Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 2 Janji Sederhana di Masa Lalu
Pagi Hari: Bersiap ke Kantor
Nadia terbangun oleh sinar matahari yang menembus tirai kamar apartemennya. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati kehangatan yang menyentuh wajahnya sebelum akhirnya bangkit. Seperti biasa, rutinitas paginya dimulai dengan membereskan tempat tidur, mencuci muka, dan membuat secangkir kopi.
Setelah itu, ia membuka lemari pakaian, memilih blazer biru tua dan rok pensil hitam yang selalu menjadi andalannya untuk hari kerja. Ia memoles wajahnya dengan riasan sederhana, lalu menyisir rambutnya yang digerai rapi.
Sebelum keluar, Nadia mengambil tas kerja dan memastikan semua barangnya sudah lengkap. Telepon, dompet, dan catatan kecil untuk presentasi hari ini semuanya sudah siap.
Perjalanan ke Kantor
Nadia keluar dari apartemennya dan berdiri di tepi jalan, menunggu taksi. Hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah, dan angin pagi terasa menyegarkan. Sebuah taksi kuning berhenti di depannya setelah beberapa menit menunggu.
“Ke kantor Saya Group, Pak,” ucapnya sambil masuk ke dalam taksi.
Supir taksi mengangguk dan mulai melajukan mobil. Selama perjalanan, Nadia mencoba mengalihkan pikirannya dengan melihat-lihat email di ponselnya, tetapi pikirannya sesekali melayang kembali pada pertemuannya dengan Reza beberapa waktu lalu.
“Aku harus fokus,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Di Kantor
Setibanya di kantor, Nadia langsung disambut oleh kesibukan pagi. Rekan-rekannya sudah berada di meja masing-masing, sibuk dengan tugas mereka. Nadia menuju mejanya, meletakkan tas, dan mulai mempersiapkan materi untuk rapat pagi ini.
Rapat berjalan lancar, dan Nadia berhasil memberikan presentasi yang meyakinkan di depan para kolega dan atasannya. Setelah itu, ia menghabiskan sisa hari dengan memeriksa laporan keuangan dan menyelesaikan beberapa email yang menumpuk.
Pulang ke Apartemen
Saat jam kerja selesai, Nadia keluar dari gedung kantor dengan rasa lelah tetapi puas. Ia menunggu taksi di depan kantor seperti biasa. Setelah beberapa menit, sebuah taksi berhenti, dan Nadia segera masuk.
“Ke apartemen Greenhill, Pak,” katanya dengan suara pelan.
Selama perjalanan pulang, Nadia menyandarkan kepala ke jendela, menikmati pemandangan jalanan yang perlahan berubah menjadi gelap. Lampu-lampu kota yang berkilauan membuat suasana terasa tenang, meskipun kelelahan mulai terasa di tubuhnya.
Di Apartemen
Begitu tiba di apartemen, Nadia membayar ongkos taksi dan masuk ke dalam. Ia langsung menuju kamar, meletakkan tasnya di kursi, dan mengganti pakaian kerja dengan piyama yang nyaman.
Setelah mandi, Nadia merebahkan diri di tempat tidur. Pikirannya kembali melayang pada hari yang panjang dan kejadian-kejadian sebelumnya, tetapi kali ini ia membiarkan rasa kantuk mengambil alih. Dalam keheningan malam, Nadia perlahan tertidur, bersiap menghadapi hari esok yang penuh kemungkinan baru.
Tiga tahun yang lalu
Nadia pertama kali bertemu Reza di sebuah kafe kecil yang sering ia kunjungi untuk bekerja. Saat itu, dia sedang sibuk mengetik di laptopnya, mencoba menyelesaikan laporan untuk pekerjaannya sebagai staf pemasaran junior. Di seberang meja, seorang pria dengan kemeja putih sederhana dan jeans robek sedang sibuk membaca buku.
Mereka bertukar pandang beberapa kali, tetapi tidak ada yang berani memulai percakapan. Baru setelah Nadia tanpa sengaja menjatuhkan kopinya ke atas meja, Reza mendekat untuk membantu.
