••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: Flashback Malam itu.
FYI: Jika mungkin ada yang bingung dengan flashback ini .. Ini flashback lanjutan di malam saat Raya akan mengakhiri hidupnya, yang pernah di tulis di bab 13: Aku bukan pelacur..
Semoga bisa paham sama alur yang author buat ya, Happy reading (•‿•).
•••
"Ya Tuhan, akhirnya kita sampai juga. Mama sudah tidak sabar mau bertemu dengan nya!" ujar Liu dengan antusias, wajahnya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru mendapatkan hadiah. Sementara itu, Cantika hanya diam sambil menatap sekeliling rumah dengan ekspresi ragu.
"Kenapa rumahnya sepi sekali, Ma? Bukannya ini rumah yang Mama berikan pada Kak Raya?" tanya Cantika, nada bingung terdengar jelas dalam suaranya. Dia melirik halaman depan yang kosong melompong, bahkan tak terlihat satu pun tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
"Iya, tentu saja. Mama tidak akan salah. Mama sendiri yang memilih dan membayar rumah ini!" jawab Liu penuh keyakinan, tangannya memegang erat tas tangan, seolah itu memberikan tambahan rasa percaya dirinya.
"Tapi, rumahnya kelihatan kosong. Apa dia tidak ada di rumah, Ma?" tanya Cantika lagi, kali ini suaranya lebih lirih, seolah mencoba menebak-nebak situasi. Dia memperhatikan jendela-jendela rumah yang tertutup rapat, tanpa ada tirai yang bergerak sedikit pun.
~~ FLASHBACK ON ~~
"Tolong maafkan aku, Tuhan... Maafkan aku yang menyerah secepat ini. Bukan karena aku tidak percaya pada-Mu, tapi aku sungguh tidak sanggup lagi..." ucap Raya dengan suara serak, tubuhnya bergetar hebat di bawah terpaan angin malam.
Dia berdiri di ujung pembatas jembatan, memandang ke bawah jurang yang gelap dan cukup berbatu. Dari atas, tanah di bawah terlihat curam, penuh bebatuan tajam dan semak belukar yang menyembunyikan kedalaman sebenarnya. Pikiran Raya semakin dipenuhi oleh kegelapan. Baginya, penderitaan ini sudah terlalu lama menjeratnya, dan hanya dengan mengakhiri segalanya dia merasa bisa lepas dari semua rasa sakit ini.
"Ibu... Ayah..." gumamnya lirih, sambil memejamkan mata. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat.
"Aku pamit... Aku tahu kehadiranku tidak pernah kalian inginkan. Semoga... dengan aku pergi, kalian akhirnya bisa hidup tanpa merasa terbebani olehku lagi..."
Raya membuka kedua tangannya, tubuhnya sedikit condong ke depan. Angin malam menerpa wajahnya, dingin menusuk hingga ke tulang. Raya mengangkat satu kakinya, lalu yang lainnya, hingga kini dia berdiri di sisi terluar pembatas jembatan. Angin terasa semakin kencang, seolah mencoba menarik tubuhnya untuk jatuh ke bawah. Dengan mata tertutup, dia menarik napas panjang untuk terakhir kalinya, seolah mengucapkan selamat tinggal pada dunia yang telah begitu kejam padanya selama ini.
"HEYYYYYYY..........!"
Teriak Liu keras dari dalam mobil. Dia sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah bersama dengan Cantika, namun tiba-tiba saja mereka terkejut saat melihat seorang wanita melompat dari atas jembatan.
Suasana yang semula tenang seketika berubah kacau. Liu terkejut dan tanpa berpikir panjang, dia langsung meminta sopir untuk berhenti dan mengecek kejadian itu bersama Cantika. Matanya tak lepas dari wanita yang terjatuh, dan kepanikan mulai menyelimuti dirinya.
Dan ternyata, benar saja. Di bawah sana, seorang wanita terbaring telungkup di dasar jembatan. Pemandangan itu membuat Liu semakin cemas. Dengan cepat, dia mengarahkan sopirnya untuk meminta bantuan warga sekitar.
Tak lama, beberapa orang berdatangan. Ada yang mencoba membantu, namun tak sedikit yang hanya berdiri dan menonton dari kejauhan.
"Bawa masuk ke mobil saya! Dia harus segera dibawa ke rumah sakit!" teriak Liu dengan nada panik, berusaha tetap tenang meski perasaan cemas menghimpitnya. Salah satu warga yang ikut membantu mengangkat tubuh wanita itu menoleh padanya.
