Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tak Terduga
Ruby begitu menikmati peran barunya sebagau seorang ibu baru. Meski tak ada sosok suami ia tetap mampu menjalankan perannya cukup baik dengan bantuan Fatimah dan Kiran.
Bayi mungil itu mulai terlihat berisi dari hari kehari. Pipinya yang gembul serta rambutnya yang tumbuh lebat dan hitam, membuat siapa pun yang melihat akan merasa gemas.
Celia, bayi cantik itu terbilang pintar. Jarang menangis dan selalu terlihat tenang. Bola matanya yang berbinar terang dan mengerjap indah, juga kian menambah keelokan paras bayi yang kini berusia satu bulan itu.
Saat pagi datang Ruby dan Fatimah akan bergantian mengajak Celia menikmati sejuknya udara pagi. Bayi itu tersenyum senang. Bola matanya bergerak-gerak. Menatap ke arah sekitar, di mana pohon-pohon dan rumah-rumah penduduk di sekelilingnya.
Kebahagiaan Ruby, rupanya tak seperti apa yang dirasakan Sean. Ia seperti tak bisa mengenali sosok Ibunya dari hari ke hari. Jika beberapa saat lalu perempuan itu memaksanya untuk bertemu dengan Silvia, tapi kenapa kali ini Margareth justu memintanya untuk bertemu dengan gadis yang berbeda.
"Maaf, Bu. Aku tidak bisa." Sean menutup panggilan telefon dari sang Ibu. Tidak habis fikir dengan keinginan sang ibu yang berubah-ubah. Ia memang sedang berada di kota XX untuk melihat perkembangan Ruby Cafe, namun tanpa pemberitahuan sebelumnya Margareth rupanya sudah mengatur jadwal pertemuannya dengan seorang gadis yang Sean ketui bukanlah Silvia. Tapi siapa?.
"Siapa, Ibumu?." Silvia yang menjadi teman bicara Sean, akhirnya bertanya.
"Ya, Ibuku. Beliau memintaku untuk menemui seseorang, entah siapa."
Siang Ini Sean dan Silvia bertemu kembali. Tak ada renca sebelumnya mengingat ke duanya bertemu tanpa sengaja. Mereka pun memilih duduk di sebuah kafe untuk makan siang sekaligus berbincang-bincang.
"Aku meminta maaf padamu atas nama Ibu."
"Apa kau ingin membahas masalah gagalnya perjodohan kita?." Di tempat duduknya erempuan itu tergelak tipis. "Sudahlah, aku tau jika kau pun sebenarnya tidak menyukaiku." Silvia tersenyum penuh Ironi. Margareth menawarkah perjodohan padanya namun Margareth pula lah yang menggagalkannya.
"Kau pasti tau jika semua murni keinginan Ibuku. Aku juga pernah mengatakan padamu jika aku masih ingin menikmati kesendirianku ."
Ucapan Sean membuat gadis itu menganggukkan kepala.
"Ini bukan kali pertama diriku merasa dikecewakan."
Sean menatap Silvia sejenak, sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Maksudmu?."
"Kau tau, Sean, seperti seorang gadis pada umumnya aku pun berhak mencari kebahagiaanku sendiri. Melakukan apa yang aku suka bukan hanya menuruti semua kemauan orang tua." Silvia munundukkan kepala. Sesekali menghela nafas dalam kemudian membuangnya perlahan. Sean memberi tempat pada Ruby untuk berbicara. Menuangkan segala keluh kesah yang dianggap sebagai beban.
"Tidak mudah terlahir dari keluarga terpandang yang selalu gila hormat dan kekuasaan. Mereka selalu mengukur semuanya dengan uang dan kedudukan. Mungkin nasib kita pun tak jauh berbeda, memiliki orang tua yang menginginkan kita menikah dengan seseorang dengan derajat yang setara atau bahkan lebih dari kita."
Sean masih diam. Ia seolah sedang menelaah ucapan Silvia. Tanpa menutupi, Silvia menjabarkan semua pengalamannya dengan seorang pria pilihan orang tuanya. Meski diawal tak saling cinta, namun seiring waktu berjalan perasaan suka itu muncul dengan sendirinya.
"Saat kami sudah saling mencintai, bahkan pertunangan pun sudah terlaksana, tiba-tiba keluarga kekasihku membatalkan pernikahan. Kau tau, itu mereka lakukan selepas mengetahui bisnis Ayahku mengalami kebangkrutan."