"Sepertinya harimu tidak berjalan baik," katanya sambil tersenyum, menawarkan tisu.
Nadia tertawa kecil meski merasa canggung. "Bisa dibilang begitu. Terima kasih, ya."
Dari percakapan sederhana itu, mereka mulai mengenal satu sama lain. Reza memperkenalkan dirinya sebagai seorang pekerja lepas yang sedang mencari peluang bisnis. Dia tidak banyak bercerita tentang latar belakangnya, hanya mengatakan bahwa hidupnya tidak terlalu istimewa. Nadia, di sisi lain, merasa ada sesuatu yang berbeda tentang Reza cara bicaranya yang tenang, caranya mendengarkan, dan tatapannya yang tajam, seolah dia memahami lebih dari yang dia tunjukkan.
Hari demi hari berlalu, dan mereka mulai semakin sering bertemu di kafe itu. Pertemuan mereka berkembang menjadi pertemanan, lalu perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Reza selalu membuat Nadia merasa dihargai, bukan karena status atau apa yang dia miliki, tetapi karena siapa dirinya.
Hubungan Sederhana, Tapi Penuh Makna
Meskipun Nadia berasal dari keluarga yang cukup berada, dia tidak pernah mempermasalahkan keadaan Reza yang terlihat sederhana. Baginya, kebahagiaan yang mereka ciptakan bersama jauh lebih berarti daripada kemewahan apa pun.
Namun, ada satu hal yang selalu membuat Nadia penasaran: Reza selalu menolak hadiah mahal yang ia coba berikan. Pernah suatu kali, Nadia membelikan Reza jam tangan bermerek sebagai hadiah ulang tahun. Saat dia memberikannya, ekspresi Reza berubah menjadi serius.
"Nadia, aku tidak bisa menerima ini," kata Reza dengan nada pelan.
Nadia mengerutkan dahi. "Kenapa? Ini hanya hadiah, Reza. Aku ingin memberikannya padamu."
Reza menggeleng, mengembalikan kotak jam tangan itu ke tangan Nadia. "Bukan karena aku tidak menghargainya, tapi... aku tidak ingin kita memulai kebiasaan seperti ini. Aku ingin hubungan kita tetap sederhana. Aku ingin kau mencintaiku apa adanya, tanpa semua hal ini."
Nadia terdiam. Dia tidak menyangka Reza akan berkata seperti itu, tetapi di saat yang sama, dia merasa terharu. Di dunia yang penuh dengan orang yang seringkali hanya memandang materi, Reza adalah seseorang yang berbeda.
"Baiklah," kata Nadia akhirnya sambil tersenyum. "Tapi kau harus tahu, aku mencintaimu bukan karena apa yang kau miliki, tapi karena siapa dirimu."
Reza tersenyum tipis. "Itu yang paling penting bagiku."
Mimpi yang Sederhana
Reza sering bercerita tentang mimpinya untuk membangun sesuatu yang berarti. Dia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia bisa mencapai sesuatu dengan usahanya sendiri.
"Aku ingin punya bisnis sendiri suatu hari nanti," kata Reza suatu malam ketika mereka duduk di taman, menikmati malam yang tenang.
"Bisnis apa?" tanya Nadia.
"Aku belum tahu. Tapi aku ingin itu menjadi sesuatu yang benar-benar bermanfaat, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk orang lain."
Nadia mengangguk, merasa kagum dengan ambisi Reza. "Aku yakin kau bisa melakukannya. Kau punya semangat dan kecerdasan yang tidak banyak orang miliki."
Reza tersenyum, tetapi ada keraguan yang terlihat di matanya. "Aku hanya takut... ada hal-hal yang mungkin menghalangi jalanku. Kadang aku merasa seperti ada banyak hal yang harus aku tinggalkan untuk bisa mencapai itu."
"Jangan pernah menyerah," kata Nadia, menggenggam tangannya. "Aku akan selalu ada di sini untuk mendukungmu, apa pun yang terjadi."
Malam itu, mereka membuat janji yang sederhana namun bermakna: mereka akan selalu saling mendukung, tidak peduli apa pun yang terjadi di masa depan.