"Apa yang terjadi, Nyonya?" tanyanya.
"Saya tidak tahu. Saat saya lewat di sini, saya melihat dia menjatuhkan dirinya dari atas jembatan," jawab Liu jujur, matanya memeriksa wanita yang kini terbaring tak bergerak.
Meskipun pada awalnya wajah wanita itu tertutup bercak darah dan tanah, entah mengapa hati nurani Liu tergerak untuk menolongnya. Ada sesuatu dalam diri wanita ini yang membuat Liu merasa bahwa dia tak boleh meninggalkan begitu saja.
Liu memang sudah terbiasa membantu dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Tanpa merasa keberatan, ia sering kali memberikan pekerjaan kepada mereka yang ia tolong, berusaha memberi mereka kesempatan untuk hidup lebih baik. Citra dirinya sebagai menantu keluarga Sudradjat sangat baik di mata orang-orang, namun yang lebih penting, semua yang ia lakukan tidak dilakukan karena mencari pengakuan. Ia memang selalu berusaha tulus, dengan niat baik, tanpa pamrih.
Perjalanan dari tempat kejadian menuju rumah sakit terdekat memakan waktu lebih dari satu jam. Daerah sekitar itu memang masih terkesan seperti perkampungan tradisional, meskipun lokasinya berada di tengah ibu kota yang sudah maju. Pembangunan yang pesat di sekitar tidak membuat desa tersebut berubah banyak, sehingga rumah sakit terdekat pun berada cukup jauh. Jalanan yang sempit, rumah-rumah kecil yang saling berdempetan, dan banyaknya pepohonan besar di sepanjang jalan membuat perjalanan terasa lebih lama. Jalanan tanah yang belum sepenuhnya dibeton juga menambah tantangan tersendiri.
Di dalam mobil, suasana terasa hening. Liu yang duduk di kursi belakang terus menatap ke luar jendela, matanya tak pernah lepas dari jalanan yang terlewat begitu saja. Wajahnya tampak cemas, pikirannya sibuk, namun ia tetap tenang. Sesekali, ia memandang sosok wanita yang tak sadar kan diri di pangkuan nya. Bukan hanya Liu saja tapi wajah Cantika juga terlihat cemas, bibirnya terkatup rapat. Tidak ada percakapan di antara mereka, hanya suara mesin mobil dan deru angin yang menyusup melalui celah jendela.
Di luar mobil, suasana malam semakin larut, namun lampu-lampu kota yang jauh tampak seperti titik-titik kecil yang menerangi kegelapan. Meskipun jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kejadian, Liu merasa setiap detik yang berlalu sangat berharga. Ia berdoa dalam hati, berharap wanita yang mereka bantu segera mendapatkan pertolongan yang tepat.
“Cepatlah, Pak… Bagaimana jika nyawanya tidak tertolong?” ujar Liu dengan nada tegas, matanya menatap cemas ke arah wanita yang terbaring lemah di pangkuannya. Posisi mereka kini berada di kursi belakang mobil, dan Cantika duduk di depan dengan wajah tegang.
“Iya, baiklah, Nyonya,” jawab sopir dengan cepat, mencoba menambah laju mobilnya, menghindari jalanan yang semakin padat.
“Ma, kenapa harus kita yang menolongnya sih? Nanti, kalau nyawanya tidak tertolong, itu bisa jadi masalah bagi kita,” ujar Cantika, suaranya cemas. Pikirannya langsung melayang pada reputasi keluarganya.
“Dia butuh pertolongan, Cantika. Kita tidak bisa membiarkan orang yang membutuhkan bantuan kita begitu saja,” jawab Liu, berusaha tetap tenang. Dia tahu betul apa yang harus dilakukan, meskipun hatinya dihimpit perasaan gelisah yang semakin mendalam.
“Tapi, Mama…” Cantika ingin menyuarakan pendapatnya, namun kalimatnya terhenti ketika Liu menatap tajam, memberi isyarat untuk diam.
“Bisa diam, Cantika? Jangan memperkeruh suasana,” ujar Liu dengan nada yang cukup keras, membuat Cantika terdiam, matanya menunduk.
“Jalanannya sedikit macet, Nyonya, mungkin karena ini waktunya orang-orang pulang dari kantor,” ujar sang sopir dengan suara pelan, berusaha menjelaskan situasi yang terjadi.
