Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28. Ketika Luka Lama Terbuka
Amara akhirnya tertidur kembali setelah berbicara singkat dengan Dante. Ia masih terlihat lemah, dengan wajah pucat yang menggambarkan kelelahan fisik dan mental yang telah lama dipendamnya. Dante tetap duduk di samping ranjangnya, menggenggam tangan wanita itu dengan lembut.
Di luar kamar, Alessia menunggu bersama Nico di ruang tunggu. Nico tertidur di pangkuan Alessia, sementara pikiran Alessia dipenuhi kekhawatiran tentang apa yang sebenarnya terjadi antara Dante dan Amara. Ia tahu bahwa keduanya saling mencintai, tetapi berbagai tekanan dari keluarga dan keadaan terus menghancurkan hubungan mereka.
Ketika pagi tiba, sinar matahari mengintip dari sela-sela tirai kamar rawat. Amara mulai terbangun perlahan. Matanya membuka sedikit, dan ia melihat Dante masih duduk di kursi, kepala bersandar di ranjangnya. Dante tertidur dengan tangan yang tetap menggenggam tangannya.
Hati Amara bergetar melihat lelaki itu. Ia tahu betapa Dante telah berjuang selama ini, tetapi cinta mereka terasa seperti beban yang terlalu berat untuk ditanggung. Ia mencoba menarik tangannya perlahan agar Dante tidak terbangun, tetapi gerakan kecil itu cukup untuk membuat Dante tersadar.
“Amara,” gumam Dante, suaranya berat karena baru bangun tidur. “Kau sudah bangun? Bagaimana perasaanmu?”
Amara tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja. Maaf sudah merepotkanmu.”
Dante menggeleng. “Kau tidak pernah merepotkan, Amara. Aku hanya ingin kau sehat.”
Amara menatapnya, ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu. Akhirnya, ia hanya mengangguk dan memalingkan wajahnya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa keberadaan Dante membuatnya merasa aman, tetapi rasa sakit dari semua peristiwa yang terjadi di antara mereka masih membekas.
Beberapa jam kemudian, Alessia masuk ke kamar bersama Nico. Anak kecil itu segera berlari ke sisi ranjang Amara, memeluknya erat.
“Ibu Mara! Aku takut sekali kemarin. Jangan sakit lagi, ya,” ucap Nico dengan mata berkaca-kaca.
Amara tersenyum, membelai rambut Nico dengan lembut. “Maaf sudah membuatmu khawatir, sayang. Aku janji akan lebih menjaga kesehatan.”
Alessia berdiri di dekat pintu, menatap Dante. “Bisa kita bicara sebentar?” katanya.
Dante mengangguk, lalu mengikuti Alessia keluar dari kamar. Di lorong rumah sakit yang sepi, Alessia menatap adiknya dengan serius.
“Dante, kau tidak bisa terus seperti ini. Kau harus memutuskan apa yang sebenarnya ingin kau lakukan,” ujar Alessia.
“Aku tahu,” jawab Dante pelan. “Tapi situasinya tidak mudah. Keluarga Hart terus menekan, Mia terus menggunakan penyakitnya sebagai alasan. Dan di sisi lain, Amara ...”
“Amara mencintaimu, Dante,” potong Alessia. Tapi dia juga takut, takut bahwa hubungan kalian akan terus membuatnya terluka. Kau harus melakukan sesuatu untuk membuatnya merasa aman bersamamu.”
Dante menghela napas panjang. “Aku sedang mempersiapkan semuanya, Kakak. Aku tidak akan menyerah pada tekanan keluarga Hart. Tapi aku juga tidak ingin menyeret Amara ke dalam semua kekacauan ini.”
“Kalau begitu, buktikan padanya bahwa kau bisa melindunginya,” kata Alessia tegas. “Dia butuh melihat bahwa kau benar-benar ada di sisinya,” tegas Alessia.
---
setelah percakapan itu, Dante duduk di samping ranjang Amara, memperhatikan wajahnya yang pucat. Selama ini, ia tidak pernah membayangkan Amara terbaring lemah seperti ini. Hatinya penuh dengan rasa bersalah, terutama karena ia tahu, sebagian besar penderitaan ini terjadi akibat dirinya.
Amara perlahan membuka mata, merasa berat tetapi tetap mencoba bangkit. Namun, Dante segera menahan bahunya dengan lembut.
“Jangan bangun. Kamu butuh istirahat,” ucap Dante dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.
Amara menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan. Ia merasa canggung dengan kedekatan mereka, apalagi setelah perceraian. “Kenapa kau masih di sini? Harusnya sudah di kantor sekarang ” tanyanya lemah.
