Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 34
"Fadli... Irma..." seru Mia. Segera dia lepas helm lalu menemui teman sekolahnya dulu. Rupanya Fadli membuktikan ucapanya, mengajak istrinya berkunjung ke kediaman Mia. Irma dengan Mia pun berpelukan terhalang perut gendut Irma yang sedang mengandung.
"Sudah berapa bulan Irma..." Mia mengusap perut Irma berkaca-kaca. Alangkah bahagianya orang yang di kasih kesempatan untuk mengandung.
"Sudah jalan sembilan bulan Mia" Irma mengatakan bahwa saat ini tengah cuti kerja.
"Alhamdulillah..." ucap Mia, lalu mengajak suami istri itu masuk. Irma mengedarkan pandangan ke ruangan tersebut. Walaupun rumah Mia masih model lama, tetapi sangat tertata, bersih dan juga Rapi.
"Kamu hanya tinggal sendirian Mia," Fadli pun memindai sekeliling.
"Iyalah, tapi aku selalu terima pesanan kue Fad, jadi rumah ini ramai terus" ucap Mia lalu ke dapur membuat minuman tidak lama kemudian sudah kembali.
"Ini cobain kue buatan aku, siapa tahu tetangga kalian ada yang ingin pesan," Mia menyuguhkan sepiring kue yang sengaja dia sisihkan tadi pagi.
"Enak banget Mia" Irma langsung saja nyomot satu, kemudian menggigit kue tersebut terasa enak lalu ambil lagi dan lagi.
"Kamu lapar apa doyan Ir" Fadli terkekeh, lalu melirik Mia.
"Biar saja, kamu juga makan dong Fadli," Mia mendekatkan piring ke depan Fadli. Tanta sungkan Fadli pun akhirnya nambah juga.
"Tuh kan, lapar apa doyan?" Irma meledek suaminya, tetapi Fadli hanya tersenyum.
"Mia... gue turut prihatin dengan rumah tangga loe dengan Slamet" ucap Irma hati-hati. Selama ini Irma tidak tahu yang terjadi dengan Mia, baru minggu lalu mendengar cerita Fadli ketika bertemu di taman.
"Aku sebenarnya sudah tidak memikirkan itu lagi Ir" Mia sebenarnya sudah ingin berdamai dengan masalalu agar hidupnya tenteram. Walaupun tidak Mia pungkhiri orang-orang dimasalalu itu masih saja mengganggu hidupnya.
"Ih, ada ya wanita yang melukai sesama wanita. Amit-amit... hal seperti itu jangan sampai menimpaku. Kalau hal itu terjadi aku akan menyunat pria dua kali," Irma menatap Fadli tajam.
"Kok jadi marah sama aku Ir" Fadli mengerutkan kening.
"Hihihi... kalian itu lucu" Mia cekikikan. Menatap Fadli nampak ngeri dengan tatapan Irma. Kedatangan kedua temannya itu menjadi hiburan tersendiri bagi Mia.
"Tapi aku salut sama kamu Mia, kamu bisa sekuat ini," Suara Irma lembut kembali.
"Aku tidak bisa mengubah dan memperbaiki masalalu yang telah terjadi. Karena itu pengalaman untuk masa kini. Setiap orang itu mempunyai masalah yang berbeda Ir. Menyenangkan, maupun menyedihkan, tetapi kalau masalah ini terus aku pikirkan, aku yang akan stres sendiri padahal masa depan aku masih panjang," Mia mengatakan lebih memilih mencari kesibukan yang menguntungkan daripada terus bersedih.
"Assalamualaikum..." Datang Jaka yang sedang melepas alas kaki di luar.
Mia menjawab salam bersamaan dengan Irma dan juga Fadli.
"Jaka... kok kamu tumben sih" Mia kaget, tidak menyangka jika Jaka datang juga.
"Aku di telepon Fadli Mia" Rupanya Jaka mendapat pesan dari Fadli mengajak ketemuan di rumah Mia. Tentu ini kesempatan untuk Jaka, kapan lagi bisa main ke rumah Mia. Sebab, Mia tidak pernah mengizinkan.
"Hais, loe ragu gitu mau ke rumah calon bini Jak" Kelakar Fadli. Memperhatikan Jaka yang melangkah masuk dengan langkah ragu-ragu.
Jaka tersenyum kecut, menatap Mia yang tengah tersenyum ke arah Fadli. Jaka kini tidak terlalu berharap, karena apapun yang dia lakukan untuk memiliki Mia merasa percuma. Karena hingga saat ini Jaka hanya di posisikan menjadi sahabat di hati Mia.
"Kok jadi pada tegang sih" Irma memecah keheningan.