“Ya tuhan, bagaimana ini?” ujar Liu, matanya penuh kekhawatiran. Tangannya terus memegang wanita dengan erat, seolah-olah itu bisa memberinya kekuatan. Dalam pikirannya, ia terus berdoa agar mereka bisa sampai ke rumah sakit tepat waktu. Tidak ada waktu untuk panik, namun pikirannya dipenuhi rasa takut. Jika mereka terlambat, dia takut jika nyawa wanita ini akan melayang begitu saja.
Bukan hanya karena reputasi keluarga yang bisa tercoreng, seperti yang dikatakan Cantika. Itu bukan masalah utama baginya. Yang lebih penting adalah, Liu merasa bertanggung jawab atas nyawa orang yang berada di pangkuannya. Tidak ada yang lebih menakutkan baginya selain perasaan bersalah jika mereka tidak bisa menyelamatkan seseorang yang sedang membutuhkan bantuan mereka.
Drtttttttt... Drtttttttt.... Drtttttttt....
Ponsel Liu berdering terus-menerus dari dalam tasnya. Liu yang tengah memangku Raya tidak bisa mengangkat panggilan tersebut. Selain tangan yang penuh darah, ia juga merasa tidak leluasa bergerak. Mau tak mau, ia harus meminta tolong pada putrinya untuk mengangkat panggilan yang terus berdering itu.
“Cantik! Angkat teleponnya, Mama tidak bisa memegang ponsel!” ujar Liu dengan nada panik, matanya tak lepas dari wajah wanita yang terbaring lemah di pangkuannya.
Cantika langsung merangkak ke belakang, meraih tas ibunya yang tergeletak di sampingnya. Setelah sedikit kesulitan, akhirnya ponsel itu berhasil digenggamnya.
“Ini dari Papa, Ma!” ujar Cantika, sedikit terkejut ketika melihat nama ayahnya muncul di layar ponsel.
“Angkat saja,” ujar Liu, nadanya tegas meski suaranya terdengar sedikit cemas.
Cantika menatap ponsel itu dalam diam. Meskipun dia adalah putri kesayangan ayahnya, tak bisa dipungkiri bahwa dia selalu merasa segan untuk mengangkat panggilan dari ponsel ibu nya jika yang menelpon adalah ayahnya. Terlebih, dulu pernah sekali ia mengangkat telepon dari ponsel sang ibu dan ayahnya langsung memarahinya karena dianggap lancang.
Cantika menatap layar ponsel, ragu-ragu. Namun, tanpa ia sadari, nada dering itu akhirnya berakhir begitu saja karena dia terlalu lama terdiam. Waktu yang berharga kini terbuang begitu saja.
“Sayang, ada apa? Kenapa tidak diangkat?” ujar Liu dengan nada lembut, meskipun matanya tetap fokus pada Raya yang terbaring lemah di pangkuannya. Liu memang bukan wanita pemarah, kecuali jika orang lain sudah melampaui batas kesabaran.
“Maaf, Mama. Aku terpikirkan sesuatu,” jawab Cantika, suaranya terdengar agak terbata-bata. Namun tak lama, ponsel Liu yang ada di tangan Cantika kembali berdering, dan itu dari nomor yang sama, yaitu nomor ayahnya.
“Angkat, sayang! Mama mengizinkanmu,” ujar Liu lagi dengan nada lebih lembut, dia tahu betul jika putrinya itu sering merasa segan untuk berbicara dengan ayahnya Jika sedang dalam keadaan serius.
“Hallo... Yatuhan, kenapa lama sekali menjawab telepon dariku, sayang? Kau tahu aku khawatir!” suara Rudianto terdengar di ujung sana, penuh kekhawatiran.
“Papa, ini Cantik!” ujar Cantika setelah sang ayah selesai berbicara.
“Loh, kok kamu? Di mana Mama?” tanya Rudianto, bingung dengan suara yang tak biasa terdengar di ponsel itu.
“Ada kok, pah. Mama ada di belakang, dia sedang membantu seseorang yang ingin bunuh diri,” ujar Cantika, suara sedikit berat dengan penjelasan yang tak mudah.
“ Hahh?....I don't quite get it, can you explain it in more detail? " Hahh....Papa nggak paham, bisa jelaskan dengan lebih rinci?,” ujar Rudianto, suaranya penuh kebingungan.
