"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 | Mau Jadi Temanku?
“Kenapa kamu nggak bareng teman-temanmu ke lapangan tadi?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan di antara kami.
Suara Nara mengalun tenang, tapi cukup untuk mengusik pikiranku. Aku terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin aku bilang aku sengaja menghindar karena takut menjadi bahan gosip lagi. Terlalu banyak bisik-bisik yang sudah kudengar selama ini dan aku muak karenanya.
“Aku izin nggak ikut olahraga,” jawabku singkat, mencoba mengakhiri topik itu secepat mungkin.
“Kenapa? Kamu sakit?”
Aku menoleh sekilas, hanya untuk menangkap tatapan Nara yang membuatku gelisah. Dia menatapku dengan serius, sesuatu yang jarang kulihat darinya. Biasanya, Nara adalah sosok yang ceria, suka bercanda, dan cenderung cuek. Tapi kali ini? Pandangan itu terlalu tajam, terlalu perhatian.
Aku menunduk, menghindari kontak mata itu. “Iya, mungkin,” gumamku, mencoba mengalihkan perhatian.
Aku berharap dia akan menyerah, berhenti bertanya, dan kembali seperti biasa. Namun, Nara bukan tipe yang mudah menyerah.
“Sakit apa?” tanyanya lagi, suaranya lembut, tapi cukup menekan untuk membuatku merasa terpojok.
Aku menghela napas pelan. Nara memang seperti itu, selalu ingin tahu, tapi tidak dengan cara yang menyebalkan. Meski begitu, sejuta pertanyaannya cukup membuatku kerepotan. Aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya tanpa membocorkan rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat.
“Aku nggak papa, kok. Nanti juga sembuh,” jawabku, berusaha terdengar santai.
Aku memandangi daun-daun yang berguguran di atas kepala kami. Matahari sore menyelinap di antara ranting-ranting pohon, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di tanah.
“Tapi kelihatannya kamu lagi banyak pikiran. Wajahmu kelihatan pucat,” katanya sambil menatapku.
Kata-kata itu membuatku sedikit tersentak. Apakah aku terlihat seperti itu? Aku selalu berusaha menyembunyikan semuanya, menyimpan masalahku sendirian.
“Aku serius, Nara. Aku nggak apa-apa,” balasku dengan senyum kecil yang kupaksakan.
Tapi Nara tidak berhenti begitu saja. “Aura...” Suaranya lebih pelan sekarang, seakan mencoba menembus dinding yang susah payah kubangun selama ini. “Aku tahu kalau kamu lagi kenapa-napa.”
Aku terdiam. Kata-katanya menyelinap masuk, menciptakan gemuruh kecil di hatiku. Dadaku berdegup lebih kencang dari biasanya, seperti ada alarm yang tiba-tiba berbunyi. Bagaimana dia bisa tahu? Apakah aku terlihat selemah itu?
“Aku beneran nggak apa-apa, kok.” Aku memaksakan senyum hangat, berharap bisa mengusir rasa gelisah yang mulai menyergapku.
Namun, tatapannya tetap menusuk, seperti mencoba mengurai kebohongan yang kuselipkan di balik senyumku. Mata Nara adalah jenis mata yang sulit diabaikan, tajam tapi penuh ketulusan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya menghela napas panjang.
“Ya sudah,” katanya sambil mengangkat bahu, nadanya terdengar menyerah meskipun aku tahu dia belum sepenuhnya puas. Dia bersandar santai di bangku taman dan menatap langit sore yang mulai berubah warna. “Buruan kerjain tugasmu itu.”
Ada kelegaan yang membanjiri diriku saat dia berhenti bertanya, meski masih tersisa rasa bersalah yang mengintip di sudut hatiku. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang hangat, seperti selimut tipis yang membungkusku di tengah udara dingin. Baru kali ini ada seseorang yang benar-benar peduli, yang mengkhawatirkanku lebih dari sekadar basa-basi.
Aku menghela napas pelan dan membuka bukuku lagi. Mataku menatap halaman yang penuh dengan tulisan, tapi pikiranku mengembara. Sesekali aku melirik ke arahnya. Nara tetap di sana, bersandar di bangku dengan kepala sedikit menengadah, menatap langit. Ada senyum kecil di wajahnya, senyum yang membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya dia pikirkan.
