Banyak wanita muda yang menghilang secara misterius. Ditambah lagi, sudah tiga mayat ditemukan dengan kondisi mengenaskan.
Selidik punya selidik, ternyata semuanya bermula dari sebuah aplikasi kencan.
Parahnya, aparat penegak hukum menutup mata. Seolah melindungi tersangka.
Bella, detektif yang dimutasi dan pindah tugas ke kota tersebut sebagai kapten, segera menyelidiki kasus tersebut.
Dengan tim baru nya, Bella bertekad akan meringkus pelaku.
Dapatkah Bella dan anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DYD14
Suara erangan terdengar pelan dari ruangan bernuansa putih, ruangan yang tampak sunyi dan tak ada lagi penghuni selain satu orang pria yang tengah menjahit kembali luka di lengannya.
Tommy menyeka peluhnya yang bercucuran. Setelah memastikan luka nya sudah terjahit sempurna, pria itu menelan sebutir morphine guna meredakan nyeri yang tak lagi bisa ditahan.
Kini ia bersandar dengan kedua mata terpejam. Ia harus tidur sejenak demi memulihkan tenaga, pikirnya. Namun, bola mata setajam elang itu kembali terbuka.
"Apa wanita itu hidup?" gumamnya seorang diri.
Wajahnya datar, cenderung tak menunjukkan ekspresi. Kedua matanya kembali terpejam, malam sudah semakin larut jika ia harus memilih pulang dan beristirahat di rumah. Tidur di ruangan praktek nya sendiri merupakan pilihan terbaik untuk saat ini.
Malam itu, hujan tak kunjung reda. Kilat menyambar-nyambar dan menggelegar. Tanah dan bumi pun pasrah menerima takdirnya.
Tommy sudah terlena di alam mimpi. Pria itu mempercayakan pada malam untuk menjaganya hingga pagi. Sejenis analgesik yang di konsumsinya tadi, sudah mengurangi rasa sakit dan meninggalkan rasa kantuk yang luar biasa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Matahari sudah condong ke arah barat, cahayanya tidak lagi terik menyengat seperti sebelumnya.
Abirama menyetir dengan kecepatan sedang, pria itu diminta untuk datang ke rumah sakit tempat Bella dirawat.
Mobil jeep hitam metalik nya kini sudah berdiam rapih di area parkir. Matahari menyoroti wajah pria itu ketika ia turun dari mobilnya.
Abirama mendongakkan kepalanya, ia terpukau melihat awan indah berpacu di langit biru. Bibirnya tersenyum manis saat melihat pesawat terbang membelah langit.
"Pesawat, minta duit doooong!" Jeritnya pelan sambil terkekeh, lalu berjalan dan mendorong pintu kaca rumah sakit.
Langkahnya yang terburu-buru akhirnya mengantarkan Abirama berdiri tegap di depan pintu kamar yang masih tertutup rapat.
Di sana, Agam berdiri menatap Abirama.
"Silahkan masuk. Pak Harun sudah menunggu anda," ucap Agam.
Abirama mengangguk dan mendorong handle pintu. Dilihatnya pria separuh baya tengah duduk sedikit membungkuk, membaca beberapa berkas dengan mimik serius.
Abirama mendekat, lalu membungkuk hormat. "Selamat siang, Pak. Mohon maaf saya terlambat, banyak yang harus saya selesaikan terlebih dahulu sebelum datang kemari."
Harun menoleh sekilas, lalu kembali membaca berkas di tangannya.
"Duduk ...," pintanya tegas.
Abirama meneguk kasar ludahnya, kerongkongan nya terasa tercekat.
'Apa jangan-jangan aku akan dipecat karena putrinya terluka parah gara-gara menyelamatkan aku?' Batinnya sembari menarik kursi dengan raut gelisah.
Rama duduk tanpa suara, jari-jari tangannya saling mendekap.
"Abirama Devanu?" Harun menelisik dengan tatapan.
"Benar, saya, Pak ...," jawab Abirama semakin gugup.
"Putra dari mendiang Devan Abinu dan Maryam Kandau?" Harun kembali menelisik.
Abirama terhenyak ketika nama kedua orang tuanya disebut-sebut.
