Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bangsal Kosong
"Bangsal kosong?" tanya Kusuma, suara bingungnya menggema seperti suara cermin yang pecah dalam keheningan.
Mbah Renggani hanya tersenyum, menatapnya dengan mata yang seolah bisa menembus kegelapan ruangan itu. "Mbah, kita ngapain ke ruangan ini?" tanya Kusuma, kebingungan mencengkeram hatinya seperti rantai besi.
Tatapannya berkelana ke seluruh sudut bangsal yang gelap gulita. Namun, kedua matanya tak menangkap apapun di sana, hanya hampa dan kelam. Bahkan pencahayaan pun dilarang dinyalakan saat mereka melangkah ke dalam.
"Mbah, hebat, bisa lihat jalan walau gelap begini," ucapnya, mengagumi ketenangan neneknya yang seolah memiliki matahari di dalam dirinya.
"Hush, bawel! Meneng wae!" perintah Mbah Renggani, suaranya tenang namun tegas, membuat Kusuma terdiam, bagai burung yang terperangkap dalam sangkar.
Berbagai pertanyaan berputar di kepalanya, seperti lalat yang tak henti-hentinya mengitari lampu, tetapi Kusuma hanya bisa memendamnya. Setibanya di ujung ruangan, Mbah Renggani berhenti, meraba dinding di sebelah kiri pintu belakang. Seketika, lantai di hadapannya terbuka, memperlihatkan cahaya lampu yang menerangi jalan setapak menurun, seperti jalan menuju dunia lain yang misterius.
Langkah Kusuma mengikuti jejak nenek itu, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Di hadapan mereka, lorong kecil bercahaya lampu teplok menuntunnya pada anak tangga yang terbuat dari batu, setiap pijakan terasa berat dengan tanda tanya yang membebani.
"Bingung Kowe, Nduk?" tanya Mbah Renggani, suaranya lembut namun menggetarkan.
"Iya, Mbah. Sebenarnya kita mau ke mana? Tempatnya sangat menakutkan, bahkan banyak energi negatif di sini," jawabnya, suaranya bergetar seperti dedaunan tertiup angin.
"Nanti kamu bakal ngerti sendiri jawabannya!" jawab Mbah Renggani dengan senyuman misterius, seolah menyimpan rahasia yang lebih dalam dari gelapnya bangsal itu.
"Dinding ini sepertinya telah menjadi saksi bisu ratusan kematian," celoteh Kusuma, suaranya bergetar penuh rasa takut dan hormat. Senyuman Mbah Renggani hanya memperkuat keyakinan Kusuma bahwa tempat ini memiliki sejarah yang kelam.
"Nduk, semoga kamu bisa menjadi penerus kami. Mbah berharap kamu bisa menggunakan kelebihan yang ada pada dirimu untuk sesama," ucapnya, nada harapan mengalir seperti air sungai di tengah kekeringan.
Akhirnya, langkah demi langkah mereka tiba di sebuah aula besar dengan desain interior dinding terbuat dari kayu, seolah-olah kayu itu menyimpan beribu cerita.
Di depan Kusuma, seorang wanita mengenakan pakaian Jawa kuno duduk di altar, sosoknya seolah terpahat dari waktu. "Dokter Lista!" seru Kusuma, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ayo, Nduk. Mrene o!" ajak Mbah Renggani, suaranya memikat seperti lagu merdu yang terdengar dari kejauhan.
"Tak perlu takut, kemarilah seperti biasa. Kaku menemuiku!" Dokter Lista tersenyum manis, senyum yang seperti sinar mentari pagi yang belum pernah Kusuma lihat sebelumnya.
"Kusuma, selamat bergabung. Ibu harap kamu bisa membantu saya dan Mbah Renggani. Lambat laun, kamu akan paham apa yang terjadi di sini. Satu hal lagi, sembunyikan tempat ini dari orang lain!" perintah Dokter Lista, suaranya tegas seperti suara petir yang menandai badai.
Kusuma semakin tak mengerti, tetapi dia berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti. Angin berhembus kencang, meski tak ada jendela di ruang bawah tanah, mengirimkan hawa dingin yang menembus tulang. Aura yang pertama kali ia rasakan kini terasa sangat berbeda, seolah-olah dikelilingi oleh banyak rahasia yang menunggu untuk diungkap.
"Masuklah!" seru Lista, melempar beras yang telah dicampur dengan kunyit, butiran-butiran itu melayang di udara seperti harapan yang terbang tinggi menuju takdir yang belum terdefinisi.
Pandangan Kusuma tertegun menatap sesosok wanita dengan wajah yang mengerikan, seolah-olah baru keluar dari kegelapan malam yang paling kelam. Matanya melotot, berusaha lepas dari kelopaknya, sementara hidungnya rata dan bibirnya berlumuran darah segar, seperti lukisan berdarah yang terukir dalam kenangan buruk. Wanita itu berdiri di anak tangga, menunggu izin dari Dokter Lista untuk maju ke altar, seolah-olah menunggu saatnya berjumpa dengan takdir.
