"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Alea menahan sakit karena cengkraman Seno semakin menguat saat ia diam saja dan tidak lekas menuruti permintaannya.
'Ingat, nasib Bi Ningsih tergantung padamu!'
Ancaman Arka kembali terngiang dalam benaknya dan itu sungguh mengganggunya.
"Saya sudah menyiapkan apartemen untuk kamu tinggali sebelum hari pernikahan tiba, Ilyas akan mengantarmu ke sana dan kamu tidak perlu lagi kembali ke rumah mereka!" ucap Seno serius.
Arka, Raya dan Bianca terbelalak terkejut.
'Apartemen?... Tidak, Alea tidak boleh mendapatkannya!' batin Bianca dipenuhi ke-irian.
"Emm, Seno, maaf. Alea sudah memutuskan untuk kembali ke rumah Ravindra dan tetap tinggal di sana hingga hari pernikahan tiba," sela Bianca. "Benarkan, Pa? ... Alea?"
Sekali lagi Arka meremat lengan Alea dan akhirnya Alea mengangguk. Alea tidak mengerti mengapa Arka menjadi sekasar ini sekarang, dulu meskipun Arka mengabaikannya tapi pria itu masih bersikap baik dan tidak pernah berlaku kasar baik dari segi bicara maupun tindakan.
Dahi Seno mengernyit. Gadis yang beberapa saat lalu menggebu-gebu ingin memutuskan hubungan keluarga, kini berubah pikiran dan tampak sangat patuh pada keluarganya.
"Ada yang mau kamu katakan?" tanya Seno sembari menatap Alea intens penuh kecurigaan.
Alea menggeleng pelan. "Aku akan tetap tinggal bersama mereka sebelum hari pernikahan!"
Seno hendak kembali membuka mulutnya tetapi paman Emir tiba-tiba menyentuh pundaknya dan menyela.
"Tidak apa-apa, kami mengerti!" ucapnya seraya mengulum senyum, Eyang Elaine sudah memberinya kode sejak tadi.
Setelahnya dua keluarga tersebut berpisah di pelataran rumah sakit dan kembali ke tempat tinggal masing-masing.
Pukul tujuh pagi Seno, Eyang Elaine dan Paman Emir sudah berkumpul di meja makan. Namun, seorang asisten rumah tangga menghampiri Eyang dan berbisik di telinganya.
Eyang mengangguk mengerti dan asisten rumah tangga itu pergi setelah mengutarakan keperluannya.
"Ada apa, Mom?" tanya Paman Emir yang penasaran karena wajah Eyang yang terlihat serius.
Menghela nafas berat Eyang menjawab. Ada tamu diluar, Eyang sudah meminta salah satu dari mereka untuk membawanya masuk
Tak lama kemudian, suara derap langkah kaki yang sepertinya berjumlah lebih dari satu orang terdengar semakin mendekat.
"Selamat pagi, Eyang!" sapa Zea lembut dan di sebelahnya berdiri seorang pria tua dengan tongkat di tangannya.
"Pagi, Zea, Kak Ian," jawab Eyang ramah.
"Elaine, pindah kamu!" titah pria tua yang dipanggil oleh Kak Ian oleh Eyangnya
Seno yang tidak terima Eyangnya diperlakukan seperti itu menatap marah, mulutnya sudah bersiap melontarkan kalimat sadis, tetapi Paman Emir menahannya.
Eyang Elaine berpindah ke sebelah kanan sebuah kursi kosong tanpa menolak apalagi mendekat, sedangkan Kakek Ian kini menempati kursi Eyang semula, kursi kepala keluarga.
"Ada yang ingin aku bicarakan setelah sarapan!" ucapnya ketus seraya memandang Eyang, Paman Emir dan Seno bergantian.
Eyang Elaine lalu meminta pelayan menambah alat makan.
"Zea, sarapan yang banyak!"
"Tentu, Kakek!" jawabnya riang sembari melirik Seno malu-malu.
Mereka menikmati sarapan dalam diam, hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring beberapa kali terdengar.
Selesai sarapan Eyang meminta mereka semua pindah dan berkumpul di ruang tengah.
"Kalian semalam kemana, cucuku datang tapi kalian malah pergi, dia sudah bersemangat datang ke sini sejak menginjakkan kakinya di Bandara!"
"Kebetulan saat Zea datang, kami sudah akan pergi, Kak. Zea juga tidak keberatan, bahkan dia mengatakan akan datang lagi esok hari!"
Kakek Ian mendengus. "Kalian akan kemana?"
"Menghadiri acara klien!" jawab Eyang berbohong.
"Jangan berbohong, Elaine. Zea melihat Seno memakai topeng yang membuat wajahnya tampak mengerikan, acara apa yang membuat tamunya harus mengenakan topeng jelek seperti itu!" ketusnya.
"Kita menghadiri dua tempat yang berbeda, Om. Aku menemani Seno menghadiri pesta yang diadakan oleh anak dari salah satu Klien Ravindra Grup, yang memang tema acaranya memakai topeng dan kebetulan saat Zea datang hanya Seno yang memakai topeng, padahal ketika di tempat acara aku juga memakai topeng yang serupa," timpal Paman Emir membantu menjelaskan.