“Jadi gini, Pa, saat perjalanan pulang menuju rumah, Mama tidak sengaja melihat ada wanita seusiaku, mungkin beda beberapa tahun saja. Dia dengan sengaja ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat dari jembatan. Mama orang pertama yang lihat itu dan langsung berteriak, minta sopir untuk berhenti, tapi sayang, waktu kita keluar dari mobil, wanita itu sudah melompat. Mama minta bantuan warga sekitar untuk bantu angkat tubuhnya, biar bisa dibawa ke rumah sakit. Nah, itu cerita lengkapnya,” Cantika menjelaskan panjang lebar.
“Lalu di mana kalian sekarang?” tanya Rudianto, suara pria itu terdengar khawatir dan cemas.
“Aku akan pergi ke rumah sakit terdekat dulu, sayang. Kamu jangan khawatir,” ujar Liu tiba-tiba menyela pembicaraan antara putrinya dan suaminya itu.
“Aisshh... selalu begini, sayang. Kenapa tidak pernah pikir-pikir dulu sebelum bertindak?” suara Rudianto terdengar frustasi di seberang sana, jelas-jelas dia cemas dengan keputusan yang diambil Liu.
“Aku tidak apa-apa, setelah selesai aku langsung pulang,” ujar Liu dengan suara tenang, mencoba meredakan kegelisahan suaminya.
“Baiklah, hati-hati! Ingat, jangan pernah terluka demi aku. Langsung telepon aku kalau ada apa-apa atau butuh bantuan, mengerti?” suara Rudianto terdengar lebih lembut, meski masih ada ketegangan di dalamnya.
“Iya... Tenang saja, aku bersama Cantik kok. Ya sudah, aku matikan teleponnya ya!” ujar Liu, mencoba menenangkan dirinya sendiri juga.
“Baiklah... pulanglah dengan selamat, aku menunggu kamu,” jawab Rudianto di ujung sana, nada suaranya lebih tenang.
“Iya... matikan teleponnya, Cantik!” titah Liu pada putrinya, matanya kini fokus pada kondisi wanita yang semakin lemah. Cantika langsung mematikan telepon, seperti yang diperintahkan ibunya. Ponsel itu kini kembali terdiam, meninggalkan ketegangan di udara yang masih terasa mencekam.
Setelah perjalanan panjang yang terasa sangat menegangkan, akhirnya mobil yang ditumpangi Liu sampai di rumah sakit yang cukup besar di daerah itu. Memang tidak sebesar dan semewah rumah sakit yang biasa dia kelola, tapi yang terpenting kini adalah keselamatan wanita yang ada di pangkuannya.
Liu dan Cantika turun dari mobil dengan cepat, sementara wanita itu digendong oleh Pak Azis, sopir keluarga mereka, karena memang keduanya tidak sanggup menggendong tubuh wanita yang tak sadarkan diri.
Setelah menunggu lebih dari satu jam, akhirnya dokter yang menangani wanita keluar dari ruang perawatan dan menghampiri mereka dengan langkah tegap. Wajah dokter itu tampak lelah, tapi tetap profesional.
" Keluarga pasien?" tanya dokter itu, matanya berpindah dari Liu ke Cantika, lalu kembali ke Liu.
Liu langsung maju, mewakili keluarganya untuk mendengarkan penjelasan sang dokter.
" Saya yang bertanggung jawab atas wanita ini," jawab Liu, suaranya penuh ketegasan dan kecemasan.
" Ah, baiklah, nyonya, sebagai informasi awal kondisi pasien kini telah stabil, " dokter itu mengangguk, menatap Liu dengan penuh perhatian.
"Sungguh, apa tidak ada masalah lain ?," tanya Liu, matanya tak lepas menatap dokter itu, penuh harap. Dokter itu menghela napas panjang, sejenak menimbang-nimbang sebelum menjawab.
"Sebenarnya ini keajaiban, nyonya. Pasien ini mengalami luka serius di beberapa bagian tubuh—dada atas, lengan, paha depan kiri, dan yang paling parah di bagian kepala. Biasanya, dalam kasus seperti ini, korban akan langsung koma—beberapa jam, bahkan ada yang berhari-hari. Ada juga yang kehilangan nyawa. Namun, pasien ini cukup kuat. Dia hanya pingsan karena syok dan kehilangan darah cukup banyak, tapi kalau dilihat dari kondisi vitalnya, dia stabil, " ujar sang dokter mejelaskan dengan detail, dan Liu merasa lega, napasnya sedikit melonggar.
