“Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!”
Melodi, seorang istri yang selalu merasa kesepian, menerka-nerka kenapa sang suami kini berubah.
Meskipun di dalam kepalanya di kelilingi bermacam-macam tuduhan, tetapi, Melodi berharap, Tuhan sudi mengabulkan doa-doanya. Ia berharap suaminya akan kembali memperlakukan dirinya seperti dulu, penuh cinta dan penuh akan kehangatan.
Namun, siapa sangka? Ombak tinggi kini menerjang biduk rumah tangganya. Malang tak dapat di tolak dan mujur tak dapat di raih. Untuk pertama kalinya Melodi membuka mata di rumah sakit, dan disuguhkan dengan kenyataan pahit.
Meskipun dirundung kesedihan, tetapi, setitik cahaya dititipkan untuknya. Dan Melodi berjuang agar cahaya itu tak redup.
Melewati semua derai air mata, dapatkah Melodi meraih kebahagiaan? Atau justru ... sayap indah milik Melodi harus patah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SPMM8
Sudah lima hari, Aldrick bangun dengan mata yang sembab. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia tidur dengan nyenyak. Kepergian Melodi benar-benar membuat hari-harinya bagai hidup segan mati pun enggan.
“Mel, aku ... kangen.” Aldrick melirik ke sisi ranjang yang kosong, lalu menyambar ponselnya yang berdenting.
Aldrick membaca pesan masuk dari Karin. Pesan yang berisi dengan serentetan pertanyaan : Drick, kok hari ini nggak masuk kerja? Sakit ya? Boleh aku jenguk?
Namun, seperti biasa, Aldrick mengabaikan pesan dari wanita tersebut.
Aldrick beranjak dari ranjang, ia berjalan ke dapur dengan langkah gontai. Pria berwajah sendu itu membuat secangkir kopi, tapi rasanya pahit, seperti perasaannya sendiri. Ia memandangi meja makan, yang kini terasa semakin sepi tanpa Melodi.
“Mel, aku harap, kamu sudi memberikan aku kesempatan,” lirihnya dengan dada sesak.
Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Ia tahu ia tidak bisa terus seperti ini. Meskipun ia juga tahu, apapun yang ia lakukan, mungkin sudah terlambat.
Aldrick meraih ponselnya, mengetik pesan singkat untuk Melodi.
"Maaf."
Pesan itu sederhana, tapi, ia berharap itu cukup untuk memulai sesuatu. Ia menekan tombol kirim, lalu menunggu.
Tapi, seperti hari sebelumnya, tak ada balasan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Merah nggak, Nad?” Tanya Melodi sambil meringis dan bersendawa.
“Merah banget.” Nadia sangat bersemangat mengerik punggung Melodi dengan sebuah koin tanpa gerigi.
Semenjak menginap di rumah Nadia, kondisi kesehatan Melodi kerap menurun. Entah kenapa, akhir-akhir ini, tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya. Pusing yang muncul sejak beberapa hari lalu masih sering datang dan pergi, tapi Melodi memilih mengabaikannya.
Namun, hari ini dia sudah tidak sanggup lagi. Pusing itu berubah menjadi sakit kepala yang luar biasa. Tubuhnya menjadi lemas dan selalu muntah-muntah. Bahkan, sudah dua kali Melodi mengalami mimisan. Menurutnya, dia tengah masuk angin dan juga panas dalam, apalagi mengingat perubahan cuaca yang tak jelas.
Setelah selesai dikerik, Melodi duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat di tangannya. Sedangkan Nadia langsung bekerja. Alias live di kamarnya sambil mempromosikan masker wajah di aplikasi sosial medianya.
Melodi meraih ponselnya, membuka aplikasi tok-tok-tok untuk menyaksikan live Nadia. Bibir yang tadinya melengkung turun kini tersenyum tipis, ini semua karena wajah bulat nadia yang sudah dipoles masker.
(Bukan visual Nadia ya, tapi, kira-kira begini lah ekspresi Nadia 😆)
Melodi tersenyum jahil. Jemarinya mulai, mengetik dengan cepat. Ia meninggalkan sebuah pertanyaan di lapak live sang sahabat : Kakak, maskernya dicampur dengan air mateng atau air mentah?
Wajah Nadia tampak maju memenuhi layar ponsel, ia membaca pertanyaan dari Melodi dengan saksama. Bola mata Nadia langsung berputar dan menjawab dengan suara lantang.
“Air kencing ya sayang ya! Sisa—sisa air mata kalian juga boleh langsung campur saja ke masker, terus kalian pake! Kita heran ngana, air mata, air masak, air banjir, air laut, kalian pake saja untuk menggunakan masker. Setelah itu langsung kalian oles-oles saja ke wajah, di jamin mata batin kalian semua langsung terbuka ya sayang ya!”
Jawaban Nadia yang super ngegas membuat Melodi terpingkal-pingkal di meja makan. Kesabaran Nadia yang setipis tissue di bagi tiga itu memang kerap mengocok perut Melodi.
