Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Arina yang berdiri di sudut dapur menyaksikan interaksi Leon dan Reina dengan mata yang menyipit penuh amarah. Bibirnya tertutup rapat, namun kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menandakan kekesalan yang memuncak.
Bagi Arina, perhatian Leon yang berlimpah kepada Reina adalah duri di hatinya. Setiap kali melihat mereka bercanda atau bekerja sama, dia merasa semakin tersisih. Bukannya membantu meringankan rasa bersalahnya, Leon justru melontarkan kata-kata tajam yang menyerangnya tanpa ampun.
"Sungguh berlebihan," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan untuk dirinya sendiri. Matanya terus mengikuti Reina yang terlihat begitu antusias dengan ajakan Leon, seolah-olah dunia mereka hanya berpusat pada ayah dan anak itu.
Saat Leon berjalan keluar dapur dengan Reina yang bersemangat di belakangnya, Arina akhirnya meledak dalam bisikan getir. "Selalu Reina! Apa aku ini cuma bayangan di rumah ini?!" Namun, tidak ada yang mendengar keluhannya, karena langkah Leon dan Reina sudah jauh meninggalkan dapur, tenggelam dalam diskusi tentang rencana mereka untuk mencari mobil rongsokan.
Arina berdiri di tempatnya dengan napas tersengal, perasaan tak berdaya dan marah bercampur menjadi satu. Dia tahu bahwa, meskipun secara resmi dia adalah istri Leon, dia tak pernah benar-benar menjadi bagian dari dunianya.
Awalnya, Arina menikahi Leon semata-mata demi harta pria itu. Dia beranggapan bahwa menikahi seorang pria mapan yang baru menetap selama tiga tahun di kota ini akan menjamin hidupnya tanpa perlu bersusah payah bekerja. Dengan memanfaatkan tipu daya yang tidak terhormat, dia berhasil menjebak Leon untuk menikahinya.
Namun, harapan Arina untuk dimanjakan segera pupus. Leon tidak menunjukkan cinta atau perhatian yang dia idamkan. Sebaliknya, pria itu hanya memberinya uang jajan di luar kebutuhan rumah dan membalas setiap upaya manipulatifnya dengan kata-kata tajam penuh sindiran. Kalimat-kalimat Leon yang dingin dan menusuk semakin menunjukkan bahwa dia tidak menghormati Arina sebagai istrinya.
Arina, yang terbiasa hidup malas, sama sekali tidak melakukan pekerjaan rumah tangga. Dia dengan kejam melimpahkan semua tugas pada Reina, anak angkat Leon, sambil terus menindas gadis itu. Tak cukup sampai di situ, Arina juga mencoba memprovokasi Leon agar pria itu membenci Reina dan memperlakukannya dengan buruk.
Namun, dia berpikir rencananya hanya berhasil selama enam bulan pertama. Leon yang cerdas dan penuh intuisi tidak terpengaruh oleh provokasi Arina. Sebaliknya, dia justru semakin mempererat hubungan dengan Reina, yang telah menunjukkan kedewasaan dan kerja kerasnya.
Arina merasa kalah, mulai memikirkan berbagai cara lain untuk merusak hubungan Leon dan Reina. Dia mencoba memanipulasi situasi, menyebar fitnah, dan bahkan mencari simpati dari orang-orang di sekitar mereka. Namun, setiap usahanya selalu berujung kegagalan.
Kini, Arina hanya bisa terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan pria yang tidak menghormatinya, sementara Reina tetap berdiri kuat di sisi Leon, membuktikan bahwa semua provokasi dan intrik tidak akan pernah berhasil memisahkan mereka.
✨
Althea berdiri terpaku di tempatnya, matanya perlahan berkaca-kaca mendengar ucapan tajam Leon. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Dia menunduk, jemarinya mencengkeram gaun yang ia kenakan. Sekilas, dia menatap Reina, berharap setidaknya kakak tirinya itu akan membelanya—tapi yang ia lihat hanyalah sorot mata dingin dan tatapan penuh kemenangan.
Leon tidak memedulikan reaksinya. Pria itu sudah melangkah keluar dapur bersama Reina, mengobrol santai seperti tidak ada yang terjadi. Suara tawa Reina dan Leon terdengar dari arah luar, membuat dada Althea semakin sesak.
"Dia pasti bercanda..." gumam Althea pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan pikiran. Namun, bayangan wajah Leon saat mengatakan itu tak hilang dari benaknya. Pandangan matanya begitu dingin, seperti benar-benar menganggapnya tak ada artinya.
Perlahan, Althea melangkah mundur, tubuhnya bersandar pada dinding dapur. Isakan kecil mulai terdengar, meski ia berusaha keras menahannya. "Aku tidak tidak berguna... Aku tidak seperti itu..." katanya, seolah-olah sedang membantah suara Leon yang terus terngiang.
Namun, di balik air mata dan kesedihannya, terselip api kecil yang mulai menyala. Althea menegakkan tubuhnya, mengusap pipinya dengan kasar. "Aku akan membuktikan pada mereka... Aku tidak akan kalah dari Reina. Aku tidak akan membiarkan mereka menginjak-injak aku seperti ini." Suaranya penuh tekad, meskipun gemetar.
