Aluna Aurelia Pradipta memimpikan keindahan dalam rumah tangga ketika menikah dengan Hariz Devandra, laki-laki yang amat ia cintai dan mencintainya. Nyatanya keindahan itu hanyalah sebuah asa saat keluarga Hariz campur tangan dengan kehidupan rumah tangganya.
Mampukan Aluna bertahan atau memilih untuk pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Pemberontakan
Aluna kembali ke kamar tanpa memperdulikan makian ibu mertua dan juga panggilan sang suami. Ia terus berjalan dan sesekali melihat ke bawah, melihat drama yang dibuat oleh ibu mertua dan juga adik iparnya.
Sampai di kamar Aluna duduk di sofa, duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan ketegangan di kepalanya. Meskipun begitu ia puas melihat reaksi ibu mertua dan juga adik iparnya.
Namun lagi-lagi air matanya meluncur tanpa permisi. Ia sedih bukan karena sikap sang suami, melainkan teringat akan mendiang kedua orang tuanya.
KLEK
Aluna mendengar ada yang membuka pintu kamarnya. Segera ia mengusap air matanya lantas mengambil majalah fashion membolak-balikan lembar demi lembar majalah itu tidak peduli siapa yang datang.
"Aluna," panggil Hariz.
"Ada apa?" sahut Aluna tanpa melihat ke arah Hariz.
"Aku ingin bicara denganmu," pinta Hariz.
"Kita sudah bicara dari tadi," kata Aluna cuek.
Hariz mengela napas memilih untuk mengalah. Ia duduk di samping Aluna mengambil majalah yang dipegang Aluna lantas meletakkannya di meja.
"Aluna …." Hariz mengenggam kedua tangan Aluna menuntunnya untuk melihat ke arahnya.
Aluna menurut, tetapi masih belum mau melihat ke arah Hariz. Ia lebih memilih untuk menunduk.
"Maaf." Hariz menyentuh dagu Aluna memaksanya agar mau melihat ke arahnya. "Aku benar-benar tidak tahu kedua orangtuamu meninggal. Aku pergi ke Paris juga ada urusan bisnis. Aku tidak tahu jika mereka menyusul," jelas Hariz.
"Dua minggu, Mas. Kamu pergi tanpa mengabari aku. Tidak menelpon untuk tanya kabarku. Heh, kamu masih menganggap aku atau tidak?" geram Aluna. "Jika memang kamu sudah tidak menganggap dan lebih memilih orang tua dan adik kamu, kamu bisa lepasin aku," pinta Aluna.
"Aluna … kenapa kamu bicara seperti itu lagi," tegur Hariz. "Oke, aku salah malam itu. Aku khilaf, itu karena aku tidak mau bercerai," bujuk Hariz.
Aluna masih terdiam tidak tahu harus bicara apa. Yang jelas Aluna berdiri di antara marah dan kecewa.
"Aluna ... tolong maafin aku," bujuk Hariz. "Untuk masalah ibu, dia bilang lupa memberitahu padaku atas meninggalnya mama sama papa."
"Dan kamu percaya?" sungut Aluna. "Oh iya, aku lupa. Saat kamu tahu ibumu berbohong juga kamu akan membelanya," sindir Aluna.
"Aluna, jangan bahas ini lagi. Nanti kita ke makam mama sama papa sama-sama." Hariz mencoba menenangkan Aluna dengan cara memberikan sentuhan pada Aluna. Hariz pikir itu akan bisa meluluhkan Aluna seperti biasa.
"Don't touch me, Mas," larang Aluna mencoba menyingkirkan tangan Hariz yang akan masuk ke area sensitifnya.
"Why, Honey. Aku tahu kamu menyukainya dan aku juga sangat merindukanmu," rayu Hariz.
Hariz menuntun Aluna untuk berbaring mencoba terus mencumbu sang istri, tetapi Aluna masih belum ingin disentuh oleh Hariz, ia berpikir, mencari alasan apa untuk menolak, tetapi tidak sampai membuat Hariz marah.
"Aku sedang tidak ingin," tolak Aluna lagi.
Mendengar penolakan Aluna, Hariz jelas kesal. Ia mencengkeram pergelangan tangan Aluna dengan kasar membuat Aluna meringis kesakitan.
"Sakit, Mas," rintih Aluna.
"Kamu ada laki-laki lain, hah?" tanya Hariz pelan tapi penuh penekanan.
"Heh, di saat kamu menyakiti aku seperti ini pun aku sama sekali tidak ada pikiran untuk berselingkuh," tegas Aluna. "Aku sedang datang bulan," bohong Aluna.
Perlahan cengkraman tangan Hariz mengendur membuat Aluna bisa bernapas lega. Hariz bangun dari atas tubuh Aluna dan pergi keluar kamar dengan membanting pintu.
