Dijodohkan dengan cowok jalanan yang ternyata ketua geng motor membuat Keisya ingin menolak. Akan tetapi ia menerimanya karena semakin lama dirinya pun mulai suka.
Tanpa disadari, Keisya tak mengetahui kehidupan laki-laki itu sebelum dikenalnya.
Apakah perjodohan sejak SMA itu akan berjalan mulus? atau putus karena rahasia yang dipendam bertahun-tahun.
Kisah selengkapnya ada di sini. Selamat membaca kisah Ravendra Untuk Keisya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Khawatir
Di depan ruang rawat nampak seorang Keisya mondar-mandir dengan raut wajahnya yang gelisah. Ia sudah menangis beberapa kali sejak melihat kondisi Dion yang terkapar lemah. Kali ini matanya sudah sembab, entahlah dia sudah menangisi keadaan Dion.
Pintu ruang tempat Dion berada di buka oleh seseorang. "Dok, gimana keadaan teman saya? Baik-baik aja kan, Dok?" tanya Keisya penuh harap.
"Keadaan teman anda baik baik saja, namun ia sedang menjalani masa koma nya." jawab si Dokter.
Deg.
Jantung Keisya seolah terhenti mendadak begitu dengar kondisi Dion sekarang koma.
"Kira-kira masa itu berapa lamanya ya, Dok?"
"Perkiraan bisa seminggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun." kata dokter tersebut menjelaskan.
"Yaudah, terima kasih ya, Dok." jawabnya lalu duduk di kursi panjang depan ruang tunggu.
Seusai dokter itu meninggalkan ruangan, kini Devan datang bersama orang tua nya Keisya karena gadis itu sudah mengabari mereka lewat Group Chat, jadi mereka langsung menuju rumah sakit.
"Kei, gimana kejadiannya sih sepupu gue kok bisa kecelakaan?" tanya Devan dengan napasnya yang memburu.
Keisya mendongak dan berdiri. "Gue juga nggak tau, tapi pas kejadian itu gue liat ada truk yang terguling dan sopirnya itu keadaan mabuk, Van." sahut Keisya, nadanya serak.
"Kenapa bisa gitu loh? Seumur-umur itu bocah nggak pernah teledor sama jalanan apalagi pertigaan kayak gitu." Oceh cowok itu kesal sendiri.
"Pasti karena keadaannya yang lagi kurang baik," sahut Bram.
"Tapi kamu nggak apa-apa kan, Nak?" Tanya Yuni kepada anaknya.
Keisya menggeleng. "Semua ini salah Keisya, Dion jadi kecelakaan dan sekarang dia masih koma." gumam gadis itu menyalahi dirinya sendiri.
Devan mondar-mandir sambil berkacak pinggang tak habis pikir tentang semua ini. "Ini bukan salah lo Kei, semua musibah." tutur Devan meraup wajahnya frustasi.
"Jadi bener kalo Dion punya penyakit asma?" celetuk gadis tersebut membuat Devan terdiam.
"Lo udah tau tentang penyakitnya?"
Keisya memasang wajah cemasnya.
"Dia bikin surat buat gue, pas kecelakaan salah satu warga nemuin kertas ini di dompetnya dia." Jelasnya sambil menyodorkan kertas pada Devan.
Devan tampak mengerutkan keningnya. Selesai membaca, "sepupu gue sayang banget sama lo." Ujarnya.
•••••
Satu minggu kemudian, Keisya masih setia menunggu Dion sadar dari koma nya. "Ya Allah ... Kapan sembuhnya Dion? Udah seminggu masih aja belum bangun. Demen banget tidur lama, kalo gue mah mager." gumamnya pelan.
Ceklek
Seseorang masuk ke ruang rawat Dion, karena beberapa hari Dion diminta oleh keluarganya untuk di pindahkan ke ruang rawat. Samar samar Keisya mendengar perbincangan antara dokter dan si seseorang tadi.
Awalnya, Keisya hanya diam tak peduli dengan perbincangan di dalam ruang Mawar tersebut. Akan tetapi ada satu kata yang membuat Keisya langsung kembali menangis setelah beberapa menit pipinya terasa kering tanpa air mata.
