Kiana hanya mencintai Dio selama sembilan tahun lamanya, sejak ia SMA. Ia bahkan rela menjalani pernikahan dengan cinta sepihak selama tiga tahun. Tetap disisi Dio ketika laki-laki itu selalu berlari kepada Rosa, masa lalunya.
Tapi nyatanya, kisah jatuh bangun mencintai sendirian itu akan menemui lelahnya juga.
Seperti hari itu, ketika Kiana yang sedang hamil muda merasakan morning sickness yang parah, meminta Dio untuk tetap di sisinya. Sayangnya, Dio tetap memprioritaskan Rosa. Sampai akhirnya, ketika laki-laki itu sibuk di apartemen Rosa, Kiana mengalami keguguran.
Bagi Kiana, langit sudah runtuh. Kehilangan bayi yang begitu dicintainya, menjadi satu tanda bahwa Dio tetaplah Dio, laki-laki yang tidak akan pernah dicapainya. Sekuat apapun bertahan. Oleh karena itu, Kiana menyerah dan mereka resmi bercerai.
Tapi itu hanya dua tahun setelah keduanya bercerai, ketika takdir mempertemukan mereka lagi. Dan kata pertama yang Dio ucapkan adalah,
"Kia, ayo kita menikah lagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana_Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
(Untuk membaca cerita ini, pastikan selalu lihat tanggalnya ya)
...14 April 2023...
Rosiana Sjahna Harmanto adalah si jelita yang lahir dengan sendok emas di mulutnya. Sebagaimana Dio, Rosa –sapaannya– juga merupakan anak pengusaha kaya raya. Keduanya berteman sejak kecil. Keduanya sempat berpacaran namun kemudian putus. Dio memilih lanjut kuliah di ENS Paris ketika Rosa memilih Stanford untuk mengenyam pendidikannya. Meski begitu, mereka berdua bertemu kembali ketika keduanya berlibur bersama keluarga masing-masing di Belanda.
Mereka berdua jatuh cinta kembali.
Merajut kasih kembali.
Meski akhirnya kandas sebulan sebelum akhirnya Dio menikahi Kiana.
Kiana mendengus kesal. Pertemuannya dengan Dio di Bandung seminggu lalu mengembalikan ingatannya terlalu jauh. Sangat jauh. Bahkan sampai pada kilas balik tentang Rosa yang pernah diceritakan oleh Nabila –sepupu Dio– pun mampir di kepalanya. Perempuan yang membuat Kiana melihat punggung Dio setiap kali meninggalkannya.
Di setiap saat Rosa membutuhkan.
Di setiap waktu ketika Rosa bersedih.
Dio berlari ke arahnya kembali.
Getar ponselnya menyadarkan Kiana. Ada sebuah pesan dari nomor baru yang tentu diyakininya adalah milik laki-laki itu. Siapa lagi bila bukan Dionata Dierja.
"Eyang pengen ketemu kamu. Aku juga sudah bilang kalau kita akan rujuk."
Kiana kesal.
Ia tidak pernah ingat mengatakan setuju soal ajakan laki-laki itu untuk bersama lagi. Kiana menolak dengan sejelas-jelasnya. Bagaimana pun, Kiana masih tidak punya pertahanan diri yang cukup untuk tidak terpedaya kembali oleh rasa cintanya pada Dio.
Kiana memilih mengabaikan pesan Dio. Ia tidak berniat kembali pada mantan suaminya itu. Permasalahannya akan dihadapi sekuat tenaga seorang diri. Meski berat, Kiana yakin ia mampu. Tepat ketika fokusnya pada buku kembali, ponselnya bergetar.
Nomor baru lagi, batin Kiana.
Namun anehnya, kali ini bukan pesan melainkan raungan panggilan. Satu, dua, lima kali Kiana mengabaikan. Masih keras kepala, nomor baru itu terus memanggil. Kiana kesal namun tak urung akhirnya dijawab juga.
"Hallo, dengan ibu Kiana?"
Suara seorang pria di seberang sana, tapi bukan suara Dio yang dihindarinya. Itu suara pria asing yang terasa begitu gugup dan membuat jantung Kiana berdetak tak keruan.
