Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28. Cemburu
“Sepertinya mataku sudah tidak beres,” seseorang terlihat mengusap ke dua matanya sambil menanti pesanannya datang.
“Kenapa?” tanya pria yang duduk di sampingnya.
“Sepertinya aku berhalusinasi melihat Ze,” ya dia Alvaro yang saat ini bersama dengan Kim Roan sedang menunggu salah satu klien mereka untuk minum kopi bersama. Kliennya meminta mereka ke hazelnut-latte karena di sana adalah salah satu tempat yang memang menjadi rekomendasi banyak pengunjung. Apalagi letak hazelnut-latte yang memang strategis di sekitaran PIK.
“Itu memang Ayzel,” ucap Kim Roan yang melihat kearah mata Alvaro memandang.
“Mas ... mas?” Alvaro memanggil salah satu karyawan cafe tersebut.
“Iya kak. Ada yang bisa di bantu?” jawab karyawan tersebut.
“Kakak itu sudah lama duduk di sana?” Alvaro menunjuk kearah Ayzel yang sedang melamun memandang kearah luar jendela.
“Mbak Zeze maksudnya?” tanya karyawan tersebut.
“Mas kenal dengan Ayzel?” tanya Kim Roan penasaran.
“Beliau owner cafe ini kak. Biasa di sapa mbak Ze atau Zeze,” jelas karyawan tersebut membuat Alvaro dan Kim Roan terkejut.
“Ok terimakasih mas,” balas Kim Roan. Mempersilahkan karyawan tersebut kembali melanjutkan tugasnya.
Setelah karyawan tersebut pergi, Alvaro tiba-tiba berdiri dari tempatnya dan melesat menghampiri Ayzel. Dia meninggalkan Kim Roan begitu saja di tempat duduknya. Padahal mereka sedang menunggu klien, karena memang ada janji dengan salah satu klien penting sebelum mereka nanti berangkat ke bandung.
“Susah memang kalau sudah bucin,” guman Kim Roan melihat tingkah bos yang sekaligus sahabatnya tersebut.
Alvaro berjalan dengan tersenyum, menampilkan dua lesung pipi yang mempesona. Bahkan beberapa pengunjung dan karyawan terpesona melihat senyum dan ke tampanannya. Ayzel fokus menikmati pemandangan luar jendela, dia tidak tahu kalau Alvaro datang kearahnya.
“Nona Zeze. Sepertinya kita memang di takdirkan berjodoh,” Alvaro sudah duduk tepat di hadapan Ayzel sambil menopang dagu dengan tangannya.
“Uhuk ... pak Alvaro?” Ayzel terkejut di hadapannya sudah duduk Alvaro dengan senyum khasnya.
“Sory mengagetkan kamu ya?” panik Alvaro saat melihat Ayzel hampir tersedak.
“Saya kira pak Alvaro langsung ke bandung,” Ayzel meletakkan minumannya pada meja.
“Kita sedang di luar kantor Ze. Bisa tidak kata saya di ganti,” Alvaro mencebik kearah Ayzel.
“Aku masih ada urusan di sini. Kim Roan nanti yang langsung ke bandung,” ucapnya masih sedikit kesal karena Ayzel menggunakan kata formal.
Ayzel hanya tersenyum melihat kelakuan atasannya tersebut, selalu ada saja tingkahnya. Ingatkan Ayzel sekali lagi terkait Alvaro yang punya julukan tangan destroyer, tidak berselang lama Alvaro sudah membuat pajangan yang ada di samping tepatnya duduk rusak.
“Ze. Sorry,” Alvaro dengan seyum canggung memperlihatkan hasil karyanya dalam merusak benda-benda. Dia mengambil lego brick mainan yang menjadi pajangan di samping tempatnya duduk, tak berselang lama lego berbentuk koala berwarna biru tersebut sudah tercerai berai dari bentuknya.
“Hmmm ... tidak apa-apa, taruh di situ saja biar nanti anak-anak yang bereskan. Nanti aku minta ganti lebih sama kamu,” Ayzel menahan tawanya dan hanya bisa tersenyum melihat Alvaro dengan wajah memelas meminta maaf karena sudah merusak pajangan cafe. Takut kalau bosnya tantrum di tempat umum.
“Kamu bisa tidak jangan senyum seperti itu? Tidak aman buat jantungku Ze,” protes Alvaro sambil memegangi dada kiri dengan kedua tangannya.
“Ke dokter kalau jantungnya sakit.”
“Dokternya ada di hadapanku sekarang ini,” seutas senyum tipis menghiasi wajah Ayzel mendengar ucapan Alvaro.
“Drrttt ... drrrt ... drrrt”
Suara getar ponselnya membuat Alvaro mencebik karena merasa terganggu.
“Bucinnya bisa di tunda dulu tidak tuan Alvaro? Cepat kemari klien sudah menunggu,” pesan singkat Kim Roan membuat Alvaro mau tak mau harus kembali ke mejanya.
“Sebentar,” balas Alvaro.