"Syukurlah... Apakah kami bisa melihatnya sekarang, dok?, " tanya Liu lagi.
"Tentu, nyonya, para suster akan segera memindahkan pasien ke ruang inap. Kami akan memonitor kondisinya lebih lanjut. Mohon tunggu sebentar," jawab dokter itu.
"Terima kasih, dokter, untuk kamar perawatan, tolong siapkan yang VIP, yang hanya bisa dikunjungi oleh kami saja," ujar Liu, suaranya lebih tenang sekarang.
"Baik, nyonya. Saya akan pastikan semuanya sesuai permintaan, kalau begitu, saya permisi," jawab sang dokter, memberi senyum kecil sebelum melangkah mundur.
Dokter itu meninggalkan mereka, menyisakan Liu dan Cantika dalam keheningan. Di tengah suasana yang tenang namun penuh ketegangan, mereka hanya bisa saling bertukar pandang sambil menunggu kabar lebih lanjut. Setelah beberapa saat, seorang perawat muncul untuk mengantarkan mereka menuju ruang rawat inap di mana Raya telah dipindahkan.
Saat memasuki ruangan, Liu berhenti di ambang pintu. Tatapannya langsung tertuju pada wanita yang kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Perasaan terkejut menyelimuti dirinya ketika menyadari bahwa wajah itu terasa tidak asing. Sebelumnya, wajah Raya sulit dikenali karena berlumuran darah dan tanah, tetapi sekarang ia tahu pasti siapa yang sedang terbaring di hadapannya.
Liu mendekat perlahan, sementara Cantika tetap duduk di sofa dekat jendela dengan ekspresi canggung. Ia merasa tidak nyaman berada di ruangan ini, tetapi tetap memilih untuk tidak ikut campur, karena dia tidak ingin berdebat dengan sang ibu.
“Halo... Raya?” sapa Liu lembut, mencoba memecah suasana hening. Raya, yang tampak melamun sambil menatap langit-langit, perlahan mengalihkan pandangannya ke arah suara itu. Namun, ia tidak mengatakan apa pun, hanya menatap Liu dengan sorot mata kosong.
“Apa yang kamu rasakan saat ini? Apa sudah membaik?” tanya Liu, berbasa-basi dengan pertanyaan yang terasa standar, tapi bermaksud baik.
“Kenapa malah menolongku?” tanyanya dingin, tanpa sedikit pun nada terima kasih dalam suaranya. Liu terdiam sejenak, mencoba merangkai kata yang tepat.
“Karena Tuhan belum mengizinkanmu meninggalkan dunia ini,” jawabnya dengan penuh ketulusan, duduk di kursi yang berada di sisi ranjang Raya.
“Seharusnya Anda tidak menolongku. Aku ingin mati saja. Aku tidak mau lagi hidup di dunia yang sangat kejam dan menyebalkan ini. Aku benci pada semua orang yang ada di sekitarku.” ujar Raya dengan suara parau, pandangannya kembali lurus ke depan. Liu memandangi Raya dengan tatapan yang penuh rasa prihatin.
“Dunia memang seperti itu, menyebalkan dan sering kali tidak adil, kan? Tapi pernahkah kamu berpikir, jika kamu pergi dari dunia ini, apakah orang-orang di sekitarmu tidak akan merasa kehilangan? Pikirkan tentang orang tua dan keluargamu yang telah mengurus mu selama ini, " tanya Liu . Berusaha menjelaskan titik logis kehidupan pada Raya.
“Menangis untuk apa? Keluargaku justru akan tertawa jika melihat aku terluka dan akan bersedih saat melihatku bahagia. Tidak seharusnya Anda menyelamatkanku, Nyonya. Mungkin jika anda tidak menolongku, aku sudah tenang di alam baru, " ucap Raya sembari terkekeh kecil, tapi tanpa tanda bahagia. Kata-kata itu membuat Liu tertegun. Ia merasa ada sesuatu yang begitu berat di balik nada dingin Raya.
“Apa yang kamu katakan? Tidak mungkin ada orang tua seperti itu,” ujar Liu, nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Raya menghela napas panjang. Kali ini ia menatap Liu, matanya penuh kepedihan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
“Ya, Nyonya. Ini memang terdengar seperti dongeng. Orang tua mana yang memiliki sifat seperti keluargaku? Tapi itulah kenyataannya. Anda percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Seharusnya Anda tidak menolongku.” Liu mencoba tetap tenang, meski dalam hatinya ia merasa terpukul.