"Bagaimana keadaan pasien, Dok?" tanya seorang laki-laki yang tadi masuk ke ruang rawat Dion.
"Saya meminta maaf sebelumnya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi takdir berkata lain. Pasien yang telah koma dari seminggu ini, ternyata sudah meninggal dua jam yang lalu." ungkap si dokter.
Keisya benar-benar merasa hancur. Ia duduk di depan ruang rawat tempatnya Dion dengan tubuh yang lemas. Rambutnya sudah acak-acakan karena terus menerus melukai dirinya sendiri.
"Gue nggak nyangka Dion udah ninggalin gue dua jam yang lalu ... Gue kira dia masih koma dan masih bisa diselamatkan, tapi nyatanya apa? Dia udah pergi jauh." Suara gadis itu semakin menangis.
"Kenapa nangis? Hm? Malem-malem gini nangis sendirian, kenapa?" Suara seseorang di belakang Keisya.
Entahlah. Keisya tak ingin menoleh dan tak ingin tahu siapa yang menepuk bahunya. "Diem ah! gue lagi sedih! Orang yang gue sayang pergi ninggalin gue, padahal gue sayang sama dia." Curhatnya tak peduli.
"Sedih boleh, berlebihan jangan." ujar seseorang itu lembut.
"Jangan cuma ngomong! Tau aja kagak apa yang gue rasain sekarang!" ketusnya tetap tidak menoleh seraya menutupi wajahnya.
Seseorang tersebut terkekeh pelan. "Yaudah, saya pinjamkan tubuh saya buat kamu peluk." kata seseorang itu berdiri di belakang Keisya.
Akhirnya gadis itu pun nurut pada seseorang itu. Ia pun memeluk seorang laki laki tersebut.
"Huaa ... Gue sedih ..." rengeknya belum mengetahui wajah laki-laki itu.
"Liat saya coba,"
Deg.
Jantungnya seolah berhenti sejenak. "Di-Di-Dion? Ini beneran Dion? Sumpah gue nggak mimpi kan?" ucapnya tak percaya.
Dion terkekeh. "Lah emang siapa lagi?" tanyanya yang sudah berpakaian hoodie hitam dan celana hitam.
"Kok pake baju biasa gitu, kayak bukan abis kecelakaan. Tadi bukannya lo udah meninggal ya? Kok lo di sini? Atau jangan jangan lo ini—"
"Sstt, ini gue Ravendra Octa Dion. Gue masih hidup. Yakali aja gue udah mati," sahut cowok itu menutup mulut gadis di depannya dengan telunjuk tangan.
Keisya menepuk pipinya tak percaya. "Serius? Ini Dion masih hidup? Tapi kok pake hoodie, terus yang tadi dibilang meninggal siapa?"
"Keisya kalo sedih nggak inget sama apa-apa ya? Yang namanya ruang rawat di rumah sakit itu belum tentu cuma ada satu brankar. Nah, di samping kasur gue itu ada orang lagi. Namanya Gion, dia kecelakaan katanya tapi udah meninggal dua jam lalu." Penjelasan Dion menatap Keisya lekat.
"Terus kenapa udah pake hoodie?" tanya gadis itu masih bingung.
Dion memegang tangan Keisya, namun gadis tersebut menepis tangan Dion. "Nggak usah pegang-pegang!"
"Ya ini Devan yang ngasih ke gue, semalem lo kan nggak dateng, nah si Devan dateng pas gue baru siuman." jelas cowok itu menghela napas sabar.
Dulu Dion yang cuek dan datar sama Keisya. Lah sekarang malah Keisya yang cuek sama Dion. Sebenarnya mereka itu saling sayang apa nggak sih?
"Kenapa lo dateng dari luar ruangan lo? Hah? Jawab!"
Dion memasang wajah seolah tidak ada apa-apa. Ia tak ingin Keisya mengetahui tentang mengapa ia keluar dari ruang rawatnya.
"Ketemuan sama papa gue tadi."
