Menyukai seseorang adalah hal yang pribadi. Zea yang berumur 18 jatuh cinta pada Saga, seorang tentara yang tampan.
Terlepas dari perbedaan usia di antara keduanya, Zea adalah gadis yang paling berani dalam mengejar cinta, dia berharap usahanya dibalas.
Namun urusan cinta bukanlah bisa diputuskan personal. Saat Zea menyadari dia tidak dapat meluluhkan hati Saga, dia sudah bersiap untuk mengakhiri perasaan yang tak terbalaskan ini, namun Saga baru menyadari dirinya sudah lama jatuh cinta pada Zea.
Apakah sekarang terlambat untuk mengatakan "iya" ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MANUVER CINTA~PART 18
Malam minggu malam yang panjang, seharusnya kalimat itu diralat. Malam panjang tuh bagi para jomblo, bagi para double ya waktu setaun aja berasa sekedip.
Zea masih duduk bersila di atas ranjang, berteman sang kekasih gelap yang menampilkan permainan online favoritnya serta beberapa bungkus cemilan kesukaannya yang berserakan di atas selimut, pokoknya ranjang gadis ini udah mirip bantar gebang yang lagi kebanjiran sampah saat ini. Ia berdecak kesal ketika notifikasinya mengganggu dan menghalangi layar.
"Ck. Apaan sih." ia menggeser begitu saja pesan masuk dari kapten Ankara, "keliatan banget kan ngga lakunya," hardiknya mencibir. Pokoknya apapun yang ia ucapkan tak pernah difilter.
Tanpa berniat membalas, Zea tak mengindahkan pesan itu. Lain halnya dengan Zea, Sagara justru memanfaatkan waktu malam minggunya dengan membuka tiap lembaran kitab suci dan membacanya. Saga selalu ingat kata abba dan abinya setiap saat, setidaknya sisihkan waktu luang diantara kesibukannya di dunia kemiliteran untuk mengingat Sang Maha Pencipta.
Sungguh perbedaan yang cukup kontras, antara Zea dan Sagara.
"Shadaqallahul Adzim..."
"Wuhuuuuu! I'm victory! Otewe dipinang tim e sport nusantara ini mah buat ajang sea games ntar!" serunya gembira sambil beranjak dari ranjang, menyisakan remahan keripik kentang berbumbu dari pangkuannya, tak peduli jika kini ia dinobatkan sebagai gadis cantik jorok tahun ini, mau disamain sama tikus, sama ayam, sama kecoa juga she doesn't care, yang penting ia menikmati hidupnya.
Zea melemparkan ponselnya begitu saja di atas ranjang, horang kaya mah bebas, mau dilempar ke atas genteng orang, ke kepala orang yang penting ada gantinya.
Merasa lapar, akhirnya ia keluar kamar yang sudah seperti sarang tikus demi mencari makan malam.
"Mihh! Makan sama apa?" tanya nya acap kali, setiap akan makan. Padahal mah tinggal makan aja ribet amat, lagian menunya tiap hari ya begitu kalo belum abis. Mama Rieke terlalu sayang jika harus memasak setiap makan dan berganti menu, selama belum habis sampe bumbu-bumbunya, ia tak akan mengeluarkan bahan makanan dari kulkas dan mengolahnya, itulah tips menjadi kaya, catet!
Mama yang berada di ruang tengah sambil baca majalah menoleh singkat lalu kembali kepada kesibukannya, liatin jam tangan mehong yang dipake sultan-sultan kelas dunia sambil nyemilin cookies diet. Urusan bisnis kue miliknya yang sudah menjamur sudah diurus oleh asisten, mau apalagi coba?! Selain nunggu uang ngalir kaya air sungai ke dalam rekening.
"Sama nasi." jawabnya singkat. Zea terkekeh menggelengkan kepalanya, memang salahnya bertanya. Seharusnya ia ralat pertanyaan jadi, apa lauk makan malam ini?
"Ya kali aja sama dedak!" balasnya membuka tutup saji dan melihat satu persatu menu yang ada di atas meja makan, yang sebenarnya ia sendiri sudah tau adanya ya sayur sop iga, perkedel kentang, kerupuk, sambal.
Zea mengedarkan pandangannya mencari sesuatu yang hilang, rasanya rumah terasa luas dan tak sesak, apa yang hilang? Apa kulkas mamahnya dijual? Ia menggeleng, kulkas masih ada.
Atau justru dosa-dosa penghuni rumah ini berkurang? Ayolah! Ia terkekeh sendiri dengan pikiran gilanya sambil menyendok sayur ke dalam tumpukan nasi di piringnya. Badannya memang kecil, tapi porsi makannya cukup banyak buat ngasih makan satu kampung sebulan...iya satu kampung semut.
Ah! Mas Zico dan papahnya belum pulang, ia baru menyadari itu.
"Mih, papi sama mas Zico belum pulang? Ada kerjaan serius? Atau masalah negara apa lagi?" ia duduk bergabung di samping mamanya seraya memangku toples kerupuk dan piring makan di atasnya.
Mama menurunkan kacamata bacanya, mama sih sebenarnya masih cukup jelas untuk sekedar melihat wajah model, tapi berhubung yang menjadi model adalah pangeran Brunei, katanya biar lebih afdol liatnya pake kacamata.
"Belum. Emangnya kamu ngga tau isu negara yang lagi rame sekarang?" tanya mama.
