seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 16
BUK...
di depan ruang IGD yang terang dengan suara alat medis yang samar. Beberapa perawat terlihat sibuk berlalu lalang, sementara suasana terasa tegang di salah satu sudut ruangan. Biantara berdiri dengan napas memburu, tinjunya masih mengepal setelah menghantam Devano yang terhuyung ke dinding. Devano hanya diam, menunduk, seolah menerima setiap pukulan tanpa perlawanan.
Biantara berteriak, suaranya bergetar penuh emosi
"Kau! Kau tahu dia rapuh, kau tahu dia tidak bisa menghadapi semua ini sendirian, tapi kau malah menghancurkannya lebih jauh!"
Devano menyeka darah di sudut bibirnya, menatap lantai tanpa ekspresi, seolah tenggelam dalam penyesalan.
Devano suara pelan, dengan suara yang penuh rasa bersalah
"Aku... aku hanya ingin dia tetap bersamaku. Aku tidak pernah bermaksud menyakitinya, Bian..."
Biantara semakin marah, menunjuk Devano dengan jari telunjuknya
"Jangan panggil namaku dengan nada seperti itu! Kau pikir semua ini cukup dengan permintaan maaf?! Ayana hampir kehilangan nyawanya karena kau! Apa kau tahu rasanya melihat wanita yang kau cintai hancur seperti ini?!"
Biantara melangkah maju, seolah ingin memukul lagi, tapi seorang perawat mendekat, mencoba menenangkan situasi.
Perawat dengan nada tegas berkata
"Tuan-tuan, tolong jaga ketenangan. Ini rumah sakit. Jika Anda terus membuat keributan, kami harus meminta Anda meninggalkan ruangan."
Biantara menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Namun, sorot matanya masih tajam mengarah ke Devano. Ia kemudian mundur beberapa langkah, melipat tangannya sambil tetap menatap penuh amarah.
Devano masih diam, akhirnya berani mengangkat wajah
"Aku tahu aku salah, aku tahu aku gagal menjaga Ayana. Tapi aku mencintainya, Aku tidak pernah ingin menyakitinya."
Biantara menyeringai sinis, nadanya penuh ejekan
"Cinta? Kau menyebut ini cinta? Kau kurung dia, kau tekan dia, hingga dia tidak punya tempat untuk bernapas, dan kau menyebut itu cinta?"
Devano tidak menjawab, matanya memerah, tapi ia hanya berdiri di sana, menerima semua kemarahan Biantara. Suasana menjadi hening sejenak, hanya terdengar suara alat medis di ruang IGD.
Biantara berkata dengan nada lebih dingin
"Kau tahu, Devano, aku tidak akan diam lagi. Aku akan membawa Ayana pergi dari hidupmu. Dia tidak pantas diperlakukan seperti ini. Jika kau benar-benar mencintainya, kau harus belajar untuk melepaskannya."
Kata-kata itu menghantam Devano seperti pukulan baru. Ia menggertakkan rahangnya, tetapi tidak mampu membalas. Ia tahu bahwa Biantara ada benarnya, meskipun hatinya menolak untuk menerima.
Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang perawatan tempat Ayana berada. Keduanya langsung menghampiri dengan wajah cemas.
"Pasien sudah dalam kondisi stabil. Untungnya obat yang ia konsumsi tidak mencapai dosis fatal. Namun, ini bukan pertama kalinya ia menunjukkan gejala depresi berat. Saya sarankan dia mendapatkan perawatan intensif dan jauh dari situasi yang membuatnya tertekan." tutur sang dokter yang terlihat lelah
Biantara dan Devano saling bertukar pandang. Untuk pertama kalinya, Devano terlihat lebih kecil dari biasanya, tubuhnya seolah runtuh di bawah berat rasa bersalah. Sementara itu, Biantara hanya menatap dokter dengan serius, menyadari bahwa perjuangan untuk menyelamatkan Ayana baru saja dimulai.
Lorong rumah sakit yang semakin ramai dengan kedatangan anggota keluarga. Ayah dan ibu Ayana, Raka, serta orang tua Devano tiba hampir bersamaan. Suasana tegang makin terasa ketika mereka melihat Biantara berdiri tegap di sudut ruangan, wajahnya penuh amarah yang tertahan. Ibu Ayana langsung melangkah mendekatinya dengan sikap menyerang.
Ibu Ayana berkata dengan nada tinggi
"Kau! Kau lagi-lagi muncul di kehidupan Ayana! Apa ini yang kau mau, Biantara? Kau datang dan menghancurkan hidup anakku? Kalau bukan karena kau, Ayana tidak akan seperti ini!"
