NovelToon NovelToon
BALAS DENDAM SI BUNGSU

BALAS DENDAM SI BUNGSU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Teen School/College / TKP / Trauma masa lalu
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: cerryblosoom

Satu demi satu kematian terjadi di sekolah.

Jika di waktu biasa, orang tua mereka akan langsung menuntut balas. Tapi bahkan sebelum mereka cukup berduka, perusahaan mereka telah hancur. Seluruh keluarga dipenjara.

Mantan anak yang di bully mengatakan, "Jelas ini adalah karma yang Tuhan berikan, atas perbuatan jahat yang mereka lakukan."

Siswa lainnya yang juga pelaku pembully ketakutan, khawatir mereka menjadi yang selanjutnya. Untuk pertama kalinya selama seratus tahun, sekolah elit Nusantara, terjadi keributan.

Ketua Dewan Kedisiplinan sekaligus putra pemilik yayasan, Evan Theon Rodiargo, diam-diam menyelidiki masalah ini.

Semua kebetulan mengarahkan pada siswi baru di sekolah mereka. Tapi, sebelum Evan menemukan bukti. Seseorang lebih dulu mengambil tindakan.

PERINGATAN MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN!!!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cerryblosoom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28 TIDAK BERHENTI

Evan menolehkan kepalanya ke belakang, melihat sekeliling dengan curiga. Dia merasa ada seseorang yang memperhatikannya.

"Ada apa?" tanya Louis ikut memperhatikan dengan waspada.

"Tidak," jawab Evan. Dia membalikkan badan, kembali melihat ke depan. "Mungkin hanya perasaanku," lanjutnya dalam hati.

Keduanya kini ada di lapangan tembak milik sekolah. Sudah menjadi agenda setiap seminggu sekali. Anggota Dewan Kedisiplinan wajib melatih keterampilan penggunaan senjatanya mereka.

Evan segera melupakan perasaan aneh tadi, dia mengangkat pistol di tangannya, mengarahkan pada target, menarik penguncinya, lalu menekan pelatuk.

Dor dor dor

Tiga tembakan melayang di udara dengan sangat cepat menuju target.

Louis bertepuk tangan, "Sudah kuduga, tepat sasaran, tidak ada yang meleset."

"Woahhh, ketua selalu luar biasa," sorak Gandi yang baru saja datang.

Dari arah belakangnya Kenan dan Joan muncul. Ikut bertepuk tangan dan bersorak.

Evan mengeluarkan peluru yang tersisa dan menaruh kembali pistol nya. Dia mengabaikan tatapan kagum teman-temannya. Bergerak mengambil pistol lainnya dengan model yang berbeda.

Dia mulai lagi menembak, kembali tak ada yang meleset, semua peluru jatuh di titik tengah target.

Satu-satunya pemuda yang baru menginjak usia 17 tahun dan sudah menguasai senjata api sehebat ini. Siapa lagi kalau bukan Evan Theon Rodiargo.

Louis tak bisa menahan decak kagum setiap saat. Keduanya adalah teman sejak kecil. Meski begitu dia selalu kagum pada sosok di depannya.

Rodiargo adalah marga dari Jenderal besar negara mereka. Evan merupakan putra mahkota mereka saat ini, yang akan mewarisi semua kekayaan dan kekuasaan itu.

Selama Evan menginginkannya, paman pasti akan dengan senang hati membuka jalur untuknya. Apalagi sekolah ini juga salah satu properti milik Rodiargo. Tanpa harus menjadi ketua Dewan Kedisiplinan. Evan bisa mendapatkan kekuasaan baik dikalangan siswa maupun guru.

Tapi sangat di sayangkan, Evan tumbuh menjadi pemberontak, terutama sejak kematian ibunya, tak ada lagi rasa hormat untuk ayahnya itu. Dia keluar dari rumah tepat saat usianya 12 tahun. Tanpa keluarga, uang atau kekuasaan. Semua orang mengira anak sekecil itu akan diculik pedagang manusia atau mati karena penyakit dan kelaparan. Namun, nyatanya tiga tahun kemudian, dia muncul di NUSANTARA HIGH SCHOOL, sebagai siswa baru.

Dalam waktu singkat dia bergabung dengan kelompok paling elit Dewannya Kedisiplinan. Dan bahkan menjadi ketuanya, dengan kekuatannya sendiri.

Tak ada yang menanyakan kemana dia pergi sebelumnya, atau apa yang telah dia alami, semua orang hanya fokus mengagumi bakat dan pencapaiannya saat ini. Tapi Louis sangat tahu, apa yang telah dialami temannya untuk sampai di tempat ini. Itu perjalanan panjang yang mengancam nyawa.

Louis menatap lekat pada punggung tegap itu.

Evan masih tetap tanpa ekspresi, dia berkata, "Kalian berlatihlah," dia meletakkan pistol nya kembali, dan duduk pada kursi yang ada disana. Sepertinya latihan untuk hari ini telah berakhir.

"Ah, aku juga ingin menggunakan pistol," kata Gandi mengeluh.

"Usiamu bahkan belum 17 tahun, jangan mengatakan omong kosong. Beberapa bulan lagi kau akan bisa memegangnya, bersabarlah," Joan menepuk pundaknya.

Gandi semakin memajukan bibirnya, dengan ogah-ogahan dia mengambil pisau lempar.

Joan menggelengkan kepala, dia mengambil busur dan panah, membawanya ke target di sebelah kanan.

Keduanya mulai sibuk sendiri, melatih keterampilan senjata mereka.

Louis yang tak berminat berlatih, duduk di samping Evan. Meski kegiatan ini wajib seminggu sekali, harinya tidak ditentukan, terserah bagaimana mereka mengaturnya. Selama laporannya ada, tidak akan ada yang akan melarang.