Kusuma, tak bisa menahan rasa takut, refleks memejamkan mata, berharap bisa melarikan diri dari kenyataan yang dihadapinya.
"Tak perlu takut!" ucap Mbah Renggani, suaranya mengalun lembut, seolah membalut Kusuma dengan kain tenang yang menghapus rasa cemas.
"Apa mau kamu?" tanya Dokter Lista, suaranya tegas sambil menaburkan wewangian dalam arang yang sudah terbakar, aroma yang menyebar seperti harapan yang mengudara di antara mereka.
"Tolong selamatkan saya, Nyai!" seru wanita itu, suaranya terdengar terputus-putus, seperti gemuruh ombak yang berusaha mencari daratan.
"Pulanglah, temui ibumu, dan minta maaflah. Setelah itu, kamu akan merasakan damai," balas Dokter Lista, suaranya tenang namun kuat, mengalir seperti aliran sungai yang membawa penyejuk.
"Tapi, Nyai. Apakah ibu akan mendengarkan saya?" tanya sosok hantu itu, nada penuh keraguan menggelayut dalam suaranya.
"Setelah kamu temui, ibumu akan melihatmu dalam mimpi," jawabnya, seperti menjanjikan embun pagi yang akan menyegarkan jiwa.
Anehnya, sosok hantu wanita itu berubah wajah. Yang tadinya rusak kini bertransformasi menjadi cantik, seolah-olah matahari pagi menyinari kelamnya malam yang panjang.
"Terima kasih, Nyai," ucapnya, suaranya lembut seperti bisikan angin yang melintas, sebelum ia berlalu pergi ke arah yang tak terlihat.
"Apa maksudnya semua ini? Kenapa hantu itu mendatangi Dokter Lista?" batin Kusuma bertanya-tanya, kepalanya berputar seperti baling-baling yang terhempas angin.
"Sosok hantu tadi adalah korban kecelakaan. Ia sudah dua tahun tak bisa disempurnakan. Selain praktik medis, aku di sini membantu mereka yang tak terlihat,” jelas Dokter Lista, suaranya menenangkan, seperti embun pagi yang menyejukkan.
Perlahan, Kusuma mengerti, dan seiring waktu berlalu, ia belajar dengan cepat, seolah-olah pengetahuan itu mengalir dalam nadinya.
Hari demi hari, bulan berganti bulan, Kusuma telah menyerap banyak ilmu dari Dokter Lista dan Mbah Renggani, menjadikannya bagaikan pohon yang tumbuh subur dengan akar yang kuat.
Sementara itu, Bilqis lambat laun merasakan keanehan. Setiap hari ia selalu mendapatkan shift pagi, tidak pernah merasakan malam semenjak bekerja, seolah-olah langit malam menjauhinya.
"Kusuma, kenapa kamu selalu mendapatkan shift malam? Memang kamu nggak capek apa?" tanya Bilqis, rasa ingin tahunya bagaikan kunang-kunang yang terbang mencari cahaya.
"Nanti aku tanyakan Dokter Lista. Harusnya kamu senang dapat shift pagi," jawab Kusuma, mencoba menenangkan sahabatnya.
"Memang kenapa?" tanya Bilqis bingung, matanya berkilau penuh ketidakpastian.
"Kamu tahu sendiri rumor tentang rumah sakit seperti apa?" jawab Kusuma, tersenyum nakal, seolah-olah menyimpan rahasia.
"Iya juga sih! Apalagi si Agvia, ya Kusuma. Seharusnya ia jaga pagi terus," timpal Bilqis, senyumnya merekah penuh rasa empati.
"Makanya itu, Agvia tidak mau bekerja di rumah sakit. Dia trauma dengan para hantu yang mengganggunya," kata Kusuma, menertawakan ketakutan sahabatnya.
"Kamu sendiri bagaimana? Sering dilihatin yang aneh-aneh nggak?" Bilqis menantang, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu.
"Sering, bahkan berbagai bentuk dengan wajah yang mengerikan," jawab Kusuma, suaranya menurun seperti aliran sungai yang tenang.
"Hah? Aku milih jaga pagi saja kalau begitu," Bilqis menggeleng, wajahnya penuh ketakutan.
Kusuma dan Bilqis saling bercengkerama, berbagi impian masa depan yang mereka inginkan, seperti bintang-bintang yang saling bersinar dalam kegelapan malam.
"Sudahlah, sana kamu berangkat. Hari ini aku akan pulang, kamu sendirian di rumah, ya?" tanya Bilqis, suara prihatin menyelinap dalam nada bicaranya.