"Lalu kenapa kalian tidak mengajak Zea dan malah memintanya pulang?"
Kemarin malam, Zea baru saja tiba tapi cucu perempuan kesayangannya itu gegas pergi ke kediaman Ravindra untuk menyapa anggota keluarga di sana.
Namun, Zea harus menelan kekecewaan karena seluruh anggota keluarga hendak pergi, mereka tahu kedatangannya tapi tidak menawarkan dirinya untuk ikut, ia pulang dalam keadaan marah dan tidak bersemangat, hingga Kakek Ian tak terima dan di sinilah dia sekarang.
"Kenapa kami harus membawanya?" tanya Seno dingin.
Ia benci sekali pria tua yang suka seenaknya memberi perintah itu.
"Kenapa?" Kakek Ian memicing tajam.
"Zea adalah calon istrimu, Seno. Kamu harus memperlakukannya dengan baik!" hardiknya.
Seno yang mendengar mendecih sinis, menatap Kakek Ian berani. "Kamu bukan siapa-siapaku, tidak punya hak untuk menentukan aku akan menikah dengan siapa dan lagi-." Seno mengalihkan pandangannya pada Zea yang netranya tampak memerah. "Banyak pria diluar sana, kamu hanya perlu memilih salah satu dari mereka dan katakan pada Kakekmu maka kamu akan mendapatkannya, tapi jangan berharap jika pria itu adalah aku!"
Brak!!
Kakek Ian menggebrak meja hingga meja kayu berbentuk klasik tersebut bergetar dan sedikit bergeser dari tempatnya semula.
Kakek Ian tidak tahan melihat Zea menundukkan kepala serta wajah sedihnya.
"Dasar, bodoh," umpatnya menatap Seno marah. "Zea gadis yang baik, pintar dan berprestasi, apa kurangnya cucuku sampai kamu menolaknya? Kita juga masih keluarga, kalau kamu menikah dengan Zea harta keluarga Ravindra tidak akan lari pada orang lain!"
"Kakek, tidak apa-apa, Zea mengerti perasaan Seno. Ayo Kakek kita pulang, tidak baik membuat keributan di rumah orang pagi-pagi begini!" Zea berucap lembut lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri Kakek Ian untuk membantunya berdiri.
"Tunggu, Zea, mereka harus tahu diri dan seharusnya mereka membalas budi. Pengorbanan orang tuaku untuk perusahaan sangat besar, sudah seharusnya mereka bertanggung jawab untuk menyenangkanku. Apa salahnya menikahimu?" Kakek Ian berbicara dengan dada kembang kempis karena emosinya yang meluap-luap.
Eyang menghela nafas panjang. "Kak, perusahaan mana yang ada andil perjuangan orang tuamu? di dalamnya sudah menjadi milikmu, almarhum suamiku sudah suka rela menyerahkannya padamu, dia hanya mengambil sebagian kecil dari haknya, kamu tidak bisa terus-menerus menuntut apalagi meminta Seno menikahi Zea, itu tidak bisa karena sudah tidak ada sangkut pautnya!" ucap Eyang Elaine tegas.
Demi cucunya, Eyang berani membantah Kakek Ian. Pria itu adalah orang yang licik dan Eyang sangat membencinya sejak dulu, tetapi karena menghormati almarhum suaminya Eyang Elaine tidak pernah melawan.
Kakek Ian melotot tak terima. "Kamu berani membantahku, Elaine?"
Zea terburu-buru menyela tidak ingin perdebatan semakin panas.
"Eyang, Seno, Paman, maaf jika kedatangan Zea dan Kakek menganggu. Kami pulang dulu!" pamitnya lalu menuntun Kakek Ian keluar.
Eyang menghela nafas panjang menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, memperhatikan punggung keduanya yang sudah menghilang di balik dinding.
"Kenapa kamu menghentikan Kakek, jika kita menekannya Kakek yakin Seno pasti mau menikahimu!" ucap Kakek Ian saat Zea membantunya masuk ke dalam mobil.
Zea memutar lalu masuk di bagian kursi kemudi, menyalakan mesin dan melajukannya berbaur dengan kendaraan lain.
"Zea!" panggil Kakek ian tak sabar karena Zea tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Zea terkekeh. "Kakek sangat tidak sabar!"
Kakek Ian mendengus kesal, merasa dipermainkan oleh cucu semata wayangnya. "Katakan pada Kakek apa rencanamu!"
Senyum di bibir Zea mengembang, sorot mata lembut sudah tidak ada lagi, berganti dengan tatapan penuh ambisi.
"Kakek akan tahu nanti," ucapnya sembari menyeringai.
"Ingat, jangan mengecewakan kakek. Kamu harapan kakek satu-satunya setelah kedua orang tuamu yang payah!"
Zea tertawa. "Kakek tenang saja, aku juga tidak mencintai Seno, tidak mungkin aku membiarkannya menikahi wanita lain!"
Kakek Ian tersenyum bangga, Zea lebih menuruni sifatnya daripada ayah dan ibunya sendiri.