Ayzel bingung dengan tatapan Alvaro, selain tatapan merajuk juga mencebik kearahnya. Seolah dia sedang melakukan kesalahan, padahal dari tadi Ayzel hanya fokus pada minumannya.
“Kenapa?” tanya Ayzel.
“Masih ingin duduk seperti ini bersamamu. Tapi klien sudah menungguku di sana,” Alvaro menghela napas. Sementara ucapan Alvaro membuat Ayzel sedikit terkejut. Sebenarnya bukan karena ucapannya, tapi sorot mata Alvaro yang menunjukkan seolah tidak mau meninggalkan Ayzel duduk di sana sendiri.
“Kasian pak Kim sendirian menemui klien. Cepat ke sana,” titah Ayzel
Mau tak mau Alvaro harus kembali ke mejanya untuk memenuhi janji pada kliennya, dia menghela napas panjang sekali lagi sebelum akhirnya benar-benar beranjak pergi dari meja Ayzel.
“Aku di sini sampai lusa. Kita juga akan bertemu di pernikahan Althan dan Humey,” ucap Ayzel tanpa melihat ke Alvaro.
“Kamu cantik dengan outfit seperti itu Ze,” kali ini Alvaro membuat Ayzel tersipu dengan ucapannya.
Alvaro berlalu pergi kembali ke mejanya sambil tersenyum puas setelah mendengar ucapan Ayzel. Tanpa Alvaro sadari Ayzel tersenyum menatap punggung Alvaro yang berjalan menjauh dari mejanya.
“Siang pak John,” Alvaro menyapa rekan bisnisnya yang baru datang. Dia kembali duduk di samping Kim Roan.
“Siang pak Alvaro. Perkenalkan ini Raisa putri saya,” mereka saling berkenalan satu sama lain.
“Raisa,” perempuan dengan rambut sebahu tersebut berkenalan dengan Alvaro. Sebelumnya dia sudah berkenalan dengan Kim Roan.
“Alvaro,” jawabnya singkat dengan sikap yang sedingin es.
Siang itu mereka memang hanya ngobrol santai tanpa membahas kerjasama, sekedar untuk memenuhi janji temu makan siang dan minum kopi. Sepertinya putri dari rekan bisnis mereka tertarik dengan Alvaro.
“Kak Alvaro sudah jalan-jalan kemana selama di Jakarta?” tanya Raisa sambil mengibaskan rambutnya untuk menarik perhatian Alvaro.
“Belum kemana-mana,” jawab Alvaro singkat. Alvaro justru mengarahkan pandangannya pada Ayzel yang terlihat berbicara dengan seseorang.
“Sepertinya dia tertarik padamu,” bisik Kim Roan berbisik pada Alvaro.
“Aku lebih tertarik pada perempuan yang tersenyum di sana,” yang dimaksud Alvaro adalah Ayzel.
Alvaro masih menatap lekat Ayzel dari tempatnya duduk, dia penasaran dengan pria yang berbicara dengan Ayzel. Mereka terlihat sangat akrab, dari cara Ayzel tertawa dan gerak tubuhnya menunjukkan mereka bukan baru saja kenal. Terlebih ayzel baru saja sampai Indonesia pagi tadi, kalau saja dihadapannya tidak ada klien pasti Alvaro sudah berlari mendekat pada Ayzel.
“Jangan-jangan saingan baru?” Kim Roan sedang menjadi kompor untuk Alvaro.
Alvaro sudah hamir berdiri, tapi di cekal Kim Roan. “Selesaikan dulu, baru ke sana.”
“Raisa bisa mengantar pak Alvaro keliling Jakarta. Dia tahu banyak tempat yang sedang tren saat ini,” ucap John yang sedari tadi di minta putrinya untuk membuat mereka dekat.
“Terimakasih. Tapi saya harus langsung ke bandung,” tolaknya dengan halus.
“Setelah dari bandung juga tidak apa-apa kak,” celetuk Raisa.
“Saya langung kembali ke Istanbul,” jawabnya tegas.
“Mungkin bisa lain kali kalau kami ke Indo lagi pak,” Kim Roan menengahi karena tahu fokus Alvaro sudah teralihkan pada Ayzel yang duduk di ujung meja sana.
Kim Roan sekali lagi menahan diri untuk tidak tertawa, dia menemukan Alvaro dengan sikap yang sama sekali belum pernah di lihatnya selama ini. Sosok Alvaro yang merasa takut ke hilangan seseorang, dan itu adalah Ayzel. Kim Roan memutuskan untuk mengakhiri pertemuan mereka dengan alasan harus segera berangkat ke bandung. Tapi memang hari ini dia akan langsung ke bandung terlebih dahulu, sementara Alvaro masih akan di Jakarta.
...***...
“Axel?” Ayzel terkejut dengan sosok pria yang datang menghampiri Ayzel yang masih duduk menatap luar jendela.
“Gimana kabar lu Ze?” pria tersebut duduk menghadap Ayzel.