"Betul ini saya."
"Saya Markus, ibu Atiqa mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dalam penanganan dokter. Silakan ibu Kiana datang ke rumah sakit Tjipto segera."
Kiana terhenyak.
Kata demi kata yang diucapkan pria diseberang sana seperti dengungan lebah. Terlalu sulit didengar dan dimengerti. Mamanya hanya pamit pergi ke supermarket membeli beberapa bahan masakan. Bagaimana mungkin itu bisa menjadi begitu fatal dan menyakitkan.
Kiana bangkit. Tubuhnya yang gemetar dipaksanya berpikir. Ia berjalan tergesa dengan langkah sedikit terhuyung menuju keluar rumah. Tak ada taksi yang lewat, pun transportasi online yang tidak kunjung menerima order darinya.
Kiana makin kalut.
Tepat ketika ia akan berlari seperti orang gila, sebuah mobil berwarna putih berhenti tak jauh darinya. Pintunya terbuka, tergesa seseorang berlari ke arah Kiana dan mendekapnya. Itu Dionata Dierja. Mantan suaminya.
"Aku antar kamu."
Kiana yang setengah linglung memilih menurut. Ia tidak mendebat. Toh tidak penting siapa yang mengantarnya sekarang. Bagi Kiana, keselamatan ibunya adalah prioritas utama. Kiana menurut ketika Dio membukakan pintu dan menyuruhnya duduk di samping kursi kemudi. Setelahnya, Dio masuk dan segera menjalankan mobil menuju rumah sakit di mana mantan mertuanya sedang dalam penanganan dokter.
Perjalanan yang sepi itu berlalu dengan iringan isak tangis Kiana. Membuat laki-laki di sampingnya mengulurkan sebuah tisu agar Kiana bisa mengusap wajahnya yang basah oleh air mata.
"Mama pasti baik-baik aja."
Dio mengatakan itu tepat dengan jemarinya yang menggenggam tangan Kiana lembut. Diupayakannya mengalir sedikit kekuatan agar Kiana lebih tenang. Tak diburu kalut dan kekhawatiran berlebih. Meski sebenarnya, Dio juga memang penuh kekhawatiran.
Mama Kiana, Atiqa Nagara, hanyalah perempuan bersahaja yang usianya kini diangka kepala lima. Belum genap dua minggu ditinggalkan sang suami, pun dihadapkan pada beberapa masalah terkait warisan dan asset peninggalan. Padahal, dalam ingatan Dio, tak ada orang lain yang mencintai almarhum ayah Kiana melebihi mantan mama mertuanya. Menemani perjuangan suaminya dari nol hingga sukses. Meski dipertengahan jalan, almarhum mantan papa mertuanya menikah lagi dengan orang lain, perempuan itu masih bergeming dan bertahan hingga akhir.
Kiana pernah bilang, itu demi Kiana.
...^^^^^...
Dokter bilang, mama Kiana mengalami gegar otak ringan sebab mengalami benturan. Untungnya, itu tidak fatal. Beberapa luka pada lengan, perut juga kaki, semuanya sudah diobati dan tidak parah. Dengan kata lain, Kiana tidak perlu terlalu cemas.
Tepat ketika Kiana masih terduduk di sisi ranjang mamanya sambil menggenggam tangan mamanya, dua anggota polisi datang. Dio memilih yang menghampiri keduanya dan menyuruh Kiana untuk tetap di sana. Ia mengajak kedua polisi tersebut keluar ruangan untuk berbicara.
"Pelaku penjambretan sudah berhasil diamankan. Pelaku menarik tas korban yang sedang menaiki ojek online hingga korban terjatuh dan terseret sejauh 10 meter."
Dio mengangguk. "Saya akan tunjuk pengacara saya untuk mengurus masalah ini. Untuk sementara, ibu Atiqa belum bisa dimintai keterangan apapun sebab kondisinya belum memungkinkan."
"Baik, kami permisi dulu."