Biantara tetap berdiri tenang, tetapi sorot matanya tajam. Ia menahan napas sejenak sebelum membalas, suaranya rendah namun penuh tekanan.
"Sebelum Anda menyalahkan saya, sebaiknya Anda berkaca terlebih dahulu. Yang menghancurkan Ayana bukan saya, melainkan Anda dan keluarga Anda sendiri. Anda paksa dia menikah dengan orang yang tidak dia cintai, dan Anda abaikan semua jeritannya. Apa Anda pikir Ayana akan baik-baik saja setelah itu?"
Ibu Ayana tertegun, tetapi amarahnya tidak mereda. Raka mencoba menenangkan ibunya, tetapi ia hanya mengibaskan tangan, menolak untuk diam.
Ibu Ayana membalas dengan emosional
"Kami hanya ingin yang terbaik untuk Ayana! Kalau bukan karena dia menikah dengan Devano, hidupnya akan lebih menderita! Kau pikir apa yang bisa kau berikan selain cinta buta itu?"
Bian melangkah maju, nada suaranya semakin tegas
"Yang terbaik untuk Ayana? Apa menurut Anda dia terlihat bahagia sekarang? Apa Anda tahu alasan dia mencoba bunuh diri pada malam pernikahannya? Apa Anda tahu dia menghabiskan hari-harinya dalam depresi? Itu semua karena keputusan egois Anda"
Semua orang terdiam. Kata-kata Biantara menggema di lorong rumah sakit. Ibu Ayana tampak terkejut mendengar pengakuan itu, sementara ayah Ayana hanya bisa menunduk tanpa berani menatap siapapun.
Ayah Ayana akhirnya berbicara, dengan suara berat
"Apa yang kau maksud, Bian? Ayana mencoba bunuh diri?"ayah Ayana tak mengetahuinya karena memiliki penyakit jantung dan saat itu sedang tidak sehat,raka dan ibunya memilih menyembunyikannya dari sang ayah.
Biantara menatap tajam ke arah ayah Ayana, nadanya penuh rasa sakit
"Ya. Pada malam pernikahannya, dia mencoba mengakhiri hidupnya karena tertekan oleh keputusan kalian. Kalian tidak pernah benar-benar mendengarkannya"
Devano yang berdiri di dekat dinding mulai angkat bicara, suaranya lelah namun tegas.
"Semua ini bukan hanya kesalahan mereka. Saya juga salah. Saya terlalu egois ingin mempertahankan Ayana, meskipun saya tahu dia tidak pernah benar-benar mencintai saya."
Ibu Devano yang baru tiba langsung menyela, mencoba membela putranya.
"Kau tidak salah, Nak. Ayana seharusnya belajar menerima keadaan. Pernikahan itu bukan hanya soal cinta, tapi juga tanggung jawab!"
Biantara menatap tajam ke arah ibu Devano
"Dengan tanggung jawab seperti apa? Menyekapnya di rumah dengan penjagaan ketat? Membiarkan dia hidup dalam tekanan hingga nyawanya terancam? Itu yang Anda sebut tanggung jawab?"
Ibu Devano terdiam, tak bisa membalas. Biantara melangkah ke tengah ruangan, memandang semua orang dengan sorot mata penuh tekad.
"Saya sudah cukup bersabar melihat semua ini. Mulai sekarang, Ayana adalah prioritas saya. Jika ada yang mencoba menghalangi kebahagiaannya, saya tidak akan ragu untuk mengambil tindakan. Dan percaya, dengan kekuasaan yang saya miliki, kalian tidak akan bisa menyentuhnya lagi."
Ucapan Biantara membuat semua orang terdiam, termasuk Devano yang hanya bisa menunduk. Aura dominasi Biantara memenuhi ruangan, menunjukkan bahwa ia tidak main-main. Suasana hening sesaat sebelum seorang perawat mendekat, memberi tahu bahwa Ayana sudah dipindahkan ke ruang perawatan.
"Pasien sudah dipindahkan ke ruang perawatan intensif. Untuk saat ini, hanya satu orang yang diizinkan masuk."
Semua saling memandang, tetapi Biantara segera melangkah maju tanpa ragu. Ia menoleh sekilas ke arah Devano dan keluarga Ayana sebelum berbicara dengan nada dingin.
"Saya akan memastikan Ayana baik-baik saja. Kalian sudah cukup menghancurkan hidupnya."
Tanpa menunggu tanggapan, Biantara melangkah menuju ruang perawatan, meninggalkan semua orang dalam kebisuan penuh penyesalan dan rasa bersalah.