Kepergian Kakek Ian dan Zea membuat mood Seno, Paman Emir dan Eyang Elaine memburuk.
"Sudah benar kita merahasiakan pernikahan Seno dengan Alea, jika mereka tahu pasti mereka akan berusaha menghancurkannya!"
"Tumben otakmu berguna, Paman!"
Bugh!
Paman Emir meninju lengan Seno yang sekeras batu. "Otakku selalu berguna!"
"Sudah, ayo Emir temani Mommy mencari gedung untuk pernikahan Seno!" Eyang beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah kamarnya untuk bersiap.
"Om Ian sangat serakah, aku tidak mengerti kenapa almarhum kakek dan nenek buyutmu mengangkatnya sebagai anak!" keluh Paman Emir yang muak menghadapi segala tindakan menyebalkan dari Kakek Ian.
Seno melirik sinis. "Jangan pura-pura lupa, seharusnya Paman tahu asal muasal Kakek Ian berada di lingkup keluarga kita, pada saat itu Paman sudah lahir!"
"Ah, benar juga."
Paman Emir berusaha keras mengingat kejadian yang telah lampau tetapi sekeras apapun yang mencoba ingatannya tidak berhasil, mungkin pada saat itu usianya masih dibawah 10 tahun sehingga otaknya tidak bisa merekam keseluruhan kejadian.
"Ayo!" Eyang Elaine menghampiri keduanya dengan penampilan yang sudah lebih rapi.
Meskipun malas, Paman Emir tetap bangkit dan berjalan mengikuti Eyang yang lebih dulu pergi.
"Semangat!" Seno mengangkat satu tangannya memberi semangat agar Paman Emir sabar menghadapi tingkah Eyang nanti.
Sedangkan Seno, ia mendorong kursi rodanya ke ruang kerja, ia akan memeriksa email yang sudah dikirimkan Ilyas.
***
Pukul 10 siang, Alea sudah rapi hendak pergi ke kampus dan saat melewati pintu gerbang, satpam yang berjaga menyapanya.
"Mau ke kampus ya, Neng?"
"Iya, Mang," jawab Alea seraya tersenyum, ia lalu berjalan kaki menuju halte terdekat menunggu bus yang lewat.
Tin!
Tin!
Suara klakson mobil menyentak Alea. Sebuah mobil berwarna biru melaju pelan menyamai langkahnya. Kaca jendela sebelah kiri terbuka dan tampaklah Bianca menyeringai sinis ke arahnya.
"Hei, anak haram. Selamat berkeringat menikmati panasnya terik matahari," ejeknya lalu disusul tawanya yang meremehkan.
Alea mengeratkan genggamannya pada tas dan buku dalam dekapan, tidak membalas ucapan Bianca dan hanya memperhatikan mobil yang dikendarai Bianca melaju menjauh meninggalkannya. Selain ancaman Arka pada Bi Ningsih, Alea tidak mempunyai kekuatan apapun untuk memulai pertempuran, meskipun keluarga Ravindra terlihat baik padanya tapi Alea belum bisa percaya ataupun bergantung pada mereka. Apalagi saat mendengar obrolan Eyang dan Bianca di rumah sakit, Alea berpikir Eyang bisa saja terhasut oleh Bianca.
Oleh sebab itu, selain mengajukan pemutusan hubungan keluarga setelah menikah dirinya minta diizinkan untuk tetap menempuh pendidikan. Pendidikan sebagai salah satu ladang ilmu dan jalur bagi Alea untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan bisa menghasilkan banyak uang, meskipun kesuksesan tak selalu berhubungan dengan pendidikan.
Menaiki bus dan tiba di kampus 30 menit kemudian, seperti biasa Ivy sudah menyambutnya begitu Alea memasuki gerbang kampus.
"Kamu kemana aja, nggak masuk kelas juga nggak ada kabar, dihubungi juga nggak bisa. Kamu nggak dianiaya sama mereka 'kan ?" cerocos Ivy tanpa henti lalu memegang kedua bahu Alea dan memutarnya ke kanan dan kiri.
"Aku baik-baik saja!"
"Syukurlah!" Ivy menghela nafas lega mendengarnya.
Keduanya lalu berjalan bersama memasuki area kampus. Berpisah di koridor karena kelas mereka berbeda dan berjanji bertemu lagi nanti di taman.
Setelah setengah hari penuh melewati hari yang melelahkan mendengar dosen mengajar, Alea dan Ivy bersantai di taman kampus sesuai janji mereka.
"Mereka sudah melakukan pembayaran dan puas dengan hasil desainmu, beberapa bulan lagi mereka akan launching produk sepatu dan akan menggunakan jasa kita lagi. Ya, aku harap mereka tidak berubah pikiran sampai saatnya tiba!"
Alea menatap sahabat satu-satunya yang ia miliki dengan tatapan teduh.
"Ivy!"
Ivy yang mengoceh sembari menatap layar laptop mendongak. "Hmm?"
"Terima kasih!" ucapnya tulus.
Ivy memicing. "Ada apa?"
Alea mengulum senyum. "Aku akan ...."