Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Langkah Pertama
Kegelapan Jakarta terasa semakin menekan, tetapi tekad Raka, Nadia, dan Pak Hasan tidak bisa dihentikan. Setelah bertemu dengan Victor, mereka semakin sadar akan besarnya ancaman yang mereka hadapi. Seluruh kota ini seakan memiliki jaringan kekuasaan yang menjalar ke setiap sudut, membelenggu dan mengendalikan setiap gerakan mereka. Namun, dengan bukti yang mereka bawa, mereka tidak bisa mundur lagi. Mereka harus melangkah lebih jauh, meski berisiko besar.
Pagi itu, di sebuah tempat yang tersembunyi di balik gedung tua yang rapuh, Victor memberi mereka instruksi pertama mereka. "Kalian harus mengetahui siapa yang benar-benar mengendalikan kota ini, dan itu dimulai dengan mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang jaringan yang mereka miliki," kata Victor dengan suara yang tenang, namun penuh bobot.
"Jaringan apa yang lo maksud, Victor?" tanya Raka dengan nada serius. "Apa yang harus kita cari?"
Victor menjelaskan bahwa Jakarta tidak hanya dikuasai oleh para politisi dan pebisnis besar. Ada kelompok-kelompok tertentu yang bergerak di bawah permukaan—kelompok yang lebih berbahaya karena mereka tahu segalanya, namun tidak terlihat oleh publik. Mereka menyebut diri mereka ‘Mata-mata Kota’. Orang-orang yang bekerja untuk mereka tersebar di berbagai sektor: pemerintahan, kepolisian, dunia bisnis, bahkan media. Mereka adalah penyokong utama kekuasaan yang sudah begitu lama mengakar di Jakarta.
"Nah, kalian harus mulai dengan menemukan siapa saja yang terlibat dengan kelompok ini," ujar Victor. "Ada banyak cara untuk melakukannya, tapi kalian harus berhati-hati. Setiap langkah yang kalian ambil bisa berbahaya."
Nadia mengangguk, sudah siap dengan tantangan yang ada di depan mereka. "Bagaimana kalau kita mulai mencari di tingkat paling bawah dulu? Menyusuri jalan-jalan yang biasa dilewati orang biasa, mungkin ada petunjuk dari sana."
Pak Hasan menatap peta yang terbentang di depan mereka. "Ada beberapa tempat di Jakarta yang bisa jadi titik awal kita. Pusat informasi bawah tanah seperti pasar gelap dan tempat-tempat yang tidak terpantau. Namun kita harus tahu siapa yang bisa dipercaya."
Victor mengeluarkan sebuah map kecil dan menunjukkan beberapa titik penting di Jakarta yang harus mereka periksa. "Ini adalah tempat-tempat yang sering dijadikan sebagai markas bagi para informan atau mata-mata yang bekerja untuk mereka. Jika kalian ingin mengetahui siapa yang berkuasa, kalian harus menyelidiki tempat-tempat ini."
Setelah mendengar penjelasan Victor, Raka merasa semakin yakin bahwa mereka berada di jalur yang benar. Tapi perasaan waspada masih menyelimuti hatinya. Mereka tahu, setiap informasi yang mereka kumpulkan bisa berisiko—bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk orang-orang yang mereka cintai. Setiap langkah mereka harus diperhitungkan dengan hati-hati.
Mereka pun memutuskan untuk bergerak cepat. Jakarta yang penuh dengan nuansa modern dan kemewahan ini menyimpan banyak rahasia yang tersembunyi di balik gedung-gedung pencakar langit. Mereka harus memanfaatkan setiap informasi yang mereka dapatkan untuk membongkar kebenaran yang telah lama disembunyikan.
Namun, semakin mereka menyelidiki, semakin mereka menyadari bahwa setiap gerakan mereka dipantau. Mereka dihadapkan pada pilihan sulit: melanjutkan pencarian mereka dan mengambil risiko besar, atau mundur dan menyerah pada ancaman yang semakin nyata. Tetapi mereka tidak punya pilihan lain. Kebenaran harus ditemukan, tidak peduli harga yang harus mereka bayar.
Seiring berjalannya waktu, ketegangan semakin terasa. Mereka harus menghadapi sejumlah individu yang tidak mereka kenal, dan bahkan berhadapan dengan pengkhianatan dari dalam kelompok mereka sendiri. Sekutu-sekutu yang mereka temui ternyata memiliki agenda masing-masing, dan bukan semua dari mereka benar-benar berusaha membantu mereka.
Di tengah tekanan itu, Raka mulai merasakan beban yang semakin berat. "Nadia, Pak Hasan," katanya dengan suara pelan, "kita harus hati-hati. Ada sesuatu yang tidak beres dengan beberapa orang yang kita temui."
Nadia menatap Raka dengan khawatir. "Apa maksudmu?"
"Ada yang mencoba menghalangi kita tanpa alasan yang jelas. Kita harus tetap waspada dan lebih berhati-hati lagi," jawab Raka, matanya tajam menelusuri sekitar.
Mereka tahu, langkah mereka semakin menuju titik puncak, dan musuh yang mereka hadapi semakin berbahaya. Namun, mereka tetap teguh dengan tujuan mereka—untuk mengungkap kebenaran, meskipun dengan harga yang sangat mahal.