"Kenapa nggak di dalem aja?" Keisya menaikkan satu alisnya.
Dion membuang muka.
"Udahlah, Sya. Kalo emang lo nggak suka gue masih hidup, yaudah tinggalin gue aja. Lo curiga kan sama gue kenapa bisa di luar ruang rawat? Lo boleh kok silahkan benci sama gue, lo mau cari cowok yang lebih ngertiin lo tanpa pernah nyakitin lo itu boleh. Silahkan, gue cuma mau lo bahagia, Sya. Meski bukan gue orang yang akan lo banggain sebagai suami terbaik lo nantinya." Ucapan Dion sungguh menusuk perasaan Keisya.
Air mata Keisya sudah mengalir deras sejak tadi. Ia terus menatap Dion yang mengucapkan kata kata itu entah apa maksudnya. Padahal, ia hanya khawatir pada keadaan Dion.
"Kenapa lo ngomong kayak gitu?" Keisya menyeka air matanya.
"Dari awal gue siuman, gue nggak liat lo, Sya. Semalem, gue kira lo lagi nunggu gue bangun di sini. Tapi apa? Lo nggak ada di sini, lo punya temen baru namanya Aldo. Cowok yang dulu pernah lo tolak dia mentah-mentah, dan sekarang lo nyesel sampe akhirnya semalem lo main kan sama dia?" Ujar Dion tanpa menatap Keisya.
"Lo nggak berhak buat ikut campur tentang masa lalu gue, Di. Di sini gue terus-terusan nangis berharap lo masih hidup. Jujur, gue emang nyesel pernah nolak Aldo. Sekarang gue tanya, lo tau semua ini dari siapa?" Nah, kini pertanyaan Keisya beralih kepada Dion.
"Bunda lo," celetuk jawaban Dion mampu membuat Keisys terdiam.
Dion masih menatap ke arah lain. Ia menghindari kontak mata dengan Keisya. "Jangan anggap cowok cuek itu nggak pernah ngejar seseorang, Sya. Justru cowok yang cuek dan lebih milih diam adalah cowok yang pernah tersakiti dan pada akhirnya milih jadi cuek. Satu lagi, setianya cowok cuek itu nggak main-main, Sya. Sekali kecewa udah nggak mau kenal lagi." jelas Dion membuat Keisya semakin menyesal.
Dion terkekeh melihat gadis itu menangis sejadi-jadinya. Lalu ia memeluk Keisya.
"Maaf ... Nggak lagi-lagi deh, jangan nangis terus dong. Sakit aku dengernya." Nada Dion berubah jadi lembut banget.
Keisya yang terlihat mungil ketika dipeluk Dion pun mendongak sebal. "Terus penyakit lo gimana?"
"Alhamdulillah bisa diselamatkan, kirain kemaren gue mau mati beneran, eh pas mau jalan tiba-tiba gue ngeliat lo di bawah lagi nangisin gue. Di situ gue bingung, akhirnya gue inget kalo malem itu gue kecelakaan dan mungkin gue mau dijemput tapi nggak jadi."
Keisya mendadak terkejut ketika melihat pasien yang sudah meninggal di bawa ke ruang jenazah. "Argh! Aaa ... Gue takut!" teriak gadis tersebut langsung dipeluk oleh Dion.
"Sshtt ... Jangan teriak-teriak. Gue tau lo kaget, tapi jangan teriak ya? Udah udah, cup cup cup ... Balik yuk? Mau beli apa? Laper nggak?" Buset sejak kapan Dion jadi baik banget? Perhatiannya gila!
"Balik aja langsung, eh beli cemilan aja deh sama minuman." Keisya cengengesan.
"Yaudah ayo, gue udah urus administrasi dan sekarang gue anter lo pulang ya?" ucap Dion sambil mengacak-acak rambut Keisya.
Keisya pun berdecak kesal. "Ngeselin banget sih! Benerin nggak rambut gue?!" jengkelnya sambil melotot.
Dion tertawa kecil, "Iya- iyaa. Maaf yaa." Dion merapikan kembali rambut Keisya.
"Nah, gitu dong!"