Aluna bergegas pergi ke kamar mandi sebelum Hariz kembali ke kamar itu. Di dalam kamar mandi Aluna bergegas untuk mandi. Ia ingin segera pergi dari rumah itu. Tidak sampai setengah jam Aluna keluar dari kamar mandi. Ia membuka pintu melihat sekeliling, Hariz belum masuk ke kamar. Jika sudah Hariz pasti akan curiga dan tahu jika dirinya berbohong.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 11, sudah hampir satu jam setelah Aluna mandi. Selama itu Hariz juga belum kembali ke kamar. Entah apa yang sedang suaminya lakukan?
KLEK
Baru saja Aluna berhenti memikirkan Hariz, suaminya itu kembali ke dalam kamar sepertinya habis mandi. Pandangan mereka bertemu pada cermin yang ada di hadapan Aluna.
"Kamu mau pergi?" tanya Hariz tanpa mengalihkan pandangannya.
"Aku ada janji dengan seseorang," jawab Aluna acuh tak acuh.
"Siapa, Aluna?" tanya Hariz. "Haruskah kamu berdandan seperti itu?" tanya Hariz tidak suka.
Aluna tertawa kecil menaruh pewarna bibir ke meja rias lantas berbalik mengadap Hariz.
"Aku mau bertemu dengan orang yang ingin bekerjasama denganku. Jadi … ya aku pikir harus berdandan yang maksimal. Bukankah kamu juga begitu apalagi saat bertemu rekan bisnis wanita," sindir Aluna.
"Oh ya, aku lupa memberitahu dirimu. Aku mendapatkan kembali butik milikku. Dalam beberapa hari lagi mungkin akan buka," ucap Aluna.
"Kamu akan bekerja, Aluna?" Hariz menggeram tidak suka. "Kamu sudah menikah dan sepatutnya kamu tetap di rumah —" Belum sempat Hariz menyelesaikan ucapannya, Aluna lebih dulu menyelanya.
"Tetap di rumah untuk dijadikan pembantu oleh ibu dan adikmu, untuk selalu dihina karena aku belum bisa hamil?" Nada bicara Aluna mulai meninggi. "Aku juga manusia biasa, Mas. Aku juga punya batas kesabaran!" Aluna berdiri dengan tegas.
"Oh iya satu lagi. hampir enam bulan kamu tidak memberikanku nafkah lahir. Semuanya kamu berikan kepada ibumu. Kamu tidak tahu, kan seberapa aku menderita selama ini. Ibumu jarang memberiku makanan yang cukup apa kamu peduli? Saat aku butuh untuk keperluanku sendiri aku harus mengemis kepada ibumu, merendahkan diriku sendiri. Gara-gara itu juga ibuku sampai meregang nyawa. Kamu juga tidak peduli, kan? Jadi … apa salahnya aku bekerja untuk memenuhi kebutuhanku sendiri," ucap Aluna.
"Aluna, kamu jangan egois." Hariz menahan lengan Aluna mencegahnya untuk pergi.
"Kalau aku egois, kamu dan keluargamu itu apa?" Aluna menghempaskan tangan Hariz dari lengannya lantas pergi keluar kamar.
Aluna berjalan menuruni anak tangga sembari mengontrol emosinya, tetapi ternyata di bawah sudah ada orang yang akan kembali menguji kesabarannya.
"Mau ke mana kamu?" tanya Mona ketus.
"Bukan urusan ibu," jawab Aluna.
Aluna memilih untuk menghindar dan pergi, tetapi ibu mertuanya justru menahannya.
"Kamu mau keluyuran? Tidak ingat dengan statusmu sekarang?" bentak Mona. "Pergi belanja!" Mona melemparkan uang 3 lembar seratusan ke muka Aluna.
Aluna tersenyum sinis sembari menatap yang uang jatuh di lantai, tepat di bawah kakinya.
"Kenapa bukan ibu saja pergi?" tanya Aluna sinis.
"Kamu berani menyuruh saya?" tanya balik Mona.
"Iya," jawab Aluna.
"Kakak jangan keterlaluan ya!" ucap Sandra yang tiba-tiba datang. "Ibu sudah tua dan kakak berani menyuruh ibu belanja?"
"Saya banyak urusan." Aluna mengambil alih kunci mobil yang dipegang oleh Sandra. "Ini mobilku. Jangan sembarangan pakai milik orang lain apalagi tanpa izin!"
"Oh iya satu lagi. Karna ibu sudah tua kenapa bukan kami saja yang berbelanja? Tahu diri dikitlah numpang di rumah orang."
Pasti Elgar pemilik hotel itu, dan dia menyukai Aluna. Syukurlah Luna belum punya anak dengan Hariz. Saya yakin setelah terbongkar kebusukan Hariz, perusahaannya akan hancur.
Thoor jika perceraian Aluna dan Hariz, cepet, atas bantuan Elgar, tak kasih nilai 5 bintang