"Kau tidak berlatih?" tanya Evan memperhatikan Louis yang duduk didepannya.

"Tidak, aku beristirahat dulu," jawab Louis.

Evan mengangguk acuh, Louis bukan anak kecil, tidak perlu untuk dirinya mengingatkannya setiap saat.

Keduanya terdiam sejenak, memperhatikan tiga orang yang tengah berlatih.

Louis tiba-tiba memikirkan sesuatu, dia lalu berkata, "Kamu memperlakukan Aria dengan berbeda. Ada apa? Apa benih cinta mulai tumbuh di hati Evan Theon??"

"Kau juga termakan omong kosong, Gandi," Evan mendengus kecil.

Louis tersenyum tipis, dia menopang dagu nya berpura-pura berpikir, "Bagaimana, ya, jika aku tidak menyaksikannya sendiri. Mungkin aku akan berfikir ini drama baru yang dibuat, Gandi. Aku menyaksikannya sendiri, kamu berbeda setiap sesuatu yang berhubungan dengan Aria disebutkan."

Evan menghelas nafas, "Itu karena aku tidak menganggapnya perempuan. Hanya seorang anak kecil. Bukan masalah besar untuk mentolerir nya."

Louis mengangguk, pantas saja, jika memang begitu, maka semuanya menjadi jelas.

"Padahal aku cukup senang jika kamu benar-benar menyukai gadis itu. Sepertinya tidak ada masalah dengan karakternya," kata Louis.

Evan meliriknya, tak berniat menjawab, bahkan jika sesuatu berubah, tidak mungkin antara dirinya dan gadis kecil itu. Seharusnya Louis juga mengetahui hal itu.

Dia mendongak menatap bulan yang hampir bulat sempurna. Entah sudah lewat bulan purnama keberapa. Dia masih belum bisa membalaskan kematian ibunya.

...----------------...

Hembusan angin yang dingin berhembus, memaksa jendela yang tidak tertutup sempurna, untuk terbuka hingga mengeluarkan suara.

 'Trakkk'

Jinan berjalan ke arah jendela dan menguncinya dengan rapat. Dia menghelas nafas diam-diam. Malam sudah semakin larut tapi mereka tidak bisa pergi dari sini. Bukan karena tidak ingin pergi, tapi karena ketua memerintahkan mereka untuk tinggal, dan membersihkan kekacauan yang ada.

Padahal besok mereka masih harus menjalani ujian hari terakhir. Jika mereka terus tinggal disini. Ujian besok bisa saja kacau, sekacau tempat ini. Dia tidak bisa membiarkan semuanya terus seperti ini.

Jinan berbalik menuju dispenser air, dia mengisi segelas air, kamudian membawanya ke hadapan Cecilia.

"Ketua, minumlah air dulu. Kamu pasti haus."

Cecilia menerimanya, "Terima kasih," baru dia sadar tenggorokannya kering, buru-buru dia menegak air di gelas.

Melihat ketuanya sudah minum, Jinan bertindak untuk menghiburnya, "Ketua, jangan marah lagi. Besok kita masih ada ujian terakhir. Jangan sampai itu mempengaruhi ujian ketua besok."

"Bagaimana mungkin aku tidak marah. Kita kehilangan banyak uang, semua barang-barang di klub hancur, dan nama baik kita pun jadi buruk," kata Cecilia penuh emosi.

Ekspresi Cecilia sangat buruk, siapa yang tahan  dengan kekacauan yang terjadi hari ini. Apalagi jika memikirkan klub Kesehatan yang bersenang-senang di atas penderitaan mereka.

"Aku mengerti, tapi kita tidak bisa terus seperti ini, atau musuh akan semakin bergembira."

"Kau benar."

Jinan tersenyum, dia merasa telah berhasil menenangkan ketuanya, sekarang hanya perlu pukulan terakhir.

"Bagaimanapun, nama klub Kesehatan telah lama rusak. Tak akan mudah bagi mereka membalikkan keadaan. Kita hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Kemarin kita hanya terlalu terburu-buru mengambil tindakan. Makanya kita gagal."

Cecilia mengangguk, dia juga setuju dengan hal itu, mereka mengambil tindakan dengan tergesa-gesa, wajar jika ada kesalahan.

"Lalu apa yang harus kulakukan. Nama klub menjadi buruk karena insiden teh ini."

Jinan berfikir sejenak, "Kita bisa mencari kambing hitam untuk disalahkan."

"Tidak mungkin, Feira anak orang kaya, dia bisa saja membuat keributan. Lalu jika Dewan Kedisiplinan mengetahui ini. Bukankah mereka akan membereskan kita lagi."

"Tidak bukan Feira," Jinan menggelengkan kepala, "Kita tak perlu menyebarkannya sehingga Dewan Kedisiplinan mendengarnya. Kita hanya perlu meminta maaf pada orang-orang, dan menyerahkan uang mereka kembali. Lalu kita akan mengeluarkan satu anggota, dengan alasan dia membuat kesalahan. Biar akan orang lain membuat asumsi mereka sendiri. Bagaimanapun jika Dewan Kedisiplinan mendengarnya. Mereka tak punya bukti bahwa kita yang melakukannya. Karena itu semua asumsi yang dibuat orang-orang, bukan kita."

Mendengar itu, mata Cecilia seketika berbinar, "Aku baru tahu kau sangat licik."

Jinan tersenyum malu-malu, "Hanya itu yang bisa kupikirkan."

"Tapi itu ide yang bagus sekali. Kita akan melakukan apa yang kamu katakan," Cecilia tersenyum, "Baiklah, ini sudah malam, lanjutkan saja besok, kalian masih harus istirahat."

"Yes, akhirnya bisa pulang," sorak Jinan dalam hati.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!