Setiap sudut Jakarta terasa semakin berat dengan kegelapan yang menyelimuti. Raka, Nadia, dan Pak Hasan melangkah dengan hati-hati, berusaha menahan rasa cemas yang menggerogoti mereka. Mereka telah berjanji untuk tidak mundur, untuk terus mencari kebenaran meski ancaman dan bahaya mengintai di setiap langkah mereka. Jakarta, yang selama ini mereka anggap sebagai kota yang penuh dengan peluang, kini berubah menjadi labirin penuh jebakan dan ketidakpastian.
Mereka tahu bahwa mereka harus melawan kekuatan yang sudah berakar sangat dalam di kota ini—kekuatan yang bahkan tidak bisa dibayangkan oleh kebanyakan orang. Namun, dalam hati mereka, ada sebuah dorongan kuat yang tak bisa dipadamkan. Kebenaran itu harus ditemukan, dan mereka adalah orang-orang yang diberi kesempatan untuk menggali lebih dalam, meskipun mereka tahu bahwa konsekuensinya bisa jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Raka menatap langit Jakarta yang mulai gelap, cahaya rembulan tak mampu menembus awan yang menutupi. Ia tahu bahwa pertempuran yang sebenarnya belum dimulai, dan jalan yang mereka tempuh kini semakin berbahaya. Namun di balik kegelisahannya, ada secercah harapan. Mereka tidak akan membiarkan diri mereka tertipu atau dihancurkan oleh sistem yang begitu rusak. Mereka akan terus berjuang.
"Nadia, Pak Hasan," Raka berkata pelan, "kalau kita gagal, kita akan membawa Jakarta ke jurang kehancuran yang lebih dalam. Tapi kalau kita berhasil... kita bisa mengubah semuanya. Kita bisa membongkar kekuasaan yang selama ini membelenggu kota ini."
Nadia menatap Raka dengan penuh tekad. "Kita sudah terlalu jauh. Kita tidak bisa mundur sekarang. Kita harus menyelesaikan ini, apa pun yang terjadi."
Pak Hasan, yang sejak awal telah mengenal dunia kelam Jakarta, menatap keduanya dengan rasa hormat yang mendalam. "Kalian benar. Ini bukan sekadar soal kita bertahan hidup atau tidak. Ini lebih besar dari itu. Ini tentang Jakarta, tentang masa depan kota ini, dan orang-orang yang selama ini terpinggirkan oleh sistem yang rusak."
Namun, mereka tahu bahwa untuk mengubah nasib Jakarta, mereka harus siap menghadapi kenyataan pahit: banyak orang yang tak akan senang dengan upaya mereka. Mereka harus menghadapi pengkhianatan, ancaman, dan bahkan kehilangan yang tak terduga. Tetapi di dalam hati mereka, ada tekad yang tidak bisa dihentikan—kebenaran harus terungkap, tidak peduli apa yang harus mereka korbankan.
Malam semakin larut, dan suara kota yang biasanya penuh hiruk-pikuk mulai menghilang. Jakarta, meskipun tak pernah tidur, kini terasa sunyi dan menakutkan. Namun, di balik keheningan itu, mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian. Ada ribuan orang yang menginginkan perubahan, yang menantikan kesempatan untuk mengubah keadaan. Mereka hanya harus menemukan cara untuk membangkitkan semangat itu dan memperlihatkan bahwa mereka tidak lagi hidup dalam ketakutan.
Raka berhenti sejenak, menatap kedua temannya dengan penuh keyakinan. "Kita sudah mengambil langkah pertama. Tidak ada yang bisa menghalangi kita sekarang. Kita harus tetap bersama, dan tidak ada yang boleh tahu apa yang kita rencanakan. Kalau mereka tahu, kita akan berisiko."
Nadia mengangguk dengan penuh pengertian. "Kita akan berhati-hati. Tetapi kita juga harus cepat. Setiap detik yang kita buang, semakin banyak orang yang menjadi korban."
Pak Hasan menepuk bahu Raka, memberi dorongan. "Kalian sudah mengambil langkah yang berani. Jangan ragu lagi. Kita akan terus bergerak maju, meskipun banyak yang berusaha menjatuhkan kita."
Dengan keyakinan yang semakin kuat, mereka melanjutkan perjalanan mereka di malam yang semakin gelap. Jakarta yang semula tampak megah, kini terasa seperti hutan belantara yang penuh dengan bahaya. Namun, di hati mereka, ada sebuah cahaya yang tidak akan pernah padam. Itu adalah semangat untuk memperjuangkan kebenaran, untuk memperbaiki kota yang tercemar oleh kekuasaan dan korupsi.
Dan meskipun mereka tahu bahwa banyak rintangan akan menghadang, mereka tahu satu hal pasti: selama mereka bersama, tidak ada yang bisa menghentikan mereka.
Langkah pertama mereka baru saja dimulai, dan Jakarta akan menjadi saksi dari perubahan yang tak terhindarkan. Kini, mereka tidak hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang telah lama dibungkam oleh kekuasaan yang kejam. Mereka tahu bahwa jalan yang akan mereka tempuh tidak akan mudah, tetapi mereka siap untuk menghadapi setiap tantangan.
Jakarta, kota yang pernah menjadi lambang kemegahan, kini menjadi medan perjuangan mereka untuk mewujudkan sebuah harapan yang lebih baik.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)