Mereka pun ngobrol santai selayaknya sahabat, sambil minum kopi dan kudapan, selama satu jam lebih mereka tertawa gembira menceritakan masa-masa putih abu-abu.
"Aku pulang Mia, kalau sudah lahir nanti aku pesan jamu bersalin sama kamu,"
"Pasti, nanti aku buatkan yang spesial untuk kamu Ir. Gratis kok," pungkas Mia karena ketiga sahabatnya sudah menjalankan motor masing.
Tidak berselang lama setelah kepergian sahabatnya, mobil pick up datang mengirim pasir dan semen.
"Terimakasih Pak," ucap Mia ketika pasir dan semen sudah diturunkan di pinggir jalan.
"Sama-sama" Pria itu pun pergi akan mengangkut yang berikutnya. Mobil pun pergi mata Mia menangkap pria bertopi lengkap dengan masker nampak mondar mandir di gang tiga.
Tidak mau curiga, Mia mendekati gundukan pasir. Ia pandangi tumpukan semen, jika dia biarkan di pinggir jalan akan ke guyur hujan jika datang tiba-tiba. Inisiatif pun muncul, dia mencari gerobak pengakut pasir yang tersimpan di gudang.
"Alhamdulillah... masih ada" Mia ambil gerobak yang cat nya sudah hilang, kemudian dia ketuk-ketuk dengan telunjuk ternyata masih kuat. Mia letakan benda tersebut di teras, kemudian dia ke kamar mengenakan kaos dan celana tidak lupa topi.
Gredek Gredek
Mia dorong gerobak menimbulkan suara berisik, mata Mia lagi-lagi menangkap pria bertopi sudah berada dekat di gang samping rumahnya.
"Orang itu lagi" batin Mia curiga. Tetapi Mia pura-pura tidak tahu lalu mengangkat satu zak semen ke dalam gerobak. Namun, dia tetap waspada sepertinya pria asing itu ada maksud kurang baik.
Gredek Gredek Gredek
Mia mendorong gerobak yang sudah berisi dua zak semen lau meletakkan di teras rumah.Tanpa kenal lelah Mia bolak balik hingga puluhan kali.
Keringat bercucuran dia duduk di atas batu kali bagian material untuk beristirahat.
"Siapa yang memindahkan semen Mbak? Gotong royong sesama warga ya" tebak pengatar barang yang sudah mengantar kiriman berikutnya.
"Saya Pak, saya simpan di teras. Khawatir hujan soalnya," jawab Mia santai, lalu menunjukkan gerobak di sebelahnya.
"Mbak angkat sendiri?" Pihak pengantar barang nampak kaget, jarak dari material ke tempat ini tidak jauh, tetapi wanita itu cepat sekali bekerja, padahal jika di lakukan pria pun tak akan sanggup.
"Kalau gitu kita mundur saja, bisa masuk sampai teras rumah kan Mbak?" Supir tidak tega membiarkan perempuan bekerja terlalu keras.
"Bisa, tapi pas banget, Pak" Mia membiarkan pick up mundur, lalu mengedarkan pandanganya mencari sosok pria bertopi, tetapi sudah tidak terlihat lagi. Mia berjalan ke teras rumah, kali ini semen-semen tersebut diturunkan di teras.
"Terimakasih ya Pak," Mia memberi uang tip kepada supir dan kernet.
"Terimakasih Mbak, kita kan masih mengirim satu kali lagi" Supir pun pergi, Mia masuk ambil minum tanpa menutup pintu.
Setelah mencuci tangan, dia ambil air minum mengganti iyon tubuh yang sudah hangus terbakar.
"Hup" Tiba-tiba saja mulut Mia di bekap dari belakang.
Mia tidak bisa berbicara, tetapi tungkainya bergerak mundur menendang sekenanya tubuh pria.
Bruk.
"Siapa kamu?" Mia ambil pisau dapur menodongkan ke leher pria bertopi. Pria itu pun tidak bergerak wajahnya menunduk.
Mia tarik topi pria tersebut berikutnya Masker, kemudian melemparkan ke sembarang arah. Mia ingat orang inilah yang akan membunuhnya di angkutan seminggu yang lalu.
"Ino" Mia terkejut karena mengenal pria itu, tetapi si pria diam saja.
"Oh, jadi kamu orangnya yang akan membunuh saya? Siapa yang menyuruh kamu? Jawab?!" Mia berteriak mendekatkan pisau ke leher Ino, jika pria itu bergerak tentu akan tergores.
"Mia... ada apa Mia?" Teriak putri dari luar mendengar kegaduhan Putri pun berlari ke rumah Mia.
...~Bersambung~...