"Aku hamil."
Savanna yang mendengar sahabatnya hamil pun terkejut, dia menatap sahabatnya dengan tatapan tak percaya.
"Dengan Darren , maaf Savanna."
"Nadia, kalian ...." Savanna membekap mulutnya sendiri, rasanya dunianya runtuh saat itu juga. Dimana Darren merupakan kekasihnya sekaligus calon suaminya telah menghamili sahabatnya.
***
"Pergi, nikahi dia. Anggap saja kita gak pernah kenal, aku ... anggap aku gak pernah ada di hidup kalian."
Sejak saat itu, Savanna memilih pergi keluar kota. Hingga, 6 tahun kemudian Savanna kembali lagi ke kota kelahirannya dan dia bertemu dengan seorang bocah yang duduk di pinggir jalan sedang menangis sambil mengoceh.
"Daddy lupa maca cama dedek hiks ... dedek di tindal, nda betul itu hiks ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dedek hanya ingin cedikit waktu daddy
PRANG!!!
Gibran membanting sendoknya, dia menatap tajam Darren yang menatapnya dengan terkejut. Baru kali ini Gibran berbuat hal yang tidak sopan di meja makan.
"Kelaja-aaannn telus! Dedek nda pelnah daddy pelhatiin! DEDEK MAU IKUT MOMMY AJA!!"
Gibran marah, dia turun dari kursinya dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Darren terdiam, dia masih belum tergerak setelah keterkejutannya tadi.
"Dad, Gabriel masih bisa mengerti jika pekerjaan adalah segalanya buat daddy. Tapi Gibran tidak, dia hanya butuh secuil perhatian daddy. Bahkan, di hari ibu kami tidak bisa merasakan bagaimana pelukan hangatnya. Kami hanya punya daddy, untuk itu daddy adalah harapan satu-satunya kami. Tapi daddy mengecewakan kami."
"Maaf dad, aku kenyang."
Kreett!!
Gabriel pun pergi ke kamar, meninggalkan Darren yang terdiam karena tertampar ucapan putranya sendiri.
"Apa aku telah melakukan kesalahan? aku hanya bekerja, dan itu untuk masa depan mereka." Gumam Darren.
Sementara di kamar, Gibran menangis sambil menelungkupkan wajahnya di bantal. Gabriel mendekati adiknya dan mengusap punggung kecil yang bergetar itu.
"Jangan menangis, daddy bekerja intuk kita. Supaaya dedek bisa beli mainan bagus, baju bagus, dan makan enak." Bujuk Gabriel.
"Dedek nda butuh mainan!! dedek cuman mau daddy!" Isak Gibran.
Tiba-tiba saja Gibran duduk, dia mengusap air matanya dan berlari kembali ke ruang makan. Di sana masih terdapat Darren yang tengah berperang dengan pemikirannya sendiri.
"Daddy." Panggil Gubran.
Darren tersentak kaget, saat melihat putranya berjalan cepat menghampirinya dengan mata sembab dan hidung memerah.
"Belapa uang yang daddy dapet celama catu jam kelja?" Tanya Gibran dengan suara seraknya.
Darren tampak terdiam sembari berpikir, dia tak mengerti maksud pertanyaan putranya. Namun, Darren pun menjawab nya.
"sepuluh juta," ujar Darren.
Gibran mengangguk, dia berlari lagi ke kamarnya. Tak peduli dirinya harus lelah turun tangga, dirinya masuk ke kamarnya dan berlari menuju lemarinya.
"Gibran, kamu mau ngapain?" Kaget Gabriel saat melihat Gibran mengambil celengan mereka.
"Abang diam caja," ujar Gibran yang masih fokus dengan celengan kaca berbentuk bola.
Gibran berjalan menuju balkon kamarnya, dia menatap celengan itu dan kemudian melemparnya.
PYAARR!!!
"GIBRAN!!!" Teriak Gabriel.
Mendengar pecahan dan teriakan Gabriel, Darren segera berlari ke kamar putranya dengan perasaan yang tak menentu. Di lihatnya kedua putranya berada di balkon, lebih tepatnya Gibran tengah mengambil uang di antara pecahan kaca.
"Apa yang kalian lakukan?"
"Daddy! adek memecahkan celengan kami!" Seru Gabriel.
Darren mendekati Gibran, dia melihat kaki putranya terluka karena terkena serpihan kaca. Celengan itu, terdapat pintu untuk mengambil isinya. Namun, tergembok. Sehingga Gibran membantingnya agar bisa mendapatkan uangnya.
"Gibran, apa yang kamu lakukan?" Tanya Darren dengan nafas memburu.
Gibran berhasil mengumpulkan uangnya, semua uangnya berwarna merah. Dia membawa uangnya menggunakan bajunya yang dia tekuk sedikit dan membawanya mendekat pada Darren.
"Cegini, cukup ndak buat bayal waktu daddy? Giblan cuman minta waktu daddy catu jam aja, kalau uangna kulang cetengah jam nda papa," ujar Gibran dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Darren terenyuh, putranya hanya menginginkan dirinya hadir di acara sekolahnya. Permintaan yang sangat sederhana, tetapi mengapa dia tak bisa memberikan hal sederhana yang begitu berharga untuk putranya?