“Benarkah begitu?” tanyanya, nadanya kini lebih lembut, hampir seperti seorang ibu yang mencoba menghibur anaknya.
Raya tidak menjawab. Ia menunduk, menatap tangan kirinya yang terpasang jarum infus. Liu hanya bisa menghela napas panjang, sementara Cantika yang sejak tadi diam memilih tetap duduk tanpa ikut campur dalam percakapan tersebut, merasa situasinya sudah cukup rumit tanpa tambahannya.
Suasana kembali sunyi, hanya diisi dengan suara alat medis yang menunjukkan detak jantung Raya. Liu tahu, tidak mudah menyentuh hati seorang wanita yang terluka seperti ini, tetapi ia bertekad untuk mencoba.
“Mau ikut dengan Tante?” tanyanya pelan, suaranya terdengar lembut, namun tegas. Raya tetap tidak bergeming, hanya memandang ke arah lain seolah tak peduli. Namun Liu tidak menyerah. Ia melanjutkan kalimatnya, mencoba membujuk gadis itu.
“Bukan ke rumah Tante, tapi Tante akan mengajakmu ke tempat yang kamu mau. Kamu ingin hidup sendiri, kan? Hidup tenang?” ujar Liu lagi. Kali ini, Raya perlahan menoleh ke arah Liu. Tatapannya penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang takut kembali dikhianati. Namun, ia tetap diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Liu tersenyum kecil, mencoba memberi rasa aman.
“Tante bukan orang jahat. Sekarang istirahat yang cukup, setelah kamu sembuh Tante akan mengajakmu memilih rumah yang kamu inginkan. Oke?” katanya, menambahkan nada hangat di setiap ucapannya.
“Kenapa baik padaku?” ucap Raya pada akhirnya, suaranya lemah namun jelas. Liu terdiam sejenak, tersenyum simpul sebelum menjawab.
“Tidak ada alasan. Kalau Tante menyukaimu, maka tidak ada yang bisa menghalangi langkah Tante. Kamu percaya pada Tante?,"ucap Liu berusaha meraih hati Raya, agar gadis itu merasa nyaman dengan dirinya.
Raya tidak langsung menjawab, tetapi tatapannya melembut. Kata-kata Liu tadi, entah mengapa, memberikan sedikit rasa damai yang sudah lama tidak ia rasakan. Ia hanya diam, membiarkan pikirannya berkelana. Melihat reaksi itu, Liu melanjutkan.
“Tante akan menepati janji Tante, tapi dengan satu syarat...” Ia berhenti sejenak, melihat sorot mata Raya yang tampak penasaran, seolah bertanya ‘apa syaratnya?’. Liu tersenyum tipis sebelum akhirnya melanjutkan “Menurut pada Tante. Diam di sini sampai kamu benar-benar sembuh. Setelah itu, Tante akan kabulkan janji Tante tadi. Bagaimana?," lanjut nya .
Raya menatap Liu cukup lama. Wajah wanita itu terlihat begitu tulus, tanpa ada tanda-tanda kebohongan atau niat buruk. Liu merasa sedikit lega karena Raya tidak lagi menyebut soal kematian. Jujur saja, hatinya sebagai seorang ibu terasa teriris oleh ucapan Raya sebelumnya. Di saat gadis-gadis lain seusianya sibuk menikmati masa muda mereka, gadis ini justru memilih untuk menyerah dan menginginkan kematian.
“Mamah... Apa masih lama?” suara Cantika memecah suasana. Cantik sudah bosan menunggu dan mulai merengek pada sang ibu layaknya anak kecil. Namun Liu mengabaikan pertanyaan itu dan kembali fokus pada Raya.
“Bagaimana, setuju?” tanyanya lagi, kali ini lebih mendesak. Raya akhirnya mengangguk pelan, setelah lama bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia memutuskan untuk memberikan kepercayaannya pada wanita yang telah menyelamatkannya dari upaya bunuh diri.
“Iya...” jawabnya lirih, nyaris tak terdengar. Liu tersenyum lega mendengar jawaban itu.