Sean menatap sepasang mata Silvia yang menyiratkan penuh luka.
"Aku kira kekasihku tak akan terima dan nekat menikahiku meski tanpa restu orang tua, nyatanya tidak." Wajah Silvia kian tertunduk. Mungkin gadis itu tengah menangis.
"Cukup lama bersama rupanya tak cukup bagiku untuk bisa memahami sifat-sifatnya. Aku berusaha untuk menahan dia untuk tetap tinggal, meyakinkan jika kita akan bisa bersama meski dalam keterbatasan. Akan tetapi, sebuah jawaban yang terucap dari bibirnya, membuatku berhenti berharap pasanya untuk selamanya."
Sean terpaku. Silvia masih terus berbicara, namun fikiran Sean justru terfokus ke arah lain. Jika Silvia meminta penjelasan dari sang kekasih ketika ditinggalkan. Lalu apa kabar dengannya yang sedikit pun tak meminta penjelasan pada Ruby sebelum perempuan itu pergi?.
Ah, entahlah.
💗💗💗💗💗
Selepas makan siang bersama Silvia, Sean akan mengunjungi Resto miliknya seperti tujuan awal. Ia pun meninggalkan Silvia yang masih terlarut dalam kesedihan. Bagi Sean, Silvia sudah bukan menjadi urusannya. Ia pun dengan tanpa beban mengyunkan langkah. Keluar dari pintu utama Resto menuju area parkir.
Deg.
Belum sampai ia membuka pintu mobil, namun sepasang matanya justru menangkap sosok pria yang sungguh tak ingin ia temui keberadaannya.
"Bukankah dia?." Sean bergumam. Pandangannya masih tertuju pada seorang pria yang baru saja keluar dari mobil, kemudian membuka pintu untuk ...
"Loh." Sean urung membuka pintu, hingga memilih menutupnya kembali. Ia masih ingat dengan jelas wajah pria yang sedang ditatapnya begitu tajam itu. Dia sosok pria yang tertangkap basah sedang berada di kamar bersama Ruby beberapa bulan lalu, tetapi kenapa perempuan yang kini bersama pria itu bukanlah Ruby?.
Diliputi rasa penasaran yang mendalam, akhirnya Sean pun mendekat. Dia ingin memastikan jika penglihatannya tidaklah salah.
Sean mendekat, hingga berjarak dua meter saja dari pria tersebut. Sean mengamati gerak gerik sang pria yang sedang mengusap perut buncit perempuan yang dibawanya.
Perempuan ini hamil, lalu di mana Ruby? Apa mungkin pria ini berselingkuh dar**i Ruby hingga membuat perempuan ini hamil?.
Sean terperangah, menatap penuh kebencian pada pria yang sudah menjadi duri dalam pernikahannya.
"Hei." Sean tak mampu membungkam mulut. Dengan suara datar nan terdengar begitu dingin, dia coba menegur pria asing itu yang tak menyadari keberadaannya.
Pria bersama perempuan hamil itu berbalik badan. Terkejut saat Sean berdiri tegap dengan pandangan membunuh kepadanya.
"Wah, Bro. Kita bertemu kembali rupanya." Jika diawal pria itu terlihat terkejut, namun tidak dibeberapa detik kemudian. Pria itu justru memasang wajah biasa saja dan tidak sedikit pun terlihat ketakutan begitu bertatap muka dengan Sean.
"Kau?." Pandangan Sean tertuju pada perempuan di samping sang pria asing. Rasanya Sean sudah ingin menghajar pria di hadapannya, namun ia tak ingin memiliki urusan dengan pria ini lagi.
"Wah, anda sepertinya datang seorang diri, Tuan. Lalu di mana istri Tuan yang cantik itu?." Pria itu celingak celinguk, namun tak mendapati siapa pun di belakang tubuh Sean. "Oh, jangan katakan jika kalian benar-benar berpisah selepas kejadian malam itu."
Brugg
"Aw..." Perempuan hamil itu berteriak. Di detik pria asing itu berhenti berucap, didetik itu pula lah Sean menghadiahkan bogem mentah di wajahnya. Membuatnya terjungkal dan tersungkur di tanah.
Tbc.
la ini malahan JD bencana gr2 percaya Sama mamaknya