"Benar, Pak," jawab Abirama lagi.
Harun manggut-manggut, lalu menatap pria tampan di hadapannya kini.
"Kau tumbuh dengan baik rupanya," lirih Harun.
Kedua alis Abirama bertaut, ucapan Harun terdengar ambigu baginya.
"Aku sahabat dari ayahmu. Kau pasti lupa, dulu kau masih segini." Harun meletakkan tangannya ke perut. "Masih cilik."
"Aku dan ayahmu dulu berada di divisi yang sama. Mendiang orang yang sangat bertanggung jawab dan selalu bersemangat dalam menyelesaikan tugasnya, instingnya kuat." Harun menerawang, mengingat masa silam.
"Saat itu kami menyelidiki kasus pembunuhan berantai dengan jumlah 12 korban. -- Aku masih ingat jelas hari itu, hari di mana ayahmu sedang menikmati hari liburnya bersama kau dan ibumu bertamasya ke sebuah lembah bukit. Devan menghubungi ku saat itu, dia mengatakan bahwa dia memiliki titik terang dari kasus yang tengah kami selidik. Sayang sekali, signal di sana tidak mendukung hingga ia akhirnya memutuskan untuk menjelaskan semuanya saat kembali ke kantor. Namun, ternyata semua tak berjalan semudah itu. --- Ayah dan ibumu ditemukan tewas mengenaskan di lembah bukit, tak jauh dari tempat Bella mengalami penyerangan malam tadi. Kemudian, aku menemukan dirimu di kolong mobil dengan kondisi tubuh basah kuyup dan wajah pucat pasi." Harun melirik Abirama yang sudah gemetar di kursinya.
"Aku masih ingat jelas, tubuhmu bergetar hebat saat itu. Mirip sekali seperti sekarang," ungkap pria separuh baya itu.
Abirama berusaha mengendalikan dirinya, ia menarik napas dalam-dalam. "Lalu, apa maksud anda menjelaskan semua ini dan membuat saya kembali teringat dengan masa-masa itu?"
"Apa ingatan mu sudah kembali sempurna? --- Apa kau sudah ingat dengan wajah pelaku?" tanya Harun.
Abirama menghela pelan napasnya, ia menggeleng lemah.
"Apa kau tidak ingin menangkap pembunuh kedua orang tuamu?" tanya Harun lagi.
"Tentu saja saya ingin, tapi, itu mustahil. Tak ada berkas yang bisa saya temukan untuk menguak kasus tersebut," jawab Abirama lirih.
Harun manggut-manggut, pria baya itu berdiri dan berjalan mendekati nakas yang berada di belakang kursi Abirama. Setelah meletakkan berkas-berkasnya di atas sana, Harun menepuk-nepuk lembut pundak Abirama.
"Bukankah, kau sedang menyelidiki kasus pembunuhan berantai bersama putriku?" Harun berdiri di sisi ranjang, menatap putrinya yang masih terpejam.
"Benar, Pak," jawab Abirama seperlunya.
"Kalau begitu, berusahalah semaksimal mungkin untuk menemukan pelaku. Dengan begitu, kau juga akan mengetahui siapa yang membunuh kedua orang tuamu." Ujar Harun seraya mengecup kening putrinya.
Abirama mematung sejenak, lalu menguasai dirinya kembali. "A-apa maksud anda, Pak?"
Harun berbalik badan dan sedikit menyandarkan bokongnya di tepian ranjang, kemudian pria itu menarik napas dalam-dalam. Ia memperhatikan air muka Abirama, sebelum melanjutkan kalimat nya.
"Metode pembunuhan yang sedang kalian selidiki saat ini, sama persis dengan metode pembunuhan yang kami selidiki di masa lalu." Jawaban Harun sontak membuat Abirama terhuyung. Dunianya serasa berputar, pendengaran pria itu berdenging.
*
*
*
Edwin psikopat yang udah ... entahlah sulit menjelaskannya 😀
Keren kamu Kak❤️
tolong triple up 🤭
jantungku kicep tor 😩
udah kyk nonton film Hollywood.
sama film horor korea, yg cowoknya jatuh ke dalam peti yg ada pakunya itu looo, lgsg nancep ke muka 😩