Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 - Pindah Saja
Di dalam situasinya baru saja tenang, tanpa mereka ketahui jika di luar kini beberapa orang yang tak lain tetangga kost Nadin tengah mencuri dengar dari depan pintu kamar.
"Anjani, kamu yakin si Nadin nangis? Buktinya diem gini nangis apanya?" Bu Sarmila kembali menempelkan telinganya tepat di depan pintu, sejak awal datang memang dia tidak mendengar isak tangis seperti yang dikatakan anak kost-nya ini.
"Ibuk ... sumpah demi Tuhan tadi memang Anjani dengar sendiri, Nadin nangis kayak dicekek, terus barusan Nadin juga bilang 'perih, Mas' gitu, Bu." Anjani yang yakin betul jika dirinya tidak salah dengar terus berusaha meyakinkan Bu Sarmila, karena memang begitu adanya yang dia dengar.
"Huft, apa mungkin disiksa ya sampai begitu?" sahut Mona yang juga sama-sama mendengar jeritan tangis Nadin beberapa saat lalu.
"Ini lagi macem-macem!! Zain itu kakak kandungnya, Mona!! Ya kali disiksa begitu," ucap Bu Sarmila begitu pelan, hampir berbisik lantaran takut ketahuan.
"Kakak kandungnya dari mana? Pak RT bilang Zain itu suaminya, Bu Sarmila!!" sanggah Mona tak mau kalah, sebal sekali rasanya lantaran Bu Sarmila justru terus berpihak pada pelakunya.
Mendengar kesaksian tersebut, mata Bu Sarmila membola lalu membenturkan kepala kedua gadis itu. "Dasar donghok!! Jadi yang kalian maksud itu tangisan pengantin baru?!"
"I-iya? Kenapa memangnya?"
"Aduh!! Ini anak perawan dua boddohnya luar biasa!! Ayo pergi dari sini!! Tidak sopan tahu tidak." Tidak ingin terjerumus begitu dalam, Bu Sarmila segera menarik kedua gadis itu berlalu lantaran khawatir pemilik wajah sangar itu marah nantinya.
Sudah pasti keduanya bingung, mereka yang menjadi saksi sekeras apa tangisan Nadin tetap enggan pergi dari tempat itu. "Loh, Bu? Kasihan Nadin dong!! Bantuin gimana sih?"
"Kalian yang perlu dikasihani, ayo cepat pergi!" ajak Bu Sarmila sekali lagi, berharap sebelum penghuni kost keluar dia sudah pergi karena tidak ingin kena getahnya nanti.
"Buk, sudah berapa banyak kasus kriminal di negara kita ... apa ibu tidak takut Nadin jadi salah-satu korbannya? Kalau sampai Nadin kenapa-kenapa, nama ibu jadi jel_"
"Ehem!!"
Bersamaan dengan suara pintu yang terbuka, seorang pria tampan dengan wajah datar itu muncul hingga membuat celotehan Anjani terhenti. Dia mengerjap pelan seraya memandangi Mona dan Bu Sarmila bergantian, jelas saja meminta bantuan lantaran takut dengan tatapan tajam suami tetangga kost-nya.
"Apa kalian tidak punya pekerjaan lain sampai berisik di depan kamar orang lain?" Tanpa peduli siapa yang kini berdiri di hadapannya, Zain melontarkan pertanyaan semacam itu dengan tatapan tak bersahabatnya.
Secara personal, dia memang belum berkenalan dengan pemilik kost. Hanya mendengar sekilas tentang kebaikannya saja, berbeda dengan Bu Sarmila yang sudah mengenal sosok Zain berkat bakat curi-curi pandang dan mewawancari Nadin secara paksa, itu juga informasi yang didapat salah.
Sungguh dirinya terkejut begitu mendapati sikap Zain. Tidak hanya ketus dan juga dingin, tapi tatapannya pun seolah tengah berusaha menekan mental lawan bicaranya.
Sampai-sampai, Bu Sarmila yang biasanya disegani juga ikut takut pada Zain. "Aduh, maaf kalau ganggu ... anak-anak ini bilang dengar suara tangisan dari kamar ini, makanya kami pastikan siapa tahu ada yang tidak beres."
"Tidak ada yang tidak beres, semua baik-baik saja ... pergilah, kami butuh istirahat dan bisikan kalian itu sangat mengganggu, paham?"