Dengan langkah cepat, dia meninggalkan dapur, mengunci pintu kamarnya. Sambil memandang dirinya di cermin, Althea berkata pada refleksinya, "Aku akan membuat Ayah menyesal. Dia akan tahu kalau aku jauh lebih berharga daripada Reina."
✨
Leon dan Reina tiba di sebuah tempat pembuangan mobil, di mana deretan mobil-mobil tak terawat berserakan, sebagian sudah dipenuhi semak belukar. Pemandangan itu mengingatkan mereka akan seberapa lama tempat ini tak terurus.
"Jadi, mobil yang mana menarik perhatianmu, Ayah?" Tanya Reina dengan penasaran, menyusuri deretan mobil rongsokan yang tampaknya sudah lama ditinggalkan.
Leon tak langsung menjawab. Ia memilih untuk berjalan lebih jauh, matanya tajam menyapu deretan mobil yang ada di sana. Langkahnya terhenti pada sebuah Ferrari klasik yang tampak terabaikan. Mobil itu tampak seperti harta karun yang terlupakan di tengah tumpukan besi tua.
"Oh, bukankah mobil ini sudah tidak ada yang memproduksinya?" Tanya Reina, mendekat.
"Karena mobil ini dulunya banyak digemari oleh orang kaya. Namun, meskipun terlihat sama, seri mobil ini hanya ada satu di dunia," jawab Leon dengan nada sarkastis, memberi penjelasan tentang nilai mobil tersebut.
Reina tersenyum, otaknya mulai memikirkan peluang. "Jadi, kalau diperbaiki dan sedikit polesan, dia akan menjadi mobil antik termahal, bukan begitu, Ayah?"
Leon menatapnya dengan senyum tipis, matanya berkilat tajam. "Otakmu benar-benar berguna juga."
Dengan keputusan bulat, keduanya memutuskan untuk membawa mobil itu pulang. Mereka menghubungi derek dan membawa Ferrari itu ke bengkel milik Leon. Setibanya di sana, keduanya langsung sibuk membongkar mobil tersebut, memeriksa setiap bagiannya dengan cermat. Leon akhirnya menghidupkan mesin mobil itu untuk mengecek kondisinya.
"Mobil ini masih memiliki performa yang cukup bagus. Sayang sekali, mobil ini dulunya digunakan untuk balapan," komentarnya setelah mendengar deru mesin mobil yang masih bertenaga.
Reina tersenyum puas. "Setidaknya kita tidak menemukan sesuatu yang sia-sia, Ayah. Lagipula, aku juga melihat beberapa mobil bagus di sana. Apa Ayah keberatan kalau kita membawanya pulang?"
Leon mengangguk acuh, "Sama sekali tidak."
Langit mulai gelap saat mereka menyelesaikan pekerjaan mereka di bengkel. Ketika mereka sampai di rumah, mereka melihat Arina sudah menunggu di depan pintu dengan ekspresi kesal yang jelas tergambar di wajahnya. Leon menghela napas lelah, tahu bahwa ini tidak akan berakhir dengan damai.
"Leon, apa ini?!" teriak Arina, sambil memperlihatkan sebuah dokumen lama yang ia temukan.
Leon menatapnya datar. "Dimana kau menemukannya?"
"Tidak peduli dimana aku menemukannya! Tapi, kenapa aku tidak tahu kalau kau mengadopsi anak ini?! Aku ini istrimu, Leon! Kau menipuku!" serunya, tampak marah.
"Itu dokumen lama. Lagipula, kita tidak menikah secara hukum kalau kau lupa," jawab Leon tajam, suara dinginnya memancarkan keengganan untuk terlibat lebih jauh dalam pertengkaran ini.
Arina menatap Reina penuh kebencian. "Ini semua karena kamu, anak sialan!"
Reina tak takut sedikitpun. Dia hanya tersenyum dingin, menatap Arina dengan tatapan tajam. "Kau menyalahkan ku?" tanyanya, suaranya penuh ejekan. "Sebaiknya pakai dulu otakmu sebelum menikahi ayahku, Tante. Lagipula, waktu itu kau menjebak ayahku secara tidak terhormat dan menganggapku sebuah ancaman. Dan Tante menikah kemari hanya untuk uang ayahku, kan?"
Arina tampak terdiam, tak bisa menjawab.
Reina melangkah lebih dekat, berbicara dengan nada yang lebih tajam. "Ya ampun, Tante. Aku nggak tahu bagaimana keluargamu membesarkan Tante. Jangan hidup seperti babi yang tahunya makan tidur aja. Setidaknya, buatlah prestasi sedikit. Mencuci celana dalam sendiri, misalnya. Masa iya aku yang selalu nyuci celana dalam Tante?"
Arina terdiam, wajahnya memerah karena kemarahan yang memuncak, tapi tidak bisa membalas kata-kata Reina. Leon hanya berdiri di sana, menatap dengan tatapan kosong, tampaknya sudah terbiasa dengan kekacauan yang terus berlangsung di rumah itu.