luthfi, Kiara, dan Alex juga terlihat sudah berada di sana.
Kiara, yang duduk tepat di sebelah Luthfi, kemudian berdiri untuk menyambut mereka. "Akhirnya kalian datang juga. Mari, duduk bersama kami!" Ujarnya dengan suara ramah dan penuh kehangatan. Aditya, Sekar, dan Wibisana pun mengangguk, lalu mengambil tempat di lingkaran paling dalam yang memang diperuntukkan khusus bagi para petinggi wilayah.
Sekar kebetulan mendapatkan tempat duduk di sebelah Kiara. Ia lalu menatap panglima perempuan itu dengan mata yang penuh perhatian. "Kiara, bagaimana keadaan lukamu sekarang?" Tanyanya dengan nada yang menunjukkan kepedulian.
Kiara tersenyum lebar, meski harus menahan rasa sakit yang menggerogoti perutnya. "Yah, masih terasa nyeri, sih, sampai-sampai aku harus dibantu oleh Devi dan Handayani kalau mau jalan. Tapi, aku yakin luka ini pasti sembuh dalam waktu dekat. Makasih, ya, udah nanya." Jawabnya dengan wajah yang tetap ceria.
"Hahaha, senang mendengarnya!" Balas Sekar, sambil tertawa hangat.
Sekar kemudian melirik sekeliling ruangan dengan seksama. Ia lalu menyadari bahwa dua sosok penting di antara mereka belum terlihat sama sekali. "Kiara, ngomong-ngomong, di mana Indra dan Aryandra?" Tanyanya penasaran.
Kiara mendengus kesal sebelum menjawab pertanyaan itu. "Indra bilang kalau dia ingin membicarakan sesuatu dengan Aryandra di pinggir pantai. Tapi, sampai sekarang, mereka belum juga kembali. Emang ngeselin banget!" Keluhnya dengan ekspresi yang menunjukkan sedikit rasa kesal.
Sekar terkekeh melihat reaksi Kiara. Namun, tak lama kemudian, suara langkah kaki dan sapaan Indra yang bersemangat tiba-tiba memecah keheningan. "Selamat pagi, semuanya! Kelihatannya semua orang udah berkumpul, ya!" Ujar Indra dengan wajah berseri.
"Cih, akhirnya datang juga." Gumam Kiara sambil melirik sinis ke arah mereka.
Indra dan Aryandra segera mengambil tempat di lingkaran yang paling dalam, sebagai pimpinan tertinggi dari pasukan Monasphatika dan pasukan Badung. Aryandra kemudian memandang sekeliling ruangan dengan senyum penuh wibawa yang kuat.
Tanpa basa-basi lagi, ia pun langsung memulai sidangnya. "Baiklah, mari kita mulai!"