Kusuma mengangguk, menyadari bahwa sahabatnya akan menemui ibunya yang terbaring sakit, seolah-olah menyelami lautan harapan yang dalam, berharap ada cahaya di ujung terowongan.
"Assalamualaikum!"
Suara Kusuma menggema seperti suara angin yang berusaha menembus dinding sepi rumahnya. "Bapak... Ibu!" serunya sambil mengetuk pintu, namun keheningan di baliknya terasa seperti tembok tebal yang memisahkan hatinya dari orang-orang tercintanya.
Dengan rasa cemas yang menggelayuti, Kusuma segera menghubungi bapaknya, berharap suara lembutnya bisa mengusir bayang-bayang khawatir yang menghantuinya. Dia menekan tombol panggilan berkali-kali, tetapi setiap dering yang menggema hanya membawa harapan yang semakin pudar, seolah-olah suara tersebut tenggelam dalam lautan ketidakpastian.
Hati Kusuma bergetar, bergetar seperti daun di tengah badai, saat jemarinya bergetar ingin menghubungi Anjar.
"Assalamualaikum. Bapak sama Ibu ke mana, ya? Anjar tahu nggak?" tanyanya, suaranya bergetar seperti senar gitar yang tertekan.
"Kamu ini, ya, Mbak. Sama orang tua sendiri nggak pernah perhatian. Ibumu ada di rumah sakit Wilasa. Kalau nggak mau jadi anak durhaka, cepat temui karena hidup ibumu tidak akan lama lagi!" ujar Anjar dengan nada tinggi, suaranya seolah mengguncang jiwanya.
Dari kata-kata itu, seakan petir menyambar di langit jiwanya. Kusuma terdiam sejenak, dan air mata mulai menetes seperti hujan yang tak mampu ditahan. Mendengar kabar itu, hatinya terhempas, remuk seperti kaca yang jatuh.
"Bu, ini Kusuma. Maafin Kusuma, Bu," ucapnya bergetar ketika ia tiba di rumah sakit, berlari seperti angin yang berusaha cepat mencapai tempat tujuan. Air matanya tak bisa dibendung lagi, mengalir di pipi, menyapu rasa bersalah yang menumpuk di hati.
Namun, saat Kusuma melangkah ke dalam ruangan, kegelapan menyergapnya. Ia menemukan bahwa Selviawati telah berpulang ke Yang Maha Kuasa, pergi dari dunia ini seperti embun pagi yang menghilang saat matahari bersinar. Penyesalan merobek-robek jiwanya, membuatnya merasa seperti daun yang terlepas dari rantingnya, terombang-ambing tanpa tujuan. Sebagai seorang anak, dia merasa durhaka, tak mampu menunggu dan menjaga ibunya.
“Ibu.. maaf.” Kalimat yang selalu ada dalam hatinya, walaupun tidak terucap.
Prosesi pemakaman berjalan dengan khidmat, seolah-olah alam semesta turut berduka. Kusuma berdiri di sana, merasakan setiap detak waktu yang berlalu, namun hatinya terpaksa meninggalkan bapaknya dan berangkat bekerja. Satu minggu sudah gadis itu cuti, satu minggu di mana waktu berhenti seolah menunggu untuk memberikan kesempatan, namun kini ia harus melanjutkan hidup, seolah-olah berjalan di atas jalan setapak yang tertutup oleh kabut kesedihan.
Seminggu telah berlalu, dan Kusuma kini kembali menjejakkan kaki di Rumah Sakit Tirtonegoro, sebuah tempat yang selalu penuh dengan keheningan yang terputus oleh suara mesin dan desahan nafas pasien.
"Kusuma, hari ini Dokter Shaka di sini. Apapun yang terjadi dengan Shaka, kamu harus menyimpan rahasia ini baik-baik," ucap Dokter Lista, suaranya berat dan tegas, seperti memberi beban yang tak terlihat di pundak Kusuma.
"Baik, Dok," jawab Kusuma, hatinya berdebar seperti detak jantung yang tak menentu.
Belum selesai mereka berbicara, ketukan di pintu menggema seperti lonceng peringatan.
"Pagi, Dok!" sapa Shaka, suaranya cerah namun terasa menyimpan badai di dalam.
"Permisi dulu, dok," ucap Kusuma, memberi salam dengan senyuman yang terpaksa, seakan-akan wajahnya adalah topeng untuk menutupi kekhawatirannya.
Kusuma berpamitan dan melangkah menjauh, tetapi rasa ingin tahunya terbangun seperti kupu-kupu yang terbang ke cahaya. Ia merasa ada yang ganjil dari Shaka, yang terlihat gelisah dari raut wajahnya, seolah ada sesuatu yang menggerogoti pikirannya. Dengan hati-hati, Kusuma mendekati jendela, menempelkan telinganya di bingkai kayu yang sudah usang, berusaha menangkap percakapan yang mungkin tersembunyi di balik tirai rahasia.