Ketiganya mengangguk mengerti, tanpa menunggu pengusiran kedua kali, mereka berlalu pergi. Sudah pasti dengan langkah terbirit-birit dan saling menyalahkan, terlihat jelas dari tingkah mereka yang saling pukul hingga Zain hanya menggeleng pelan.
"Dasar orang-orang aneh ... lingkungan ini sangat tidak sehat." Zain mengomel, sungguh dia merasa terganggu dengan kehadiran tiga orang yang tak jelas itu.
Begitu masuk, Zain kembali naik ke atas tempat tidur demi melanjutkan pengobatan yang tadi sempat tertunda. Sungguh mengganggu sekali, jika saja bukan karena sang istri, bisa dipastikan Zain akan lebih kasar lagi.
.
.
"Siapa, Mas?"
"Entahlah, tiga orang aneh yang kerjaannya ngintip-ngintip ... aku tidak tahu siapa mereka," jawab Zain tak begitu peduli.
Dia sengaja tidak bertanya, dan kebetulan mereka tidak mengenalkan diri hingga dan ya, Zain tidak ingin tahu sama sekali sebenarnya. "Perempuan?"
Berbeda dengan Zain, Nadin justru sebaliknya, jelas saja dia sangat amat penasaran. Nadin memang sempat mendengar, tapi tak begitu paham karena yang bicara tidak hanya satu orang.
"Hm perempuan, tiga ... satunya lebih tua, mungkin ibunya."
Nadin mengangguk mengerti, tapi petunjuk dari Zain tidak membuatnya puas dan tak membayar rasa penasarannya. "Lalu yang duanya?"
"Masih kecil, mungkin seumuran denganmu ... muka mereka tidak terlalu jelas, putih persis makhluk astral, hanya mata dan bibirnya saja yang kelihatan."
Jika tadi Nadin masih bingung, untuk petunjuk yang kali ini dia berhasil menemukan titik terang. Ya, ciri-ciri yang disebutkan Zain mengarah pada tetangga Kost-nya yang amat peduli dengan kesehatan kulit wajahnya, Anjani dan juga Mona.
"Aku tidak tahu namanya siapa, tidak kenalan juga."
"Tapi seingatku Mona dan Anjani sendirian, orang tua mereka di Jember, Mas."
"Mana kutahu, yang jelas ada ibu-ibu pakai roll di rambutnya, make-up tebal, terus bawa-bawa kipas padahal malam hari ... hahaha!! Tetanggamu stres semua." Membayangkannya justru membuat Zain tergelak, penampilan wanita yang tadi benar-benar lucu baginya.
Sayang, Nadin tidak bisa masuk dalam rumor Zain hingga dia terdiam dengan suasana hati yang tak karu-karuan begitu mendengar penjelasan lengkap sang suami. Seketika dunia Nadin runtuh, padahal pria itu sampai keluar air mata lantaran tertawa.
Zain yang sadar akan hal itu, segera mengatupkan bibirnya. Dia mengerjap pelan dan bingung kenapa sang istri mendadak cengok persis ayam masuk angin. "Kamu kenapa? Ini lucu padahal, jarang-jarang aku sampai tertawa seperti ini."
"Lucu banget ya?"
"Hm, sangat-sangat lucu ... pasti dia sangat terkenal di kampungnya. Iya 'kan?"
"Itu Bu Sarmila."
"Sar-sar apa?" Tawa Zain sontak berhenti detik itu juga. Nama itu familiar di telinganya, pernah dengar sekaligus, pernah baca juga di meteran dekat pintu. "Sarmila ya?" tanya Zain memastikan lagi, berharap sekali jika dirinya salah dengar kali ini.
Tanpa banyak bicara lagi, Zain mengajak sang istri tidur segera dengan alasan sudah begitu larut. Padahal, saat ini dia tengah merutuki diri sendiri yang tak sopan pada pemilik kost, sungguh hati Zain ditakdirkan tidak akan bisa tenang sama sekali.
"Sayang." Tiga kali, Nadin selalu menghitung panggilannya, dan kali ini bukan di ujung kalimat.
Tak segera menyahut, Nadin masih gugup, terlebih kala pria itu kembali mendekapnya padahal keadaan sudah baik-baik saja. "Eum, kenapa, Mas?"
"Kita pindah saja mau ya?"
"Pi-pindah?"
.
.
- To Be Continued -