“Baik. Kamu sendiri gimana?” Ayzel terlihat antusias saat menemukan teman lamanya yang saat ini duduk di hadapannya.
Ayzel memang tak banyak punya teman, tapi sekalinya dia punya teman. Mereka adalah teman yang luar biasa selalu hadir dalam setiap suka dan dukanya.
“Seperti yang lu lihat. Masih tetap tampan seperti dulu,” jawabnya sambil memainkan matanya kearah Ayzel.
Sementara Ayzel tertawa renyah mendengar ucapan Axel dan juga tingkahnya. Tanpa Ayzel sadari ada seseorang yang menatapnya penuh rasa tidak suka melihatnya tertawa seperti itu.
“Dasar ya. Gak pernah berubah dari dulu, heran deh yang mau sama kamu. Kayaknya rabun deh dia Xel,” mereka kembali terkekeh dengan perbincangan mereka sendiri.
Jangan tanya bagaimana raut wajah Alvaro saat ini, dia langsung menghampiri ke tempat Ayzel kembali tanpa perduli dengan Kim Roan yang masih ada di sana. Kim Roan hanya menggeleng sebelum akhirnya dia sendiri keluar dari cafe untuk menuju bandung.
“Ehemm ... apa aku menganggu,” Ayzel dan Axel menghentikan candaan mereka saat ada seseorang terlihat dengan raut muka meredam emosi datang menghampiri mereka.
“Tentu tidak. Silahkan,” Axel melirik Ayzel. Ayzel hanya tersenyum dan itu sudah cukup membuat Axel paham.
“Siapa yank?” ucap Axel membuat Ayzel melotot padanya. Gemuruh emosi sudah hampir menguasai Alvaro, tangannya mengepal di kedua sisi badannya.
“Oh ya. Pak Alvaro ini Axel, teman kuliahku dulu” Ayzel menarik lengan baju Alvaro untuk duduk di sampingnya setelah melihat ekspresi yang seakan ingin menerkam Axel.
“Alvaro,” ucapnya datar.
Ayzel melirik kesal kearah Axel yang sedang menahan tawa melihat ekspresi Alvaro setelah mendengarnya memanggil Ayzel dengan sebutan yank.
“Gue Axel Anggara. Panggil saja Axel,” Axel kemudian memperkenalkan dirinya dengan ramah pada Alvaro.
Alvaro tetap dengan ekspresi datar dan menahan marahnya, sikapnya justru menarik perhatian Axel yang terus ingin menggodanya.
“Jadi gimana Ze? Lu terima gue atau enggak?” ucapan Axel cukup membuat Ayzel gelagapan, terlebih saat melihat Alvaro yang sudah siap untuk menerjang Axel.
“Axel!!! Please,” Ayzel memperingati Axel. Dengan satu tangan memegang lengan baju Alvaro, selama ini Ayzel memang hanya dia dengan semua tingkah Alvaro. Sekali lagi bukan dia tidak peka, tapi banyak hal yang masih menjadikannya ragu.
“Sebenarnya apa hub ....” pertanyaan Alvaro terpotong sebelum sempat melampiaskan kekesalannya pada Axel. Tone suara Alvaro yang meninggi bahkan kalah dengan suara seseorang yang baru saja datang dari arah pintu masuk.
“Sayaaaaannnnggg,” perempuan Indo-China sepantaran mereka dengan tinggi 165 cm masuk dari pintu. Berjalan dengan sedikit cepat menuju kearah mereka bertiga yang sedang dalam situasi sedikit memanas karena Axel.
“No ... no ... no sayang, jalannya pelan-pelan please,” ucap Axel yang khawatir melihat perempuan tersebut berjalan cepat kearahnya.
Ayzel ngilu melihat perempuan tersebut berjalan dengan cepat kearah mereka, tepatnya kearah Axel pasalnya dia sedang mengandung. Dia langsung menghambur memeluk Axel, membuat Alvaro ternganga melihat adegan tersebut.
“Calista please. Bucin selalu gak tahu tempat,” protes Ayzel yang di sambut dengan tawa perempuan yang bernama Calista.
“Biarin. Lu iri kan? Makanya cepet nikah biar seperti kita ya kan, yang?” ucapnya pada Axel yang tak lain adalah suami Calista.
"Iya deh. Ikut kata bumil saja,' ucap Ayzel sambil tersenyum kearah Alvaro yang sudah dengan ekspresi tidak semarah tadi.
Alvaro menjadi salah tingkah setelah mendengar bahwa Axel sudah menikah, dia merasa malu karena tadi merasa kesal dengan tingkah Axel. Tapi jangan salahkan dia kalau emosi, salah siapa Axel menggodanya. Mereka berdua pamit setelah makanan dan minuman pesanan yang diinginkan Calista selesai di buat.
“Jangan khawatir bro. Kuncinya sudah mulai terbuka, berjuanglah sedikit lagi.” Axel menepuk pundak Alvaro dan berbisik padanya sebelum dia pergi meninggalkan hazelnut-latte cafe.