“Bagus kalau begitu. Nanti Tante akan kembali lagi ke sini. Sekarang istirahatlah supaya kamu bisa pulih. Jangan segan-segan untuk mengatakan apa pun pada Tante. Tante akan menjenguk mu sampai kamu sembuh,” ujar Liu sambil mengusap kepala Raya dengan lembut. Raya terkejut dengan sentuhan itu. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati kehangatan yang aneh namun menenangkan. Sudah lama sekali ia tidak merasakan kasih sayang seperti ini.
“Terima kasih... Nyonya,” ujar Raya akhirnya, meski nada bicaranya masih sangat lirih. Liu menggeleng sambil tersenyum lembut.
“Panggil Tante. Ini kedua kalinya kita bertemu, kan? Mungkin ini adalah pertanda dari Tuhan,” ucapnya penuh keyakinan.
“Emm... baiklah, Tante,” sahut Raya dengan senyum kecil yang perlahan muncul di wajahnya. Entah kenapa, senyum wanita asing itu membuat hatinya terasa lebih ringan.
“Baiklah, Tante akan pulang dulu ke rumah. Nanti pagi Tante akan kembali lagi ke sini. Kalau kamu sudah baik-baik saja, Tante akan mengajakmu memilih rumah barumu itu. Sekarang istirahatlah, dan jangan melakukan hal konyol lagi. Paham?,"Liu berdiri, bersiap untuk pergi, namun dia menyempatkan untuk mengusap kepala raya sekali lagi , seolah benar - benar meminta agar raya percaya pada nya . Raya mengangguk pelan, tanda ia setuju dengan ucapan Liu. Melihat itu, Liu membalas dengan senyum hangatnya, lalu berbalik dan menggandeng tangan Cantika.
“Ayo pulang, cantik. Ini sudah sangat malam,” ujar Liu kepada putrinya. Cantika mengangguk kecil, meski wajahnya terlihat sedikit lelah. Ia mengikuti langkah ibunya keluar dari kamar itu, meninggalkan Raya yang masih terbaring di ranjang dengan pikiran yang mulai terasa lebih ringan.
Dalam perjalanan pulang, Cantika akhirnya membuka suara, memecah keheningan di antara mereka.
“Mama... apa yang Mama rencanakan sebenarnya?” tanyanya sambil menatap wajah ibunya yang terlihat tenang. Liu tersenyum kecil, lalu menatap Cantika sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan ibu kota yang dia pandangi, lewat jendela mobil.
“Dia cantik, kan?” tanyanya santai, seolah tidak ada yang aneh dengan ucapannya.
Cantika mengernyitkan dahi, bingung dengan pertanyaan itu. Namun, di lubuk hatinya, ia harus mengakui bahwa Raya memang sangat cantik. Wajahnya memiliki keindahan alami, meski penampilannya terkesan kuno dan culun. Dengan tubuhnya yang proporsional, Raya sebenarnya adalah sosok wanita yang sempurna.
“Iya, memang. Tapi kenapa Mama tanya begitu?” Cantika akhirnya bertanya dengan nada penasaran. Liu tersenyum lebih lebar, kali ini senyumnya terlihat seperti menyimpan rahasia besar.
“Dia jodoh untuk kakakmu. Besok Mama akan kembali ke rumah sakit,” ujarnya ringan. Cantika langsung menoleh cepat, terkejut mendengar ucapan itu.
“Mama, apa yang Mama katakan?! Maksudnya, jodoh untuk Kak Ryan?” ujar nya terdengar begitu bingung.
“Of course, Mama is serious. Do you have another brother besides Ryan? Tentu saja Mama serius. Memangnya kamu punya kakak lain selain Ryan?” balas Liu dengan wajah serius.
“Aku tidak yakin Kak Ryan mau menerima dia sebagai istri, Ma. Puluhan wanita sudah Papa tawarkan ke Kak Ryan, tapi dia malah selalu menghindar dengan alasan pekerjaan.” Cantika mendesah frustrasi.
“This time, everything must work. He is old enough to get married. Kali ini semuanya harus berhasil. Usianya sudah cukup untuk menikah, " Ujar Liu penuh harapan.
Cantika menatap ibunya dengan ragu. Ia tahu betul sifat kakaknya, Ryan, yang selalu sulit diluluhkan. Bahkan wanita-wanita yang lebih cantik, cerdas, dan berasal dari keluarga terpandang pun tidak mampu menarik perhatiannya. Bagaimana mungkin Raya, dengan penampilannya yang sederhana, bisa menjadi pilihan ibunya?