“Karena kamu butuh seseorang,” jawab Dante tegas. “Aku nggak akan pergi sampai kamu benar-benar pulih.”
Amara terdiam. Ada kehangatan di kata-kata Dante, tetapi juga ada luka yang membuatnya tak mampu menahan air matanya. Ia menoleh, menatap ke luar jendela agar Dante tidak melihat air matanya mengalir.
“Semua ini bukan urusanmu lagi,” gumamnya.
“Jangan bilang begitu, Amara,” kata Dante. “Apa pun yang terjadi antara kita, aku tidak akan pernah berhenti peduli."
Dante memutuskan untuk menginap di rumah sakit malam itu, meskipun Amara sudah beberapa kali memintanya untuk pulang. Ia tidak peduli. Luca yang sebetulnya keberatan dengan keberadaan Dante yang selalu di samping Amara, bahkan membawakan pakaian ganti untuknya, setidaknya memastikan Amara tetap dijaga dengan baik.
Di tengah malam, Amara terbangun dari tidurnya dan mendapati Dante tertidur di kursi di samping ranjangnya. Cahaya lampu yang redup memantulkan bayangan wajah Dante yang tampak lelah.
Amara memperhatikannya dalam diam. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ia sangat merindukan pria itu, meskipun segalanya telah berakhir di atas kertas. Kehadiran Dante di sini memberinya kenyamanan, tetapi juga menyiksa hatinya.
Dengan suara yang hampir tidak terdengar, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Kenapa kamu harus selalu membuat semuanya jadi lebih sulit?”
Dante tiba-tiba terbangun, seperti mendengar sesuatu. Ia menatap Amara yang berpura-pura memejamkan mata lagi. Ia tahu Amara belum sepenuhnya tertidur, tetapi ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.
Sebaliknya, ia meraih selimut yang sedikit melorot dari tubuh Amara, menariknya kembali dengan hati-hati. “Tidurlah,” katanya pelan.
Pagi Berikutnya
Ketika Amara bangun, ia menemukan setangkai bunga mawar putih di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Di samping bunga itu, ada secangkir teh hangat yang sudah disiapkan oleh Dante.
“Dante?” panggil Amara. Dante muncul dari luar ruangan dengan membawa piring berisi roti panggang. “Kamu sudah bangun? Aku bawakan sarapan,” katanya sambil tersenyum kecil.
Amara menghela napas. “Kamu tak perlu melakukan semua ini.”
“Aku perlu, Amara. Aku ingin melakukannya,” jawab Dante tegas.
Amara terdiam. Meski hatinya berontak, ia tidak bisa menyangkal bahwa perhatian Dante memberinya kehangatan yang ia rindukan selama ini.
"Dokter bilang, kau sudah bisa pulang siang ini" kata Dante Sambil membereskan barang-barang Amara ke dalam tas kecil, memastikan tidak ada yang tertinggal.
Amara meliriknya, lalu menatap ke luar. “Dante, kau tidak perlu melakukan semua ini. Aku bisa pulang sendiri.”
Dante menoleh, tersenyum tipis. “Aku tahu kau bisa, Amara. Tapi aku tidak ingin kau melakukannya sendirian.”
Amara membuka mulut hendak membantah, tetapi Dante sudah mendekat. Di tangannya ada sisir kecil yang ia temukan di meja samping.
“Rambutmu kusut,” katanya lembut, lalu duduk di samping Amara.
“Dante, aku bisa menyisir sendiri,” protes Amara.
“Tentu saja bisa,” jawab Dante santai. “Tapi izinkan aku melakukannya kali ini.”
Amara mendesah pelan, tetapi ia tidak menolak ketika Dante mulai menyisir rambutnya dengan hati-hati. Sentuhannya lembut, seperti ingin memastikan setiap helai rambutnya tidak terluka. mereka saling diam beberapa saat, hingga akhirnya,
“Amara,” gumam Dante pelan.
"Emm ..." jawab Amara refleks seolah tanpa beban
“Aku tahu kita sudah berpisah. Tapi aku tidak bisa tidak peduli padamu,” lanjut Dante seolah menyengat kuping Amara.
wanita itu menutup matanya, menahan desakan air mata. “Dante, ini tidak adil. Kau membuat semuanya jadi lebih sulit.”
Dante menghentikan gerakannya sejenak, lalu melanjutkan dengan lebih pelan. “Mungkin memang tidak adil. Tapi aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” kata Dante begitu hangat.
Waktu berjalan terasa cepat bagi mereka berdua hari itu, di tengah kecanggungan demi kecanggungan yang terjadi, mereka seakan merangkai kembali kepingan puzzle yang selama ini berserakan, akankah mereka berhasil Menyusun Kembali puzzle-puzzle itu, atau justru hancur lebih berantakan?