Bahkan, Gabriel sampai ikutan menangis. Dia yang jarang menangis ikut merasakan betapa besar keinginan adiknya untuk meminta sang daddy menghadiri acara itu.
"Daddy tetep nda mau?" Tanya Gibran dengan suara bergetar.
"Sayang, maafkan daddy." Darren berlutut, dia memeluk tubuh putranya dengan erat. Bahkan, air matanya tak dapat terbendung lagi.
"Hiks ... hiks ... cucah cekali daddy ada waktu untuk dedek dan abang. Dedek nda pelnah lalang daddy kelja, tapi untuk catu hali caja daddy ikut. Dedek nda mau di ejek temen nantina kalna nanti di kila nda ada olang tua, dedek puna daddy. Tapi kenapa dedek nda bica kayak temen dedek?"
Darren menangis mendengar isi hati sang putra, bagaimana tidak? anak itu masih sangat polos, dia hanya berkata apa yang menurutnya benar. Dia berkata dari hati kecilnya yang tengah memberontak ingin di mengerti.
Gibran melepas pelukan Darren, dia menatap wajah Darren dengan pipinya yang basah karena air mata.
"Cebental cajaa, daddy ikutin acalana. Temenin dedek. Mommy udah di culga, kata bu gulu Giblan hanya bica kilim doa. Jadi dedek nda bica minta mommy ikut," ujar Gibran.
"Duitna macih kulang nda? dedek jual mainan becok, nanti uangna dedek kacihkan daddy yah,"
Dengan cepat Darren menggeleng, dia kembali merengkuh tubuh putranya. Bahkan uang yang ia tampung di bajunya sudah jatuh berserakan.
"Tidak sayang, jangan. Ya, daddy akan menemani kalian. Daddy akan menggantikan mommy kalian, daddy sayang kalian." Isak Darren.
Gibran kembali menangis sambil memeluk leher Darren, Gabriel pun berlari ke arah mereka dan memeluk erat keduanya. Mereka sama-sama tenggelam dalam tangis, mengungkapkan kesedihan mereka.
"Sudah, ayo kita obati lukamu."
****
Pagi harinya, seperti biasa si kembar bersiap sekolah. Namun, Gibran lupa mengerjakan PR. Darren memerintahkan pengasuh putranya untuk membantu tugas Gibran.
"Makanya kalau ada PR itu di kerjainn!!"
"Awww!!" Gibran mengusap pahanya yang habis di cubit oleh pengasuh nya itu.
"Jangan kerjanya maiiiinnn aja! gara-gara kamu, saya di omelin bapak mu tau gak!"
Gibran menahan tangisannya, dia menulis PR nya dengan air mata yang berjatuhan.
"Kok jawabannya segini? b0d0h banget sih jadi anaakk!!" Pengasuh itu mendorong kening Gibran dengan jari telunjuknya berulang kali.
Gibran menangis sedikit keras, pengasuh itu sedikit khawatir Darren dan Gabriel yang sedang makan di ruang nakan mendengar tangisan Gibran.
"Diam! atau saya jewer mulut mu itu!" Ancamnya dengan mata melotot.
Gibran membungkam mulutnya, dia menahan tangisannya hingga bahunya bergetar.
Cklek!
"Sudah selesai?"
Jantung pengasuh itu berdegup kencang, dia menunduk saat Darren masuk berniat ingin mengecek tugas putranya.
"Maaf tuan, den Gibran malah menangis karena takut telat," ujar pengasuh itu.
Darren mengerutkan keningnya, dia mendekati putranya dan melihat tugas sang putra.
"Tidak apa-apa, masukkan bukunya. Nanti daddy yang akan bicara sama guru adek, sekalian izin karema adek gak pakai sepatu." Ujar Dareen sambil mengusap kepala putranya. Darren memang menyuruh putranya untuk tak memakai sepatu dulu karena luka akibat pecahan kaca itu belum kering.
Dengan cepat, Gibran menutup bukunya dan memasukkannya ke dalam tasnya. Tak lupa dirinya menbawa sapu tangan milik Savanna di kantongnya, dan hal itu tak luput dari pandangan Darren.
"Sepertinya aku harus berbicara pada guru si kembar, karena sepertinya dia bisa mengambil hati anak-anak." Batin Darren.
Setelah selesai, Darren pun mengantar mereka ke sekolah. Sepanjang jalan, Gibran hanya dia sambil sesekali mengusap pahanya. Melihat gelagat adiknya, Gabriel yang curiga pun segera menyingkap celana adiknya.
"Bang, janan." Cicit Gibran sambil sesekali melirik ke arah kanan di mana daddynya yang masih sibuk dengan tabletnya.
Gabriel tak peduli, dia menyingkap celana kiri adiknya. Benar dugaan Gabriel, dia mendapati kembali warna keunguan itu.
Dia mengangkat wajahnya, menatap adiknya dengan tatapan sendu. Gibran menggeleng, membuat Gabriel pun tak bisa apa-apa.
"Ada apa? Kenapa kalian memasang wajah seperti itu?"
Pertanyaan Darren membuat keduanya membeku, tak berani hanya sekedar menatap Darren yang menatap mereka dengan kening mengerut.
_______
Ayooo jangan lupa dukungannya🥰🥰🥰