“Banyak hal yang tidak mungkin di sini, Ma. Pertama, kita tidak tahu dia itu berasal dari keluarga seperti apa. Kedua, Kak Ryan pasti akan menolak mentah-mentah. Lagipula, kita baru bertemu dia dua kali. Kenapa Mama bisa seyakin itu kalau dia orang baik-baik? Bagaimana kalau dia sebenarnya wanita jahat yang sedang menyamar?” kata Cantika panjang lebar, mencoba memberi alasan yang masuk akal.
“Bad woman? What do you mean? (Wanita jahat? Maksud kamu apa?)” tanya Liu, sedikit kebingungan dengan ucapan putrinya. Cantika menatap ibunya dengan ekspresi serius, seolah benar-benar mempertimbangkan kemungkinan terburuk.
“Ya, mungkin saja dia keturunan mafia yang dibuang oleh keluarganya. Karena itu, dia mencari mangsa untuk dijadikan inangnya. Setelah itu, dia akan membunuh kita satu per satu. Apa Mama tidak takut kalau hal seperti itu terjadi?," ujar Cantika dengan raut wajah yang begitu serius. Liu yang awalnya mendengarkan dengan serius tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Tawanya begitu lepas hingga membuat Cantika merasa malu.
“Kurangi membaca novel dan menonton film-film seperti itu, sayang. Belajarlah lebih giat,” ujar Liu sambil tertawa kecil, mengusap kepala Cantika dengan lembut. Suara tawa Liu mengisi ruang mobil yang sunyi, namun itu tidak menghentikan Cantika untuk melontarkan pertanyaan berikutnya.
"Mama, cantik serius," ujar Cantika, mengerutkan dahi, menatap ibu yang sepertinya tidak mempermasalahkan anggapan anehnya itu.
"Apalah kamu ini... pikiranmu terlalu jauh, sayang. Mana ada hal seperti itu di dunia ini. Jika pun ada seorang mafia atau keturunannya, mereka tidak akan terang-terangan menampakkan diri pada kita. Dunia kita dan mereka berbeda, sayang. Mereka tidak akan mengusik orang-orang yang berada di luar zona mereka," jelas Liu, melemparkan senyum penuh keyakinan.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Mama," jawab Cantika dengan nada agak berputus asa, meski ia tahu ibunya tidak akan setuju dengan pemikirannya.
"Kamu betul, sayang, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Tapi ucapanmu itu, lebih tidak mungkin lagi untuk terjadi," ujar Liu sambil tersenyum penuh arti, seakan memberikan pelajaran hidup kepada putrinya.
"Terserah Mama saja," jawab Cantika dengan suara datar, tidak ingin melanjutkan perdebatan ini lebih lama lagi.
"Kamu hanya perlu mendukung Mama, sayang. Tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting. Feeling Mama tidak pernah salah saat menilai seseorang," tambah Liu, memberikan nasehat penuh keyakinan, sambil tetap menjaga senyum manisnya.
"Alright, it's up to you, if you already have a wish, what can I do? (Baiklah, terserah Mama saja. Jika Mama sudah memiliki keinginan, aku bisa apa?)" ujar Cantika akhirnya mengalah, walaupun masih merasa sedikit bingung dengan semua keputusan yang diambil oleh ibunya.
........
Dan benar saja, keesokan harinya Liu kembali mendatangi rumah sakit itu dan menepati janjinya untuk memberikan Raya rumah, agar Raya bisa hidup dengan tenang tanpa diganggu dan terbebani oleh siapapun.
Awalnya, Liu berniat memberikan rumah mewah dengan harga milyaran rupiah atas nama Raya. Namun, Raya menolak mentah-mentah tawaran itu. Ia lebih memilih untuk diberikan rumah sederhana yang ada di daerah itu juga, dan akhirnya mau tak mau, Liu harus menyetujuinya.
Liu memberikan Raya rumah kecil, menurutnya, namun tidak menurut Raya. Rumah dua lantai itu tidak bisa disebut rumah sederhana baginya. Meskipun begitu, rumah itu cukup bagi Liu untuk memenuhi janjinya kepada Raya.
Raya juga sempat menolak rumah kedua ini, namun Liu tidak mau menggubrisnya lagi. Menurutnya, rumah itu sudah cukup kecil untuk ukuran sebuah tempat tinggal. Karena itu pula, Raya mau tak mau harus menerimanya dengan pasrah.
~ FLASHBACK OFF ~