Setelah merasa cukup terhibur, Melodi segera keluar dari lapak Nadia. Lalu, ia membuka pesan dari Aldrick yang sengaja ia tunda untuk membacanya.
"Maaf."
Hanya itu. Satu kata kecil yang seharusnya berarti besar, tapi entah kenapa malah membuat dadanya terasa semakin berat.
“Maaf? Itu aja?” Melodi bergumam sendiri, matanya menatap layar ponsel seolah menuntut jawaban. “Apa dia pikir semuanya selesai cuma dengan kata-kata itu?”
Melodi meletakkan ponselnya kembali ke meja dengan sedikit kasar. Dalam hati, ia ingin marah, ingin berteriak, tapi ... untuk apa? Aldrick sudah terlalu jauh baginya, terlalu dingin. Bahkan kalau ia berteriak pun, mungkin pria itu tidak akan mendengarnya.
Melodi tak sadar berapa lama ia duduk di meja makan. Pikirannya melayang ke mana-mana. Ia baru tersadar ketika Nadia menepuk pelan pundaknya.
“Bengang bengong, kesambet setan gagu lo?”
Melodi membalas dengan senyuman tipis.
“Idiiih, malah senyam senyum. Kenape sih lo, Mel?”
Melodi menggeleng, “oh ya, udah ada informasi?”
Nadia menggeleng. “Tadi gue cek, belum ada. Kata temen gue, Aldrick tadi nggak kerja.”
“Oh ya? Kenapa?” Melodi tampak cemas.
“Ya mana gue tau, kan lo bininya.”
Melodi mencebik kesal. “Gue yakin banget deh kalau Aldrick selingkuh.”
“Belum tentu, Mel,” sahut Nadia cepat.
“Kok gue ngerasa, lo ngebelain Aldrick terus ya?” Melodi memicingkan alisnya.
“Bukan ngebelain, Mel. Tapi, Netral. Bukan apa ya, bukti ini tuh kayak beruntun datang gitu aja. Aneh aja menurut gue sih.”
Melodi menghela napas panjang sambil memikirkan perkataan Nadia yang terdengar masuk akal. Apalagi mengingat wajah tampan Aldrick? Mustahil tak ada seekor ulat bulu yang tertarik dan membuat trick.
---
Malam harinya, Melodi merasa tubuhnya semakin lemas. Pusing yang ia rasakan semakin sering datang, dan kali ini, ia merasa sulit bernapas.
Ia mencoba bangkit dari sofa untuk mengambil air, tapi pandangannya tiba-tiba gelap. Tubuhnya terhuyung, dan sebelum ia sempat memegang sesuatu untuk menjaga keseimbangan, ia jatuh ke lantai.
Suara benda jatuh terdengar cukup keras, membuat Nadia yang berada di dapur langsung berlari ke ruang tamu.
“Mel?!” Nadia panik melihat sahabatnya tergeletak di lantai. Ia segera berlutut di samping Melodi, menepuk-nepuk pipinya. “Mel, bangun! Lo denger gue, kan?!”
Melodi membuka matanya perlahan, tapi tubuhnya terasa berat. “Nad ... gue pusing banget.”
“Gue bawa lo ke dokter sekarang!” Nadia mencoba mengangkat tubuh Melodi, tapi Melodi menahan tangannya.
“Enggak ... gue cuma butuh istirahat ....”
“Nggak, Mel! Gue enggak mau denger alasan lo lagi. Muka lo pucat banget!”
“Besok aja. Besok kalau belum mendingan, gue bakal ke rumah sakit.” Melodi berusaha menenangkan Nadia. Namun, baru saja sedetik kata itu terucap, Melodi kembali mimisan.
Nadia akhirnya menyerah. Ia tahu ia tidak bisa menangani ini sendirian, jadi ia memutuskan untuk menelepon Aldrick.
“Rick, lo harus ke sini sekarang juga. Melodi ....” Nadia terdiam sejenak, mencoba menahan tangis. “Melodi enggak baik-baik aja.”
“Apa maksud lo?” suara Aldrick terdengar panik di telepon.
“Lo cepet ke rumah. Gue enggak tau harus gimana lagi!” jawab Nadia singkat sebelum menutup telepon.
*
*
*
Karin menggenggam lembut jemari Aldrick. Matanya menatap pria itu dengan amat manja. “Drick, kok chat aku semalam nggak dibalas, ‘sih? —Padahal aku cemas tau kamu nggak masuk. Kamu sakit apa? Udah mendingan?”
.
.
.
bagus banget.
Aku setiap baca 😭🤣😭🤣😭🤣😭
Sukses terus kak othor/Determined/
,, penyesalan,, membuat sesak di
di dada, dalam penyesalan hanya
dua kata sering di ucapkan,
,, andaikan dan misalkan,, dua
kata ini tambah penyesalan.
thanks mbak 💪 💪