Mungkin dia bosan, mungkin dia hanya menikmati waktu luangnya, atau mungkin... dia hanya ingin memastikan aku tidak sendirian.
Kami tidak banyak bicara setelah itu, tapi kehadirannya cukup membuat suasana terasa berbeda. Teduh, sama seperti taman ini, dengan daun-daun yang terus berguguran di sekeliling kami. Angin sore bertiup lembut, menyapu rambutku yang sedikit berantakan. Sesekali, aku menyelipkan helai-helai yang terlepas ke belakang telinga sambil terus berpura-pura fokus pada tugasku.
Namun, pikiranku terus melayang ke arah Nara. Dia benar-benar berbeda. Saat teman-teman lain sibuk dengan urusan mereka sendiri, dia memilih untuk duduk di sini bersamaku, tanpa alasan yang jelas.
“Aura,” panggilnya tiba-tiba, memecah lamunanku.
Aku menoleh, mencoba menyembunyikan keterkejutanku. “Kenapa?”
Dia tersenyum tipis, pandangannya santai seperti biasa. Tapi kali ini, ada sesuatu di balik senyumnya yang membuatku ingin tahu lebih banyak.
“Tahu nggak? Kamu itu aneh.”
Keningku berkerut. “Aneh? Maksudnya?”
“Ya, aneh,” jawabnya sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya, seolah mencari cara yang tepat untuk menjelaskan. “Kamu pendiam banget. Itu ngebuat aku ingin jadi teman buat kamu.”
Aku mengerjap, tidak tahu harus merespons bagaimana. Kata-katanya seperti anak panah yang tepat mengenai sasaran. Nara, cewek itu, entah kenapa aku merasa dia peduli padaku. Sama seperti Ryan dulu. Tapi, aku tidak yakin apakah ini benar-benar kepedulian... atau sekadar rasa kasihan.
“Aku... hm, aku...” Kata-kataku tertahan di tenggorokan. Aku ingin bilang sesuatu, tapi suara itu tidak pernah keluar.
Tiba-tiba, Nara menggenggam pundakku. “Mulai sekarang kamu anggota baru gengku!” katanya dengan nada penuh semangat.
Aku terperangah. “Geng?” tanyaku, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “Kamu punya geng?”
Dia mengangguk penuh percaya diri. “Iya, geng cewek-cewek culun, sih. Tapi anggotanya asyik-asyik kok!”
Aku menatapnya dengan campuran bingung dan heran. Nara ini serius atau bercanda? Wajahnya terlihat senang, tidak ada tanda-tanda dia sedang menggoda.
“Em...” Aku tergagap, tidak tahu harus berkata apa.
Ide menjadi anggota sebuah geng, bahkan jika itu geng cewek-cewek culun tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.
“Udah, nggak papa, Aura,” ujarnya dengan nada meyakinkan. “Lagian, kita ini lagi di masa SMA, tau. Masa-masa yang harusnya seru, banyak teman, dan penuh cerita. Kamu mau, ya?”
Dia menatapku dengan mata berbinar, penuh harapan. Tatapan itu seperti anak kecil yang meminta permen favoritnya di toko.
Aku terdiam sejenak. Di satu sisi, aku merasa canggung. Hidupku sejauh ini selalu berjalan tenang, bahkan terlalu tenang. Aku sudah terbiasa menyendiri, menghindari perhatian orang lain, apalagi terlibat dalam sesuatu seperti geng. Tapi di sisi lain, tawarannya terasa begitu tulus, begitu penuh niat baik.
“Nara...” Aku akhirnya membuka suara, meskipun masih ragu-ragu. “Kenapa kamu mau aku ada di gengmu?”
Dia tertawa kecil, suaranya ceria seperti musik latar yang menyenangkan. “Karena aku pikir kamu bakal cocok sama kita. Lagi pula, geng ini bukan geng yang ribet atau penuh drama. Kita cuma kumpulan cewek-cewek yang suka ngobrol, ngerjain tugas bareng, dan... ya, kadang makan-makan, jalan-jalan. Seru, kan?”
Aku menggigit bibir bawahku, mencoba memproses semua ini. Tawaran itu terdengar sederhana, tapi juga cukup besar untuk seseorang sepertiku yang selama ini lebih nyaman dengan duniaku sendiri.
“Jadi gimana?” Nara bertanya lagi.
...»»——⍟——««...