Alis Zea mulai mengernyit, lantas Zea menggeleng pelan, "engga."
Mama menghela nafasnya sebelum memulai mendongeng, "sebelumnya mami mau tanya, kapten Anka gimana?" tanya mama Rieke. Panjang umur sekali, baru tadi ngasih pesan sekarang udah ditanyain mama, fix! Jodoh mama Rieke.
Zea menggidikan bahu acuh, "ngga gimana-gimana." Zea mulai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Kapten Ankara itu anak temen papi, dia sosok perwira berdedikasi, anak danyon, masih cukup muda..."
"Udah tua." Tukas Zea tak suka.
"Cukup muda untuk ukuran seorang kapten di militer, bisa jagain kamu. Dia baik anaknya, soleh...."
"Mami lagi promosi apa gimana? Beli satu gratis satu ngga" Zea terkekeh sumbang, seolah cibirannya memotong ucapan mamanya itu adalah bentuk ketidaksukaannya.
Mama Rieke menthesah lelah nan pasrah, "dengerin dulu!" geramnya.
"Sampai mana perkembangan hubungan kalian?" tanya mama.
"Mami tuh ngomong apa sih, Zea ngga suka! Please lah jangan dan ngga usah bahas dulu kapten Anka. Atau Zea pergi dari sini," ancamnya.
Mama Rieke memejamkan matanya sedikit lama, "oke. Tapi mami minta tolong pertimbangkan."
"Mulai besok ada orang dari kepolisian yang kesini dan ikutin kegiatan kamu sampai waktu yang tidak ditentukan." Terlihat raut wajah khawatir dari mama melihat putri bungsunya itu, seraya mengusap wajah chubby Zea yang sedang mengunyah ia menatap penuh kegetiran dan kegelisahan.
"Ze, pekerjaan papi mungkin terlihat keren dan hedon untuk sebagian orang, tapi riskan akan kejahatan juga. Sekurang-kurangnya orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan itu cukup beresiko dan memiliki tanggung jawab besar apalagi posisi yang diduduki papi." Jelas mama pada Zea.
"Mungkin sepadan dengan apa yang negara beri untuk kita."
Zea bukan anak yang naif, ia paham betul dengan apa yang diucapkan sang mama tanpa harus mamanya itu menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi.
Mama memencet tombol televisi layar curve sebesar layar tancap di depan mereka dan mencari saluran televisi yang menayangkan berita di televisi nasional.
Hingga jempolnya berhenti di salah satu channel yang menayangkan satu berita dengan satu pembawa berita perempuan berjas bersuara empuk.
"Kasus tenaga kerja ilegal yang kini ditangani kementrian membawa serta nama gembong mafia penculikan anak di bawah umur dan hu man traffi cking yang terkenal di seluruh penjuru bumi pertiwi, tak main-main kartel mafia itu kabarnya menyeret sejumlah nama pejabat negri ke dalam lubang kasus suap."
Sosok lelah papahnya tayang di sana dengan sorot lensa kamera yang memperhatikan setiap gerak-geriknya, mungkin liputan itu direkam tadi siang, karena jelas papa sedang bersama wakil dan jajaran staf kementrian di depan gedung kementrian tempatnya bernaung di cuaca cerah.
"Maafin mami sama papi ya, kalo sementara waktu ruang gerak Ze jadi terbatas,"
"Terus keberangkatan Zea buat ikut ajang kompetisi dari sekolah gimana, mih?" tanya Zea menaruh toples kerupuk yang sudah ia tutup kembali termasuk piring makannya di atas meja. Selera makannya hilang sudah, melihat kasus ini.
"Mas mu lagi coba bicara sama pihak sekolah, biar kamu dikasih dispensasi untuk tidak ikut," belum mama menyelesaikan ucapannya Zea sudah berseru sewot, "NGGA BISA!"
"Zea kapten tim mih, gimana urusannya Zea ngga ikut!" nada bicaranya cukup tinggi membalas ucapan lembut mama Rieke.
Kecewa, itulah yang dirasakan Zea. Oh No! It's my dream! Benaknya meraung-raung.
"Itu mimpi Zea mih, bisa go Internasional, bawa nama bumi pertiwi di kancah Internasional, bikin bangga semuanya!" teriaknya berdiri, bahkan kini posisinya lebih tinggi dari mama Rieke.
"Mami tau nak, mami tau---- tapi ini demi keselamatan kamu,"
Zea tetap tak terima, lantas salah siapa Zea bisa keras kepala begini? Apa mungkin salah pola pengasuhan, atau mungkin mama dan papa terlalu memanjakannya, sekalinya jalan nasib tak sesuai harapan maka ia akan sangat berontak nan kecewa.
"Kenapa sih, papi harus jadi mentri! Aturan mah udah lah pensiun aja, ngurus bisnis! Mau cari apa sih?! Mau-maunya di repotin sama masalah masyarakat, toh masyarakat juga ngga ada tuh mikirin kita?! Kalo salah aja, dihujat abis-abisan, katanya ngga becus ngatur negara! Ada yang korup satu, yang lain kena imbasnya, tanpa tau perjuangan dan pengorbanan kita yang jujur kaya apa!" Zea memutar badan dan melangkah besar-besar menuju kamarnya.
"Zee!"
"Zea!"
.
.
.
.
.