Dio kembali ke dalam dan mendapati Kiana tak lagi menangis. Perempuan itu masih bergeming, pandangannya yang kosong juga jemarinya yang memegang tangan mamanya erat, membuat Dio yakin bahwa Kiana benar-benar terguncang. Kepergiaan ayahnya, gugatan yang diajukan ibu tirinya, dan sekarang kecelakaan mamanya, bukanlah sebuah perkara mudah untuk dihadapi sendirian.
"Mama sebentar lagi juga sadar. Mama baik-baik aja, Kia."
Dio menghampiri Kiana. Tangannya mengusap pundak Kiana lembut. Ia ingin menguatkan Kiana.
"Ini bukan cuma kecelakaan. Ini pasti ada kaitannya sama Dewanti." Suara Kiana penuh kemarahan. Ia mendongak dan menatap Dio dengan lekat. "Kemarin, waktu pihak mereka datang ke rumah dan minta kami buat nyerah, lalu kami menolak ... mereka juga mengancam. Mereka mengancam aku sama Mama, Dio. Ini pasti ulah mereka."
Kiana tersedu. Napasnya memburu. Matanya bergerak gelisah diantara deraian air mata. Kiana meraih tangan Dio. Digenggamnya erat.
"Aku nggak punya power apapun sekarang, sebab apa yang kami miliki sudah pelan-pelan di rampas jauh-jauh hari." Sesaat Kiana menjeda. Air mata itu berhenti, sisa-sisanya dihapus Kiana dengan punggung tangan. "Kamu pasti nawarin bantuan itu karena sudah tahu, 'kan kami selemah apa sekarang? Iya, 'kan?"
Nada menuntut dari kata-kata Kiana tak di-iyakan oleh Dio. Sejatinya, memang betul. Ia dan eyang sudah saling bertukar pikiran perihal apa yang menimpa keluarga Kiana. Meski memang jahat bila dikatakan baik eyang maupun dirinya siap menawarkan bantuan dengan syarat diri Kiana. Pernikahan mereka kembali.
"Oke, fine! Kamu nggak mau bantu aku tanpa syarat itu, oke. Jadi kapan kita harus nikah? Sekarang? Kapan?" Kiana setengah berteriak, nada suaranya dipenuhi kalut.
"Kia ... calm down, tarik napas. Kia ...."
Dipeluknya Kiana sebab perempuan itu terus dipenuhi kekhawatiran. Tergesa suara, tindakan, juga campuran cemas dan ketakutan. Kiana setidakstabil itu hingga dengan satu gerakan saja, tubuh mungilnya berada dalam pelukan Dio. Diusapnya pelan punggung Kiana.
"Semua pasti baik-baik aja, Kia. Trust me."
Kiana tak menjawab. Ia hanya terus membenamkan wajahnya pada dada Dio dan menangis di sana. Tempat paling nyaman bagi Kiana sekaligus tempat paling tidak mungkin dimilikinya.
"Baju kamu kena ingus aku," lirih Kiana.
Sontak saja hal itu membuat Dio tak bisa menyembunyikan tawanya. Sebuah hal yang langka, hingga Kiana kontan mendongak dan mendapati pria itu tengah tertawa. Itu adalah tawa yang bisa memikat Kiana kapan saja. Sebab bibir Dio yang mirip dengan bentuk hati itu tertarik indah, menyajikan simpul menawan yang sialnya Kiana lagi-lagi tertawan.
"Ketawa kamu bagus."
Dio sadar Kiana memperhatikannya. "Aku rasa kamu benar."
"Boleh cium?"
Untuk sesaat, sesaat saja, Kiana sepertinya telah lupa bahwa Dio adalah hal yang tidak pernah bisa digapainya. Terlebih kini, ia tak memiliki hak apapun saat mengatakan hal tiba-tiba seperti itu. Hingga ketika Dio membeku di tempat lantas Kiana sadar, keduanya tiba-tiba saling melepaskan pelukan. Berdehem sesaat, Kiana mengalihkan pandangan.
"Marry me again, so we can do whatever you want, like kiss or ... everything."
^^^^^
Jangan lupa tekan like dan komentar ya
jahat bgt ih..
pgn tak geprek si dio